115. Tanggal tujuh belas
Tanggal tujuh belas.
Sagala kembali mengunjungi makam sang Ibunda. Sebuah rutinitas yang selalu ia sempatkan. Sekadar bercerita maupun memastikan makam sang Ibunda masih terawat rapi. Mencabut sedikit rumput yang tumbuh liar serta menyiram beberapa botol berisikan air di makam sang Ibunda.
Namun hari ini ia tidak bisa tinggal terlalu lama. Setelah ia bercerita tentang kesehariannya dan beberapa cerita menarik lainnya, Sagala berpamitan kepada sang Ibunda karena ia masih harus mampir ke yayasan sebelum ia kemudian pergi ke kantornya.
Hari ini Sagala hanya bisa izin setengah hari. Maklum, banyak pekerjaannya yang menunggu. Selain itu memang ada beberapa hal yang belum sempat ia review.
Tepat pukul sepuluh, Sagala sudah tiba di yayasan. Sebenarnya Sagala kesana hanya untuk sekadar memastikan apakah donasinya sudah diterima secara baik, atau jika ada hal-hal lainnya yang dibutuhkan oleh yayasan.
Mengingat hari itu jadwalnya cukup padat, Sagala juga tidak bisa berlama-lama berbincang dengan ketua Yayasan.
Tidak sampai satu jam Sagala sudah izin berpamitan.
“Kalau Mba Sagala sibuk jangan dipaksain kesini, Mba. Yayasan ini gak bakal kemana-mana kok.” ujar Ketua Yayasan sembari mereka berjalan ke arah pintu keluar.
Sagala menggeleng pelan, “Aku udah berjanji bu. Janji itu harus ditepati. Lagian setiap tanggal segini emang aku juga nyekar ke makam Bunda, jadi sekalian aja mampir sini.”
Keduanya masih asik berbincang singkat, sebatas memperbincangkan kesibukan Sagala dan beberapa hal lainnya tentang Yayasan.
Sementara itu, tak jauh dari tempat dimana Sagala dan ketua Yayasan bercengkrama, sosok Justicia Renata berdiri dengan pandangan terkejut, menatap ke arah Sagala.
“Sagala?”
Secara refleks Sagala menoleh dan memberikan respon terkejut pula. Namun rasa terkejutnya Sagala tidak bertahan lama karena ia ingat bahwa Rena adalah donatur utama di yayasan ini. Hanya saja ia tidak menyangka akan bertemu Rena sekarang, di yayasan ini.
“Hi Ren.” sapa Sagala.
Rena sedikit kecewa ketika ia mendapati Sagala hanya menyapa dirinya seadanya. Bahkan Sagala hanya tersenyum tipis kepadanya. Rena diingatkan pada fakta bahwa Sagala memang merasa terusik atas pertanyaan yang ia ajukan tempo hari.
“Kalau gitu saya pamit ya bu.” ujar Sagala pada ketua yayasan.
Sagala hanya mengangguk singkat kepada Rena dan berjalan meninggalkan Rena serta ketua yayasan tanpa ada sepatah dua patah kata yang terlontar lagi.
Tanpa sadar Rena menggigit bibir bawahnya. Merasa dilema apakah ia harus mengejar Sagala atau membiarkan emosi Sagala mereda. Namun pada akhirnya Rena memilih untuk mengejar Sagala.
“Sebentar ya bu, ada yang harus saya bicarakan sama Sagala.” ucap Rena singkat tanpa menunggu respon sang ketua yayasan.
Dengan heelsnya, Rena berusaha untuk berlari mengejar Sagala yang sudah tidak nampak dari pintu keluar.
Kepala Rena menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari keberadaan Sagala. Ia sedikit frustrasi mengingat mobil Sagala yang kecil itu pasti tersembunyi, tertutupi oleh mobil-mobil lainnya.
Saat Rena memutuskan untuk berlari ke kanan, ekor matanya melihat adanya blazer Sagala di dekat semak-semak di arah yang berlawanan dari arah yang Rena tuju.
Akhirnya Rena memilih untuk mengikuti instingnya. Ia berlari ke arah semak-semak tadi dan menemukan Sagala tengah berjongkok dan mengelus-elus kepala anak kucing.
“Bulan depan pas aku kesini, aku bawain kamu makanan lagi. Tapi janjian ya kita ketemuannya disini.” ujar Sagala kepada anak kucing tersebut.
Rena tersenyum melihat kejadian di depannya.
Rena mengamati bagaimana Sagala memindahkan kucing tadi dari semak-semak ke arah pinggir gedung yang masih terlindungi dengan atap. Kemudian Sagala menata tempat makan hewan dan mengisinya dengan makanan serta air bersih.
Satu lagi fakta tentang Sagala yang akan ia ingat tentang Sagala, wanita itu kemungkinan besar pecinta hewan.
“Yaya, aku gak bisa lama-lama. Aku tinggal dulu ya! Kita ketemu lagi bulan depan. Nanti aku bawain makanan kaleng.” ujar Sagala dengan semangat. Ia mengusap kucing kecil tadi sekali lagi sebelum memutuskan untuk segera berangkat ke kantor.
Betapa terkejutnya Sagala ketika ia menemukan Rena berdiri tak jauh dari sana dan Sagala yakin bahwa sedari tadi Rena melihat apa yang ia lakukan.
Canggung.
Keduanya hanya bertatap canggung.
Sagala menyunggingkan senyuman tipisnya.
“Oh, uhm, nggak masuk?”
Rena menggeleng, “Ada hal lain yang lebih penting.”
“Oh, right… Uhm, duluan ya?” balas Sagala yang dengan kikuk menunjuk ke arah parkiran.
“Sagala, bisa ngomong sebentar? Sepuluh menit maksimal.”
“Bisa lewat chat aja gak Ren?”
“Five minutes then, please?”
Melihat tatapan memohon dari Rena membuat Sagala akhirnya luluh juga. Ia kemudian hanya mengangguk pasrah.
“I’m so so sorry. Aku nggak ada alasan apapun yang mau aku sampein ke kamu. Prying your privacy is wrong, that’s it. I just…”
Rena menarik napasnya dalam-dalam.
“I just realized that all these time, Azkan cuma manfaatin aku. Hence why, aku sekarang mempertanyakan hampir semua orang yang berbuat baik ke aku. Apakah mereka kayak Azkan juga? Apakah kebaikan mereka karena ada maunya?”
“What?! Ren-...”
“Wait, Sagala. Let me finish, okay? Kamu nggak satu-satunya orang yang aku pertanyakan. Even kak Teira, even Selene. Kamu kenal Selene Parabawa kan?”
Sagala mengangguk.
“Even kak Teira dan Selene yang udah kenal aku dari lama, I can’t help but questioning them too. You can ask them, I ask the same question to them like what I asked you last night. And I’m so sorry because I ended up ngusik privasi kamu.”
“Ren…We had this conversation before right? Stop mikir yang aneh-aneh. Stop nyalahin diri kamu sendiri. It’s nobody's fault, except Azkan.”
“Tapi susah Sagala. I can’t help but to question myself. Tiga tahun Sagala, tiga tahun. Bukan waktu yang sebentar buat aku berusaha tutup mata dan telinga. Aku selalu ngira ada sesuatu yang kurang di aku, that’s why Azkan nyari di tempat lain.”
“Rena stop Ren…. Stop with this mindset of yours okay?”
Rena memalingkan wajahnya, sedikit menengadah. Ia tidak ingin kali ini menjadi kali ketiga Sagala melihatnya menangis. Namun semakin lama ia mencoba, justru air mata Rena semakin terasa tidak terbendung.
Sang model hendak menyeka air matanya namun Sagala sudah lebih dulu memberikannya tisu. Sagala juga menggenggam pergelangan tangannya dan menarik Rena untuk berjalan mengikutinya.
Kini keduanya berada di dalam mobil Sagala.
“Aku rasa kamu nggak mau percakapan kita didenger orang yang lewat-lewat. So, it’s better to talk here.” ujar Sagala.
“Thanks.” ujar Rena yang masih menyeka sudut matanya sesekali.
“I don’t pity you, Ren. At all. I never pity you. Honestly, I took your case for myself. To redeem myself.”
Ucapan Sagala menarik perhatian Rena.
Namun Rena tidak bertanya lebih lanjut, ia tidak mau mengulangi kesalahannya semalam. Ia yakin jika Sagala memang ingin membagikan ceritanya, maka Sagala akan melakukannya secara otomatis. Seperti saat ini.
“Bunda aku meninggal karena penyakit yang sama kayak mama kamu, I know this dari ketua yayasan. She said many things to me about you and your kindness towards my mom. I can’t thank you enough.”
“B-bunda kamu?”
Sagala mengangguk, menyunggingkan sebuah senyuman kepada Rena.
Sementara itu Sagala tidak melanjutkan kalimatnya, ia justru sibuk dengan ponselnya. Namun tak lama kemudian Sagala menunjukan layar ponselnya kepada Rena.
“You know her, right?”
Napas Rena tercekat.
Tentu saja ia mengenal sosok yang ada di layar ponsel Sagala.
“T-tante Isa?”
Sagala mengangguk mantap. “Dia bunda aku.”
Isaura atau yang biasa dipanggil Tante Isa oleh Rena, merupakan sosok yang sangat memperhatikan Rena.
Semenjak kematian ibunya, Rena tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya lagi. Papanya, Adrian Antasena, memilih untuk sibuk mengurus gurita bisnis mereka. Mungkin itu adalah caranya untuk mengobati rasa kehilangan. Begitu pula dengan kakaknya, Audita Yona, yang sibuk mengejar gelar sub-spesialisnya.
Isaura-lah yang sering memperhatikan Rena. Walau tidak secara langsung.
Rena dan Isaura cukup sering bertemu, bahkan setiap hari mereka bertukar pesan. Entah sekadar Isaura menanyakan kondisi Rena atau Rena yang menanyakan kondisi Isaura.
“K-kamu serius?”
Sagala tertawa kecil, “Ngapain aku bohong, Ren? Emangnya Bunda aku nggak pernah cerita tentang aku?”
“Tante Isa sering cerita tentang anaknya. Dia bilang anaknya udah jadi orang sukses. Plus tante Isa bilang kalau anaknya kerja jadi-...”
“Penegak hukum.” potong Sagala.
Rena mengangguk.
Isaura selalu membanggakan putri satu-satunya. Namun ia enggan menyebut Sagala sebagai pengacara.
“Bunda nggak pernah mau nyebut aku pengacara, Ren. Karena kerjaan mantan suaminya juga pengacara. Aku dulu sempet berantem sama Bunda, karena aku ngotot untuk masuk fakultas hukum. Sedangkan Bunda gak mau aku masuk fakultas hukum. Mungkin takut anaknya jadi kayak mantan suaminya, after all buah jatuh nggak jauh dari pohonnya.”
Kini semuanya masuk akal di kepala Rena.
Ia ingat betul bagaimana Tante Isa selalu membanggakan putri tunggalnya. Dari penggambaran Isa, putrinya adalah sosok yang sukses dan cukup sibuk membela kebenaran dan membangun negeri ini. Ia juga ingat bagaimana Isa sempat bercerita kepada Rena tentang ke khawatirannya akan kesibukan putri tunggalnya.
Tante Isa sering khawatir melihat putrinya yang selalu kerja banting tulang. Bahkan Rena sangat ingat alasan mengapa ia mendonasikan lebih banyak dana kepada Tante Isa secara anonim, karena Tante Isa pernah bercerita kepadanya dengan ekspresi sedihnya tentang bagaimana seorang Isaura merasa bersalah kepada putrinya. Kesehatan Isaura yang terus menurun membuat putrinya harus bekerja lebih keras untuk membiayai pengobatannya.
Rena yang waktu itu mengetahui bahwa kondisi kesehatan Tante Isa sedang menurun, tanpa pikir panjang memutuskan untuk membantu Tante Isa sebanyak yang ia mampu. Ia tidak ingin kekhawatiran Tante Isa menambah beban pikirannya.
Jujur saja, awalnya Rena mengira putri dari Tante Isa adalah Jaksa atau Hakim karena Tante Isa selalu menyebut putrinya adalah penegak hukum. Rena pun tahu, jika seorang jaksa atau hakim bekerja dengan jujur, gajinya masih pas-pasan untuk menanggung biaya pengobatan tante Isa. Karena itulah Rena membantu Tante Isa tanpa sepengetahuan Tante Isa maupun putrinya.
“I’m so sorry for your loss, Sagala. Tante Isa orang yang udah aku anggap kayak mama aku sendiri. Sometimes, I miss her too. Aku shock banget waktu nemuin tante Isa pingsan di taman rumah sakit. Mungkin orang-orang ngiranya tante Isa lagi duduk di kursi taman dan suster kebetulan nggak ada yang nyadar juga karena kondisi tante Isa lagi membaik beberapa hari itu.”
Sagala buru-buru mengambil tisu untuk dirinya sendiri. Ia tidak menyangka bahwa hari dimana Rena akan membicarakan tentang Bundanya tiba secepat ini.
Rena menggenggam tangan kiri Sagala dengan erat.
“Tante Isa gak kesakitan kok waktu hari itu, Sagala. Semuanya berlalu cepet banget.”
Sagala menengadahkan kepalanya, berusaha membendung tangisnya.
“Jujur waktu itu aku sempet marah banget sama sosok anaknya tante Isa. Karena orang rumah sakit bilang anaknya nggak bisa dihubungin. Aku juga kecewa sama diri aku sendiri, gimana bisa aku nggak pernah minta nomor anaknya tante Isa. If only I had your number at that time.”
“A-aku….” ucapan Sagala terhenti. Ia menggigit bibirnya kencang.
“It’s okay Sagala, kalau kamu mau nangis sekarang giliran aku yang nemenin kamu.”
Sagala menundukkan kepalanya dalam-dalam. Namun Rena dapat melihat tetes demi tetes air mata membasahi celana Sagala.
Seorang Sagala yang selama ini terlihat kuat, hari ini terlihat sangat rapuh di depan Rena. Namun Rena juga memahami bagaimana rasa sakit ditinggal oleh sosok ibu yang sangat dekat dengan putrinya.
Tangan Rena menepuk-nepuk pundak Sagala dengan pelan.
“It’s okay Sagala….”
“B-bunda waktu itu nggak kesakitan kan?”
“Nggak, ga. Aku ada disamping tante Isa terus. Tante Isa ngedrop dan –....” Rena memilih untuk tidak melanjutkan kalimatnya.
“Everything went so fast. Dari waktu dimana aku nemuin tante Isa sampai akhirnya tante Isa pergi. Maaf banget aku nggak bisa datang pemakaman tante Isa karena aku udah diikat kontrak untuk kerjaan lain. Tapi hari itu aku udah titip pesan ke Kak Yona untuk urus semuanya.”
Sagala menarik napasnya dalam-dalam. Ia sempat terisak sejenak.
“I met her at the funeral.”
“Yeah, kak Yona nawarin untuk video call aku tapi aku nggak ngerasa sanggup. Aku harus kerja profesional, sementara kepergian tante Isa juga cukup berat buat aku. Tante Isa udah kayak mama aku sendiri, Sagala. Tante Isa selalu cerewet nanyain aku udah makan belum? Lagi apa? Sehat nggak?”
“Sounds like her.” tawa Sagala ditengah-tengah tangisannya.
“Kamu tau nggak? Di hari aku nemuin tante Isa di taman, hari itu sebenernya tante Isa mau ngasih kontak orang yang bisa bantuin aku. Kayaknya tante Isa mau ngenalin aku ke kamu.”
“Huh?”
Rena tersenyum, “Aku pernah nggak sengaja ketemu tante Isa, di Mall. Aku lagi sama Azkan. Malemnya tante Isa telepon aku dan nanyain apakah orang yang sama aku itu suamiku atau bukan. Ya aku jawab iya. Terus tante Isa nanya apakah aku bahagia sama suamiku atau nggak. Disitu aku nggak bisa jawab pertanyaan tante Isa.”
Ibu jari Rena mengelus punggung tangan Sagala dengan hangat. Ia sedikit tersenyum lega ketika menyadari bahwa Sagala sedikit demi sedikit mulai berhenti menangis.
“Sejak saat itu tante Isa jadi jauh lebih perhatian ke aku. Sampai suatu hari tante Isa lihat tanganku memar. Disitu tante Isa marah banget sama aku. Dia kecewa karena aku nggak pernah cerita kalau Azkan suka main fisik. Tante Isa yang dorong aku buat cerai. Kata tante Isa, diantara hubungan pernikahan yang udah nggak bisa diselamatkan, paling nggak aku harus bisa nyelamatin diri aku sendiri. She said I should love myself first and foremost. But few months ago, tante Isa ngelakuin sesuatu hal yang bener-bener bikin aku akhirnya mutusin untuk kontak kak Teira.”
“T-tapi Bunda kan udah meninggal-...”
“Hampir setahun yang lalu, I know. Habis tante Isa meninggal, aku juga sibuk sama kerjaan aku bolak balik pemotretan ke luar negeri jadi pikiran untuk cerai sempet hilang dari otak aku karena toh aku jarang ketemu Azkan karena kerjaan. But, this march. Ada kiriman bunga di hari ulang tahun aku. Lengkap sama kartu ucapan dan brownies kesukaan aku. Bunda kamu yang kirim itu, katanya udah dipesen dari November tahun lalu.”
“Bunda aku?”
Rena mengangguk, “Kalau kamu nggak percaya, aku bisa tunjukin kartu ucapannya. Disana tante Isa nanyain kabar aku dan apakah aku bahagia atau nggak. Terus tante Isa sedikit cerita tentang perceraian dia dan bagaimana dia jauh lebih bahagia walau cuma hidup berdua sama anak perempuannya. Tante Isa bilang kebahagiaan bisa dicari dimana aja dan sama siapa aja. Tante Isa juga bilang kalau aku perlu apa-apa, aku bisa cerita ke tante Isa dan dia bilang kalau tante Isa seneng bisa punya dua anak perempuan.”
Rena tersenyum ke arah Sagala dan disana Sagala bisa melihat air mata Rena tertahan di pelupuk matanya.
“That’s my last straw, Sagala. Aku udah hubungin kak Teira dari maret, beberapa kali kontakan untuk bahas perceraian aku. Tapi aku sendiri kepalang sibuk sama jadwal-jadwal aku dan baru dua bulan terakhir akhirnya bahas dengan serius.”
“I’m glad you did.”
“I know, i’m glad too and I can’t thank your mom enough. Mau cerita ke tante Isa juga aku nggak tau dimana makamnya.” senyum Rena.
“Kenapa nggak tanya ke kakak kamu?”
Mulut Rena ternganga, “Bener juga. Kok aku nggak kepikiran ya?”
Sagala dan Rena tertawa pelan.
“Tiga hari sebelum hari kematian Bunda, aku ditugasin jauh banget Ren, ke Papua. Disana lagi gencar proyek pembangunan pemerintah. Awalnya aku udah nolak untuk berangkat, memohon bahkan. Tapi kak Teira posisinya lagi ada urgent matters lain, jadi dia assign aku untuk kesana. Plus memang waktu itu aku lead timnya dan kak Teira ngejanjiin aku cuma pergi tiga hari aja. Akhirnya aku setuju.” ujar Sagala ganti bercerita.
“Flight direct ke Papua cuma sedikit. Ada satu yang berangkat tengah malam dan mendarat pagi jam tujuh waktu setempat. Kak Teira beliin aku dan timku tiket direct itu dan setelah mendarat tim ku langsung ke hotel. Kita mutusin buat istirahat karena siangnya mau langsung ngelihat pembangunan jalannya.” tambah Sagala.
Rena menyimak sembari terus mengelus punggung tangan Sagala. Berusaha untuk menenangkan Sagala yang nampaknya cara ini cukup efektif.
“Sampai disana aku baru tau kalau ternyata cuma ada satu provider yang bisa nangkap sinyal dengan cukup stabil. Jadi selama disana aku pakai nomor lain. Otomatis telepon dari rumah sakit nggak ada yang masuk ke handphone ku. Aku juga nggak ngerti kenapa nggak ada yang kirim chat ke aku, mungkin semua panik. The rest, you know it.”
“I’m so sorry, Sagala….”
“It’s okay, none of it is your fault. Aku malah berterima kasih banget karena kamu nemenin Bunda. Aku selalu ngerasa gagal jadi anak setiap inget kejadian itu. Masalahnya, aku nggak punya pilihan. Flight dari Papua ke Jakarta, yang direct di hari itu cuma ada satu. Jam sembilan dari sana dan landing jam dua belas disini. Aku bersyukur banget kak Teira dan kak Yona yang bantu urus pemakaman Bunda. Setelah landing aku langsung ke pemakaman dan itu saat terakhir aku lihat Bunda. I can’t touch her anymore, I can only see her from afar. That’s how I lost my world.”
“I understand, ga. I’ve been there, done that. Jadi sendirian itu nggak enak.”
“But you have your dad and your sister?”
Rena menggeleng, “I lost my dad and my sister, the moment my mom died. Cara orang mengatasi kehilangannya beda-beda dan papa maupun kak Yona memilih untuk menyibukkan diri mereka. Sometimes I feel kalau mereka menghindari aku, mungkin karena wajahku mirip mama banget.”
“Your mom is so pretty then.”
Rena tertawa, “Gak usah ngegombal! Lagi ngomong serius gini juga!”
“Aku ngomong jujur. Kalau kamu nggak cantik, gimana bisa jadi model dan finalis Miss Universe?”
Jawaban Sagala cukup membuat Rena tersipu malu.
“Apa karena itu kamu berusaha mempertahankan Azkan?” tanya Sagala.
“Mungkin?”
“Leave him, Ren. Not worth it. Someone else out there would be very lucky to have you, to become your lifetime partner.”
“Is it? Aku nggak yakin. Maksudku dengan ucapan kamu barusan that someone will be lucky enough to be my lifetime partner.”
“Hey, hey, Inget-...”
“Azkan brengsek dan dia yang salah. I know, i know.” potong Rena disambung dengan tawa dari Sagala.
“Tapi, ga…. Sorry banget, kalau gitu kamu ngambil kasus aku karena tau aku ini-...”
Sagala menggeleng cepat. “Awalnya aku ngerasa gitu. I feel indebted to you, but then the more I know about this case, the more I feel the need to make him pay. Selain itu aku juga mau mempermalukan orang lain.”
Kening Rena mengkerut tidak memahami ucapan Sagala.
“Mau denger TMI nggak?” tanya Sagala tiba-tiba.
“Awas ya dark jokes kayak waktu itu! Kaget tau aku pas kamu bilang mau bikin geng anak piatu!” protes Rena.
Sagala tertawa lebar, “Nggak kok.”
“Apa?
“Namaku, Sagala, itu gabungan nama kedua orangtua ku. Isaura dan Gala Abiseka.” ujar Sagala dengan santai sembari menunggu respon Rena.
“Gala Abiseka? Namanya kok agak familiar ya? Gala Abiseka…..Gala Abiseka….. Aku pernah denger dimana ya?”
Sagala tersenyum, membiarkan Rena terus-terusan mengali ingatannya. Kini Rena mengeluarkan ponselnya dan mencari nama Gala Abiseka di mesin pencarian.
“Gala Abiseka yang ini?!” tunjuk Rena pada layar ponselnya yang menampilkan foto Ayah Sagala beserta logo lawfirm yang dimiliki oleh Gala Abiseka.
“Bingo.”
“Wait, wait. Dia bukannya lawyernya Azkan?!”
“That he does. Hence why, Ren. I never pity you, I did it for myself. I wanna make Azkan pay for what he did. Also, I hate how dia ngambil case nya Azkan. Well, tukang selingkuh ngebantuin tukang selingkuh, what’s new sih? So, I wanna show my father that he sucks at what he did.”
Baik Sagala maupun Rena terdiam sesaat. Keduanya menyandarkan diri mereka pada kursi mobil Sagala dengan posisi miring, saling menatap.
Mata Rena memperhatikan wajah Sagala dengan seksama. Ia sudah mengetahui bahwa Sagala memang cantik, namun hari ini entah mengapa Sagala terlihat jauh lebih cantik dari hari biasanya.
Sedangkan Sagala, bertemu dengan klien-klien yang memiliki paras cantik ataupun menawan sudah merupakan hal lumrah baginya, namun sosok Rena memiliki auranya tersendiri dan Sagala baru menyadarinya hari itu.
Ia lagi-lagi memaki Azkan dalam hatinya. Benar-benar laki-laki bodoh.
Kemudian Sagala teringat akan penuturan Rena barusan. Hatinya terasa sangat lega. Setidaknya sang Ibunda pergi dengan damai dan tanpa rasa sakit. Baginya itu semua sudah lebih dari cukup.
“Sagala…” panggil Rena membuyarkan lamunan Sagala.
“Yep?”
Sagala sedikit kebingungan saat melihat Rena bertingkah cukup malu-malu dihadapannya.
“Can I ask for a hug?”
“Eh?”
“W-well, I think you need a hug right now. Maaf kalau keliatannya aku sok tau. Tapi I think you do.”
“Jadi yang mau minta peluk itu aku atau kamu?” goda Sagala.
“Jangan mulai nyebelin!”
Sagala tertawa namun tak lama kemudian ia menarik Rena ke dalam pelukannya. Tangan Sagala melingkar erat di bahu dan pundak Rena.
“Thank you, Ren.” bisik Sagala.
“You’re welcome. Feel free to hug me anytime you think you need it.”