110. Makan siang berdua
“Sagala!”
Mendengar namanya dipanggil, Sagala langsung menolehkan kepalanya dan melihat sosok Rena yang sudah melambaikan tangannya ke arah Sagala.
Sagala pun langsung mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang tadinya akan mengantarkannya ke meja yang telah dipesan oleh Rena. Ia tidak perlu bantuan untuk menemukan Renata karena saat ini sosok yang ia cari sudah ia temukan, tersenyum sumringah ke arahnya.
“Sorry ya lama…”
Rena menggeleng, kemudian menunjukkan jam yang ada di ponselnya.
“Lima belas menit itu super cepet buat di kota ini.”
Sagala tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi putihnya. “Her gummy smiles is so beautiful” batin Rena.
“Makanya punya mobil mungil kayak punyaku! Bisa sat set sat set. Udah gitu gampang cari parkir lagi, apalagi karena yang nyetir cewek jadi bisa dapet ladies parking area.”
Rena tertawa. Sagala sangat bangga dengan mobil mungilnya itu dan entah kenapa menurut Rena hal ini merupakan salah satu keunikan lainnya dari Sagala yang cukup membekas pada diri Rena.
“Aku udah orderin buat kamu, kalau kamu nggak suka nanti kamu order lagi aja gimana?”
“Fine by me. Siapa tau selera kita sama lagi.” tawa Sagala.
“Hahaha right…. Sebenernya awalnya cuma mikir supaya pas kamu sampe, makanannya udah sampe juga. Kalau nunggu kamu sampe sini terus baru order, nanti aku nyita waktu kamu lama banget.”
Sagala mengibas-kibaskan tangannya, menyangkal ucapan Rena.
“Santai aja Ren, kan aku yang ngajak makan.”
“Abis kata kak Teira kamu tuh mageran gitu lho, ga. Plus kak Teira bilang kamu kadang lebih mending tidur daripada makan siang. Udah gitu kata Yesha kamu sibuk banget. Kan aku jadi nggak enak juga kalau kamu kelamaan keluar kantor?”
“Gak usah didengerin mereka tuh. Suka melebih-lebihkan aja.” tangkis Sagala.
“By the way, aku belum ngucapin terima kasih buat yang semalem. Makasih ya, Sagala. Agak malu sedikit sih, kamu udah liat aku nangis dua kali gini.” tawa Rena sedikit kikuk.
Sagala menepuk tangan Rena pelan walau ia awalnya sedikit ragu.
“Kejadian nggak enak gak usah diinget-inget. Oh! Atau kamu bisa chat aku, ketik Reg spasi lupa. Nanti dalam tiga detik aku bakal lupain kejadian-kejadian yang bikin kamu nggak enak.”
Rena terkekeh. “Emangnya ini film?”
“Well, maybe? Kehidupan ini sendiri kan satu skrip cerita yang ditulis sama Sang Pencipta?”
“Okay, selain suka politik, hukum, dan bisnis, ternyata kamu agamis juga?”
Sagala menggeleng cepat, “Mana ada. It’s just a basic philosophy. Lagian ya Rena, aku emang nggak terlalu suka nginget masa lampau. Sesekali boleh, tapi kalau udah terlalu sering itu nggak bagus. Mau denger satu adagium nggak buat hari ini?”
Rena berpura-pura mengerucutkan bibirnya, “Uhmm boleh deh sambil nunggu makanan.”
“Lex prospicit-....”
Sagala belum sempat menyelesaikan kalimatnya, namun Rena sudah lebih dulu memotong ucapan Sagala.
“….non respicit?”
“KOK TAU?!”
Reaksi Sagala yang sangat terkejut membuat Rena tersenyum bangga.
“Emangnya kamu pikir kenapa namaku Justicia?”
“Huh? Jangan bilang…..”
Rena tersenyum lalu mengangguk mengiyakan.
“Mendiang mama aku juga lawyer kayak kamu. Dari kecil aku sering liat mama kerja, nggak tertarik sih. Tapi sedikit-sedikit adalah yang aku ingat walau ya dikiiiit banget. Mama selalu bujuk aku buat masuk fakultas hukum tapi aku tolak. Aku lebih suka sama dunia modeling.”
“Whoaaa, new information. Okay noted, mantan calon anak fakultas hukum.” ceplos Sagala.
“Nggak lah Sagaaaa! Lagian aku dulu kadang suka bacain buku-buku mama karena keren aja gitu. Ditambah kalau mama pakai jubahnya itu, kayak film harry potter rasanya kalau liat mama pakai jubah pengacaranya itu. Dan yaaa, kadang bahasa-bahasa latinnya keren.”
“But still, kamu setiap hari bikin aku takjub. I love it when lawan bicaraku knowledgeable gitu. Bukan maksud gimana ya, kadang kalau aku ngomong serius gitu dikiranya aku yang sombong. Padahal emang yang lagi lewat di kepalaku ya itu?”
“Paham kok.” senyum Rena.
“Okay, berarti kamu tau arti adagiumnya dong?”
“Kalau kamu mau jelasin, aku lebih seneng lagi.”
Sagala menyipitkan matanya, “Ini pura-pura gak tau karena lagi ngetes aku ya?”
“Mana ada! Aduh gak mungkin lah aku ngetes lulusan Leiden dan Oxford??”
“LOH KOK TAU LAGI?!”
Kali ini tawa Rena terdengar lebih keras sampai-sampai mata Rena membentuk bulan sabit dan tangan kanannya menutupi mulutnya. Rena benar-benar terhibur dengan adanya Sagala dihadapannya saat ini.
“Background check dong! Bukannya lawyer harus selalu background check?” goda Rena.
Sagala mengerucutkan bibirnya kesal, “Ini pasti curang sih. Nanya ke kak Teira ya? Soalnya seingetku di website aku cuma nyantumin pendidikan terakhirku aja.”
“Aku tanya Yesha.” jawab Rena sembari menjulurkan lidahnya, berusaha membuat Sagala untuk lebih kesal lagi.
“Wah itu bocah udah bocorin apa aja ke kamu?”
Rena menggeleng, “You have a very very loyal junior. Aku mau kepo tentang kamu ke Yesha tapi dia nggak jawab banyak. Cuma info-info basic aja.”
“Alright, for this one aku percaya. Salah satu traits Yesha yang aku suka selain karena etos kerja dia, ya karena dia loyal banget.”
“You should reward her, seriously.”
“I did! Sering tau aku nge-traktir Yesha! Dia udah kayak adik aku sendiri. Oh! By the way! Adagium tadi sebenernya lebih sering dipakai di kasus pidana, it means that generally laws are deemed or presumed not to have retroactive effect. Jadi hukum atau peraturan itu sendiri nggak bisa diberlakukan surut.”
“Okay… bu lawyer, lanjutin.”
Sagala mendesis kesal mendengar Rena yang kembali menggodanya.
“Tapi aku kadang lebih suka suka liat literal meaningnya, hukum melihat ke depan, bukan ke belakang. Well, back to our previous topic. Kita harus melihat ke masa depan, bukan sibuk melihat apa yang ada di belakang. We live for today and tomorrow, not yesterday. Oh wow, did I just say that?” papar Sagala.
“Sounds so old doesn't it? Definitely, my younger self can’t say something like that.” tawa Sagala.
Satu lagi traits yang Rena temui dalam diri Sagala hari ini, Sagala adalah sosok yang dewasa dan bijaksana.
Dan di siang hari itu Rena menyadari bahwa berbincang dengan Sagala adalah hal yang menyenangkan baginya.