121.

Bel apartemen Taeyeon berbunyi tepat pada saat oven miliknya mengeluarkan bunyi khas yang ditunggu-tunggu sebagai penanda kue telah matang.

Wendy dan Taeyeon yang sedang tidur-tiduran di sofa abu-abu yang terletak di ruang tv itu hanya saling melempar pandang, saling melempar tugas untuk membuka pintu.

Bel apartemen Taeyeon berbunyi sekali lagi sebelum akhirnya Taeyeon menghela napasnya.

“Oke oke pintunya gue yang buka. Lo urus tuh semua cake yang lo bikin.” ujar Taeyeon sambil melempar bantal sofa tepat ke arah muka Wendy.

“Kayaknya gue yang tuan rumah tapi kok gue yang takut sama tamu sendiri.” bisik Taeyeon sembari berjalan ke arah pintu masuk dengan malas.

“Love ya Taeyeon!” teriak Wendy.

Taeyeon yang sudah menduga siapa sosok dibalik pintu tersebut memutar bola matanya saat melihat Irene melambaikan tangannya.

“Hello couz, sorry lama ya. Nih, gue kasih sesajen buat Zero.” ujar Irene sembari memberikan sebuah box dengan label yang familiar bagi Taeyeon.

“Oke dimaafin. Tuh orangnya di dapur gue.” ujar Taeyeon, mempersilakan Irene untuk memasuki apartemennya itu.

“Gembel banget lo tumben?” tambah Taeyeon.

Sosok Irene yang Taeyeon tahu merupakan seseorang yang tidak pernah tampil dengan gaya berpakaian yang berantakan, minimal ia akan menggunakan kemeja dan celana bahan kemana pun ia pergi. Sekalipun Taeyeon sedang mengunjungi Irene di rumahnya, Taeyeon selalu melihat Irene dengan gaya berpakaian yang rapi.

Namun hari itu untuk pertama kalinya Taeyeon melihat Irene mengenakan celana jogger berwarna putih -yang lebih mirip seperti celana tidur-, hoodie berwarna hitam yang terlihat lusuh, dan overcoat berwarna ungu gelap yang tidak kalah lusuh dengan hoodienya.

“Iya buru-buru, takut ilang lagi orangnya.”

Well, jawaban yang sangat masuk akal. Taeyeon juga baru menyadari kacamata bulat dengan frame berwarna silver metalik yang bertengger manis di hidung Irene.

Biasanya Irene selalu memilih menggunakan contact lense dibandingkan dengan kacamata.

Kini keduanya telah berada di ruang makan, jarak mereka tidak lebih dari delapan meter dengan Wendy yang saat ini memunggungi keduanya.

“Siapa yang dateng sih?” tanya Wendy sembari mengeluarkan sisa-sisa kue dari oven ke atas tatakan, masih belum menyadari kehadiran Irene.

Taeyeon memberikan kode bahwa ia akan meninggalkan Irene dan Wendy berdua yang dibalas dengan anggukan oleh Irene.

“Saya Wen.”

Tangan Wendy terhenti di udara ketika ia mendengar suara Irene, ia menengadahkan kepalanya untuk memeriksa apakah pendengarannya memang tidak salah.

“Wow banyak banget yang kamu bikin siang ini. Kamu suka baking ya?” tanya Irene untuk menyairkan suasana. “Saya suka carrot cake by the way.”

Wendy tidak menggubris ucapan Irene. Yang diajak berbicara kembali sibuk dengan kue-kuenya itu.

Karena tidak ada jawaban akhirnya Irene berjalan mendekati Wendy dengan langkah pelan, berusaha untuk membuang waktu sembari berpikir akan berbicara apa lagi.

“Uhm, saya bisa bantu apa? Kamu butuh bantuan apa?”

“Gaada, butuhnya lo pergi aja.”

“Well, kalo itu saya nggak bisa.”

“Yaudah kalo gitu gue aja.” ujar Wendy sembari menghela napas dengan kasar dan melepaskan sarung tangan oven yang ia gunakan.

Irene yang melihat gelagat Wendy serius dengan ucapannya itu, buru-buru menghadang Wendy dengan berdiri tepat di depan Wendy. Berusaha untuk menghalangi langkahnya.

“Saya mau minta maaf Wen. Maaf karena buat kamu ngerasa dikekang, tapi saya punya alasan sendiri Wen.”

“Nggak peduli. Minggir.”

Irene menggeleng.

“Gue bilang minggir.”

Irene tidak menjawab, ia justru mengeluarkan ponselnya dan menunjukan sebuah foto.

Wendy menatap foto tersebut dan ia dapat menebak bahwa latar dari foto tersebut kurang lebih adalah acara wisuda. Ia mengenali dua diantara tiga sosok pelajar SMA yang ada di foto itu, Irene dan Seulgi.

Tetapi tidak dengan orang yang berada tepat disebelah kanan Irene, gadis yang dirangkul oleh Irene. Gadis itu sama sekali tidak mirip dengan Jennie.

Belum sempat Wendy membuka mulutnya, Irene sudah terlebih dahulu memotong niat Wendy tersebut.

“Ini Saya, Seulgi, dan yang ini.....Nana.” jari Irene menunjuk satu per satu sosok yang ada dalam foto tersebut.

“Hubungannya sama gue apa ya? Lo mau cerita panjang lebar juga gue tetep males liat muka lo sekarang.” potong Wendy.

“Saya punya alasan Wen, kenapa saya.....gak ngerasa nyaman kalau kamu pergi sendiri naik kendaraan umum.” ujar Irene sembari memasukan kembali ponselnya ke saku hoodie yang ia kenakan.

Penasaran.

Perasaan itu muncul dalam diri Wendy, namun egonya yang terlalu tinggi dan rasa marah tak beralasan yang ia rasakan terhadap Irene tetap saja mengalahkan rasa penasaran itu.

“Waktu di ruangan saya, kamu yang cerita ke saya tentang kamu kan? Sekarang boleh gantian saya yang cerita tentang saya?”

Wendy terdiam beberapa saat, ia tidak mengira Irene akan mengeluarkan kata-kata yang demikian.

“Kamu ingat nggak dulu rumah saya, kamu, dan Seulgi itu deketan? Jadi dulu setelah kamu pindah, ada keluarga lain yang nempatin rumah kamu itu. Mereka punya satu anak perempuan, Nana. Kebetulan karena kami bertiga seumuran dan pergi ke sekolah yang sama sampai kuliah, kami jadi......sahabatan.”

“Well pasti kamu bingung ya, saya bilang kami kenal sampai kuliah tapi yang saya tunjukin foto waktu SMA. Ini foto terakhir kami bertiga sebelum ada kejadian buruk yang menimpa Nana.”

“Hah?” tanpa sadar kata tersebut terlontar dari mulut Wendy.

“Waktu itu setelah penerimaan mahasiswa baru ada pentas, mini konser if you wanna call it like that. Seulgi sakit jadi dia nggak datang, saya of course nggak suka keramaian kayak gitu jadi nggak datang. Tapi Nana pengen banget untuk datang, dia udah minta saya buat nemenin dia, tapi saya tetap nggak mau.”

Melihat raut kesedihan dan ekspresi pilu yang menyesakkan di wajah Irene membuat Wendy bingung harus bertindak seperti apa.

Ia hanya memalingkan pandangannya sepersekian detik, melihat ke arah Zero yang mengintip dari lorong yang mengarah ke kamar Taeyeon, dan pada saat ia menatap Irene lagi, Wendy melihat setetes airmata jatuh di pipi perempuan yang masih berdiri tepat di depannya itu.

“R-ren....?”

Irene menggelengkan kepalanya lalu mengusap airmatanya, “Sorry, I'm being emotional.”

“Well long story short, Nana akhirnya berangkat sendiri dan pulang sendiri juga. Namanya konser pasti pulang malem kan ya?” Irene tertawa ringan.

Namun bagi Wendy tawa dari Irene itu justru terdengar menyayat hati.

“Entah kenapa malam itu tiba-tiba saya punya feeling yang nggak enak, saya telpon Nana dan nawarin untuk jemput dia di kampus. Tapi Nana tolak, karena menurut dia udah terlalu malam buat saya untuk driving my car. Akhirnya setelah kami tawar-menawar, Nana pulang naik taksi Wen.”

Seketika airmata Irene jatuh kembali setelah ia menyelesaikan kalimatnya.

“Ren are you sure you're okay?”

Irene menggeleng lagi, entah untuk yang ke berapa kali.

“S-she took the fucking taxi...... a-and.....”

Kali ini Irene tidak berhasil menahan airmata yang mengalir ke pipinya, namun ia masih berusaha keras untuk tidak menangis tersedu-sedu.

Melihat bahu Irene yang bergetar hebat, tubuh Wendy secara otomatis berjalan mendekati Irene dan tanpa ia duga, Wendy menarik Irene dan memeluk tubuh yang sedang berjuang melawan kesedihannya itu.

“S-she took that fucking taxi and the driver.....th-the driver, h-he.... raped her....” ucapan Irene terpotong oleh isakannya yang sudah tidak mampu ia tahan lagi. “I should've.......forced her.... t-to let me pick her up.”

Wendy memeluk erat tubuh Irene, memohon supaya Irene untuk berhenti melanjutkan ceritanya yang sangat jelas menyakiti Irene.

Tanpa Irene menjelaskan lebih lanjut pun, Wendy sudah memahami alasan Irene yang melarangnya menggunakan kendaraan umum. Justru kini Wendy sangat merasa bersalah terhadap Irene.

“Sh-she was so traumatized t-that she....in the end....took her life Wen.” tambah Irene dengan lirih.

Meskipun suara Irene sangat pelan, namun Wendy dapat mendengar dengan jelas ucapan Irene. Posisi kepala Irene yang bersandar di dada Wendy membuatnya dapat mendengar dengan jelas setiap kata demi kata yang keluar dari mulut Irene.

“R-ren, I'm so sorry....”

“I won't let that happen again, ever, to my closest person Wen. I don't want it to happen to anybody, especially you.” ujar Irene lagi. Tangannya menggenggam erat baju Wendy.

“Ren sorry banget, gue gak seharusnya langsung marah ke lo kayak tadi tanpa dengerin alesan lo ren...”

“No, don't say sorry Wen. Kamu nggak salah apa-apa.”

Irene memejamkan matanya, berusaha untuk menghentikan tangisannya.

“I...know saya bukan orang yang nyaman untuk kamu ajak bicara. I need to learn how to communicate like a normal person, i know that.” ujar Irene yang kemudian menarik napas panjang. “but I do care about you Wen.”

“Kamu boleh anggap saya nggak ada, but please let me fulfill my promise to your father, I'll take care of you selama kamu disini.” lanjutnya lagi.

Selepas Irene menyelesaikan kalimatnya itu, hanya ada keheningan diantara mereka berdua.

Irene yang masih berusaha mengatur emosinya yang berantakan dan Wendy yang hanya bisa mengedipkan matanya.

Pasalnya, Wendy dapat merasakan kejujuran dan ketulusan Irene dalam perkataannya itu. Ia dapat merasakan bahwa tidak ada motif lain dalam perkataan Irene selain apa yang ia ucapkan.

Irene adalah orang kedua.

Ini adalah kali kedua dalam hidupnya Wendy merasakan ketulusan seseorang yang mengatakan bahwa mereka ingin memperhatikan dan menjaga dirinya.

Sedangkan orang yang pertama, merupakan cinta pertamanya.