100. A shoulder to cry on
“Muat kan Sha?” tanya Sagala, kepalanya sedikit merunduk untuk melihat posisi juniornya yang duduk di kursi belakang.
“Aman kak.” jawab Yesha sembari mengacungkan ibu jarinya.
“Beneran Yesha? Atau kamu di depan aku yang di belakang?” tawar Rena.
“Muat kok kak. Aman seriusan. Kak Rena duduk depan aja sama kak Sagala.”
Rena tidak terlalu mempercayai ucapan Yesha, namun ia tidak mau memperlama perdebatan mereka. Akhirnya Rena menempati kursi penumpang di barisan depan.
“Kalau kamu kesempitan, bilang aja ya Yesha. Nanti aku majuin kursiku.” ujar Rena lagi.
“Iya kak, santai aja kok. Dulu juga pernah rame-rame sama kak Sashi begini.”
“Oiya bener juga. Dulu berempat gak sih bahkan? Sama kak Tei juga?” ujar Sagala dibalas anggukan Yesha.
“Berempat?!” pekik Rena terkejut.
Sagala menghidupkan mobilnya sambil tertawa.
“Berempat. Jadi waktu itu kak Tei lagi pengen nonton film hantu, tapi dia nggak berani sendirian. Akhirnya ngajak aku sama Yesha karena waktu itu emang lagi lembur bertiga. Pas turun ketemu Sashi di lift dan ternyata Sashi juga lagi pengen nonton film itu. Yaudah akhirnya berempat deh.”
“Gila…. Aku nggak nyangka mobil ini muat berempat.”
“Muat kok kak. Aku sama kak Sashi duduk belakang. Kak Tei di depan.”
“Ini kita ngedrop Yesha dulu nggak apa-apa ya Ren? Soalnya kalau drop kamu duluan malah jadi nggak searah.”
“It’s okay. Aku kan numpang.”
Mobil mungil Sagala perlahan meninggalkan area parkir stasiun. Di sepanjang perjalanan, Rena dan Yesha banyak berbincang-bincang terutama tentang fashion dan luxury brand. Sementara Sagala hanya ikut mendengarkan karena ia tidak begitu tertarik dengan topik pembicaraan.
Sesekali Rena menanyakan beberapa hal kepada Sagala agar sang pengemudi tidak terasa ditinggalkan oleh dirinya dan Yesha.
“Kalo mau ngomong sama Kak Sagala tuh topiknya yang serius-serius kak. Gossip mah mana mau dia.” goda Yesha.
“Heh! Gini-gini tetep tau gossip ya gue!” balas Sagala sembari melirik ke arah Yesha melalui kaca spion.
“Bohong tuh kak Rena! Orang pas pertama aja kak Sagala gak tau siapa kak Rena.”
“Yesha! Wah minta dikasih hukuman ini bocah!” panik Sagala. Ia tidak ingin Rena salah paham.
Rena tertawa melihat pertengkaran antara Sagala dan Yesha yang masih berlanjut. Ia cukup terkejut ketika menyadari bahwa hari ini ia banyak tertawa lepas, bukan tawa yang sengaja ia buat-buat.
Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bisa tertawa selepas ini.
“It’s okay… It’s okay. To be fair aku juga ngira Sagala anak magang.” goda Rena yang kali ini mengundang tawa Yesha yang mengingat betul pertemuan pertama mereka dengan Rena.
“Fine…. Fine…. Terus aja kalian godain.”
Rena dan Yesha terus tertawa melihat bagaimana Sagala sedikit merajuk.
Perjalanan mereka sore itu uniknya tidak memakan waktu terlalu lama, entah bagaimana tetapi jalanan masih belum begitu ramai. Bahkan Sagala merasa bahwa perjalanan sore hari ini lebih cepat dibandingkan dengan pagi tadi.
“Malem ini tidur aja Yes, gak usah dilemburin yang kerjaan itu. Mulai lagi aja besok.” ujar Sagala kepada Yesha saat ia menurunkan Yesha di kos eksklusif yang dihuni Yesha.
“Alhamdulillah, puji tuhaaan. Makasih lho kak.”
Sagala melambaikan tangannya, memberikan kode kepada Yesha untuk segera masuk ke gedung kosannya yang dibalas dengan acungan jempol dari Yesha.
“Kamu sama Yesha kayak tom and jerry ya?” tanya Rena.
Kini mobil Sagala kembali melaju membelah jalanan ibu kota.
“Banyak yang bilang gitu sih….”
“Takjub lho aku. Baru sekali ini ketemu lawyer senior se-laid back kamu, Sashi juga.”
“Banyak kok Ren yang laid back. Tapi mungkin kamu ketemu lawyer pas mereka lagi kerja, jadi keliatan serius aja.”
“By the way, story kamu kemaren itu. Kamu emang selalu nyetok permen?”
Sagala meringis, mengiyakan ucapan Rena.
“Astagaaa. Aku beneran kaget ketemu orang dewasa yang sesuka itu sama permen anak kecil.”
“Eh permen anak kecil tuh justru bervariasi dibanding permen orang dewasa yang pedes-pedes gitu. Ya walaupun aku punya sih, soalnya kadang suka kambuh sesak napasnya.”
“Asma dari kapan, ga?”
“Uhmmm, dari kecil? Cuma makin gede makin mendingan sih. Kecuali kalau lagi jelek banget polusinya, aku kumat.”
“Ya ampun… tapi kak Tei emang pernah cerita sih katanya kamu kadang sampe ngajuin kerja dari rumah?”
Sagala mengangguk.
“Aku kalau tumbang lama recoverynya, Ren. Sedangkan proyek yang aku pegang banyak.”
“Sampe pake inhaler gak kamu?”
“Pake. Di tas ku ada kalau kamu mau liat.”
Rena mengernyit, merasa bersalah. Ia mengingat bagaimana waktu pertama kali dirinya menumpang di mobil ini dan justru menempatkan Sagala di posisi yang membahayakan kesehatannya.
“Sorry ya, ga. Yang waktu itu aku ngevape disini.”
“It’s okay. Kamu nggak tau waktu itu.”
“Kalau ada apa-apa sama kesehatanmu, kabarin aku ya. Kakak ku dokter, ya bukan dokter spesialis paru sih. Tapi dia pasti punya temen yang spesialis paru.”
“It’s okay Ren. Santai aja. Also, aku kenal sama kakak kamu. Dokter Yona kan?”
Kepala Rena menoleh sempurna saat mendengar ucapan Sagala.
“K-kok tau? Kayaknya di berkas yang aku kasih gak ada info itu?”
“That’s another story for another day. Tapi yang jelas aku kenal kakak kamu, maybe bukan sebagai Sagala.”
Kening Rena mengernyit keheranan. Kakaknya adalah dokter subspesialis onkologi dan ginekologi, dimana Sagala bisa mengenal kakaknya? Apakah Sagala juga merupakan pasien kakaknya?
“Gak usah kepikiran Rena, aku nggak sakit yang kayak kamu bayangin kok.” ujar Sagala berusaha menenangkan Rena yang terlihat khawatir.
“I swear, that’s another story for another day. Maybe one day aku bakal cerita ke kamu. But for now, kamu harus pulang dulu buat istirahat.”
Rena tertegun mendengar ucapan Sagala. Namun tak lama berselang, ia memahami maksud ucapan Sagala. Tidak terasa, kini bangunan apartemen huniannya sudah nampak tidak terlalu jauh.
Mobil Sagala yang sudah dikenali oleh security dapat memasuki area apartemen dengan mudah. Ia berbelok ke arah parkiran tamu di tower apartemen yang dihuni oleh Rena.
“Kok parkir? Drop-off aja Sagala. Biar kamu bisa cepet istirahat.”
“Gak apa-apa Rena. Biar aku mastiin kamu safe and sound, liat kamu masuk tower atau sampai masuk lift kalau perlu.”
Rena terkejut mendengar ucapan Sagala.
Terakhir kali ia mendengar ucapan seperti itu adalah pada masa-masa ia berpacaran dengan Azkan. Bahkan di tahun pertama pernikahan mereka, kepedulian Azkan sudah cukup menurun jika dibandingkan dengan masa pacaran mereka.
Rena tiba-tiba merasa sangat bodoh. Mengapa ia tidak menyadari hal ini lebih cepat? Apakah ia terlalu dibutakan oleh perasaannya kepada Azkan?
“Ren? Gak turun?”
Sang model cukup terkejut ketika menyadari bahwa Sagala sudah memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Rena kemudian segera turun dari mobil listrik milik Sagala dan berjalan berdampingan dengan Sagala ke arah lobby tower apartemennya.
Tanpa keduanya sadari, sosok Azkan sudah menunggu Rena di parkiran dan segera berjalan ke arah mereka berdua saat melihat Rena turun dari mobil pengacaranya.
Sementara itu, Rena yang sama sekali tidak melihat sosok Azkan cukup terkejut saat ia tiba-tiba ditarik dengan kasar hingga tubuhnya hampir terjatuh.
“Bangsat!”
Sagala dengan refleks menahan tangan Azkan yang hendak menampar Rena. Dengan sekuat tenaganya ia mendorong Azkan untuk menjauhi Rena.
“Hey! Azkan! Rena ini masih istri kamu! Gak cukup yang kemaren kamu udah ngelukain dia?!” sergah Sagala.
Kini Sagala sudah berdiri di depan Rena, memberikan jarak antara Azkan dengan Rena.
“Lo nggak usah ikut-ikut!”
“Ini jadi urusan saya! Sekali lagi kamu sentuh klien saya, saya akan ajuin laporan ke polisi! Visum yang kemarin masih ada di meja saya!”
Azkan menatap ke arah Sagala dan Rena penuh amarah.
“Brengsek ya lo Rena!” ujar Azkan sembari menunjuk ke arah Rena penuh amarah.
“Lo mau main kotor dengan nguntit anak gue?!”
“Nguntit apa sih kan?!”
“Gak usah sok gak tau!”
“AKU BAHKAN BARU TAU KAMU PUNYA ILLEGITIMATE CHILD ITU BEBERAPA HARI YANG LALU, AZKAN! KAMU BISA MIKIR SEDIKIT NGGAK SIH? JANGAN NGERASA AKU YANG JAHAT DISINI! YANG JAHAT ITU KAMU!” bentak Rena.
“Jauhin anak gue, Ren! Atau lo bakal nyesel!”
“Kamu pernah mikir nggak, kan? Anak kamu perempuan, she even shared the same birthday as mine. Kamu pernah mikir nggak kalau suatu hari nanti karma datengin anak kamu, kamu bakal gimana perasaannya? Anak kamu bakal gimana perasaannya?”
“SHUT UP RENA!”
“NO! YOU SHUT UP!”
“Lo denger ucapan lo barusan gak Ren? Nyumpahin anak kecil? Pantesan lo mandul! Nggak bisa punya anak! Bahkan gue gak yakin lo bisa jadi seorang ibu yang baik! Sampah!”
Emosi Azkan terlihat semakin tidak terjaga, membuat Sagala mulai panik. Jika ada Sashi yang bisa bela diri saja handphonenya sudah menjadi korban, bagaimana sekarang? Apakah dirinya yang akan menjadi korban?
Selain itu Sagala juga mulai melihat beberapa orang menatap ke arah mereka bertiga dengan penasaran. Tiba-tiba Sagala teringat akan pesan Teira yang meminta dirinya untuk sebisa mungkin menjaga kasus Rena agar tidak terendus media.
Jika begini keadaannya, bukan media yang akan memblow-up kasus Rena. Tetapi justru masyarakat luas. Apalagi dengan kekuatan internet saat ini, keributan seperti ini bisa dengan cepat tersebar.
“Azkan! Stop! Pergi sekarang atau saya telepon polisi! Sekarang orang-orang mulai merhatiin keributan ini. Kamu yakin mau buat semua orang tau kalau Javas Azkantara selingkuh dan punya illegitimate child?” desis Sagala.
Mendengar ucapan Sagala, Azkan melirik ke sekelilingnya dan mendapati bahwa apa yang dibicarakan oleh Sagala benar adanya.
“Anjing lo Ren. Inget kata-kata gue! Sampe lo sentuh anak gue, gue gak akan diem aja.” ancam Azkan yang kemudian meninggalkan Sagala dan Rena.
Sagala menatap Azkan dengan tajam, ia memperhatikan Azkan hingga laki-laki itu kembali ke mobilnya dan meninggalkan area parkir apartemen.
Sementara itu Rena masih mengepalkan tangannya, rahangnya masih mengeras. Ia sedang menahan amarah dan tangis.
“Ren?”
Rena tidak bisa menjawab panggilan Sagala. Ia takut saat ia membuka mulut maka ia akan menangis sejadi-jadinya.
Bertengkar dengan Azkan bukanlah hal yang jarang terjadi. Bahkan pria itu beberapa kali juga sempat main tangan.
Namun mendengar bagaimana Azkan memilih keluarga tidak sahnya, bagaimana Azkan menyumpahinya barusan benar-benar menusuk hatinya.
Tanpa Rena sadari, tetes demi tetes air mata turun membasahi pipinya.
Sagala yang tidak siap dengan kejadian ini hanya bisa terpaku. Namun ia secara refleks berjalan mendekat ke arah Rena.
“Rena… masuk apartemen dulu yuk? Jangan nangisin Azkan disini.” ujar Sagala yang tengah menyeka air mata Rena dengan ujung blazer yang ia kenakan.
Rena menggeleng pelan. Ia berusaha menarik napasnya.
“Yang tadi nggak usah didenger ya? Ucapan Azkan tadi ngaco semua.”
Sagala tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Sesungguhnya ia pun tidak tahu kalimat seperti apa yang bisa ia berikan kepada Rena sekarang, dengan kondisinya yang seperti ini. Ia dapat melihat bagaimana Rena tertunduk dan berusaha membendung tangisnya.
Bahu Rena bergetar.
Akhirnya Sagala menghela napasnya dan melakukan satu-satunya hal yang terlintas di kepalanya.
Sagala perlahan mendekati Rena dan memeluk Rena dengan erat, “It’s okay Rena, it’s okay. Kamu bisa nangis kok, kamu boleh banget nangis. Aku temenin. Tapi kita masuk apartemen kamu dulu ya?”
Ucapan Sagala dan pelukan hangatnya justru membuat tangis Rena pecah. Ia menangis sejadi-jadinya di pundak Sagala sore hari itu.
Sementara itu Sagala dengan sabar membiarkan Rena menumpahkan perasaannya. Ia juga bersyukur bahwa tidak banyak orang yang berlalu lalang sekarang.
Tangan Sagala mengelus-elus punggung Rena secara konstan.
“It’s okay… keluarin semuanya sekarang Ren. It’s okay. It’s fine, you’re only human.”