127.

Wendy merapikan barang bawaannya saat ia melihat gerbang kompleks apartemennya semakin dekat.

Setelah ia bertanya beberapa hal tentang kebiasaan Irene kepada Yeri, Wendy memutuskan untuk membuatkan Irene barley tea hangat dan sup krim.

Setelah ia membayar ongkos taksi, Wendy bergegas menuruni taksi yang ia naiki dan segera berjalan menuju lobby apartemennya. Tanpa sadar Wendy menggaruk dahinya sekilas saat ia menunggu pintu elevator terbuka, sebuah kebiasaan yang akan timbul saat Wendy sedang bingung.

Ia bingung harus memulai percakapan dengan Irene darimana.

Kemarin setelah confession yang cukup mengagetkan dari Irene, mereka tidak banyak berbicara. Paling hanya basa-basi untuk mencairkan suasana selama perjalanan pulang dari apartemen Taeyeon.

Wendy sendiri sudah kepalang mengantuk setelah menghabiskan tenaganya membuat hampir empat lusin kue yang tadi pagi akhirnya ia bagi-bagikan dengan staff di studio musik.

Ruangan pertama yang Wendy sambangi setelah ia masuk apartemennya adalah dapur. Ia menaruh semua barang bawaannya di meja makan kemudian Wendy buru-buru menuju ke kamar Irene untuk memeriksa keadaan wanita yang hampir pingsan di kantor.

Wendy mengetuk pelan pintu kamar Irene, kemudian ia mengintip perlahan. Dengan sengaja ia hanya menyempilkan kepalanya diantara celah pintu.

Kamar Irene cukup gelap. Gorden kamar tersebut tertutup rapat dan lampu kamar sengaja dimatikan.

“Ren?”

Tidak ada jawaban.

Akhirnya Wendy mendorong pintu kamar lebih lebar lagi, perlahan Wendy melangkah masuk. Tanpa sadar Wendy sedikit menahan napasnya, takut membuat Irene terbangun.

Barulah saat Wendy berjalan mendekati kasur, ia melihat Irene yang tertidur pulas dengan tubuh yang terbalut selimut dengan sempurna. Napasnya cukup teratur, sekilas Irene terlihat baik-baik saja namun Wendy dapat melihat bahwa Irene berkeringat cukup banyak.

“Ren, gimana keadaan lo?”

Dahi Irene mengernyit saat ia merasakan Wendy menyentuh dahinya untuk memeriksa suhu tubuhnya. Ia sempat membuka matanya sejenak untuk melihat siapa yang menyentuhnya namun ia segera memejamkan matanya kembali setelah ia mengetahui bahwa itu adalah Wendy.

“Other than feeling like just get hit by a bulldozer, I'm feeling good.”

“Asli lo lebay banget. Kata Kak Seul lo hampir pingsan?”

“Nggak, itu Seulgi bohong.”

“Well kalo lo sekarang se-lemes ini, gue lebih percaya Kak Seul sih. Badan lo meriang juga ini. Mau ke RS?”

“Gausah, cuma butuh istirahat aja.”

“Yee, tadi pagi juga lo ngomongnya gitu ke gue akhirnya tumbang gini.”

Irene hanya menggumam pelan yang sama sekali tidak bisa ditangkap oleh pendengaran Wendy.

“Yaudah deh lo tidur lagi dulu, gue bikinin sup krim sama barley tea anget ya. Kata Yerim nyokap lo suka bikinin barley tea anget kalo lo sakit?”

Irene kini justru mengubah posisi tidurnya, matanya menatap Wendy dengan lekat.

Yang dipandangi dengan serius justru menjadi salah tingkah, lagi-lagi Irene dan ke-random-an nya.

“Kamu pulang sama siapa?”

Wendy diam sesaat, ia ragu untuk menjawab teringat akan pertengkaran mereka kemarin dan alasan dibalik sikap Irene. Ia tidak ingin terjadi pertengkaran lainnya karena saat ini kondisi Irene yang sedang lemah dan jujur dirinya pun lelah.

“Dianter sama Kak Seul.”

“Bohong.”

“Nggak kok seriusan, tanya aja sama Kak Seul.”

“Wen, planner saya, Seulgi, dan Jennie itu ke-link semua. Saya bisa lihat jadwal mereka, Seulgi ada urusan di plan site hari ini dan jaraknya 40 km dari sini.” ujar Irene. Ia menarik napas cukup dalam.

“Kamu pulang naik apa?” tanya Irene lagi, suaranya terdengar agak serak.

“Kalo gue jawab jujur lo jangan marah ya? Sumpah gue males ribut lagi. Tadi gue naik taksi.”

“Kamu susah banget ya dibilangin.”

“Yee mulai kan? Lagian sekarang gue balik tanya, lo tau Kak Seul gak bisa jemput gue dan gue gak bawa mobil, terus gimana caranya gue bisa segera cek keadaan lo kalo gue gak naik kendaraan umum?”

“Saya bisa minta driver saya jemput kamu.”

“Okay, but in case driver lo gak bisa gimana? Lo bakal maksain buat nyetir dan jemput gue?”

“Iya.”

“Dih gila lo ya? Udah tumbang gini masih juga ngotot. Kalo lo nyetir yang ada kita bisa mati berdua di jalan.”

Wendy memicingkan matanya. Ia lupa bahwa Irene memang benar-benar keras kepala, Wendy juga lupa bahwa Irene beda tipis dengan tembok beton.

“Udah ah, jangan ngajak ribut lo Ren. Mending lo tidur disini, gue mau bikinin krim sup sama barley tea lo.”

Wendy yang sudah membalikkan badannya untuk berjalan meninggalkan kamar Irene, harus berhenti melangkah saat merasakan Irene menarik ujung sweater yang ia kenakan.

“Apaan?”

Lagi-lagi Irene tidak menjawab dan hanya memandangi Wendy dengan lekat.

“Dih lo kenapa sih anjir? Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?”

“Jangan lama-lama masaknya.

“Hah??”

“Iya jangan lama-lama masaknya, saya laper.”

“Asli nyebelin banget lo kak.”

“Joohyun.”

“Hhah???”

“Jangan panggil saya pakai kak lagi, saya gak mau sama kayak Seulgi. Panggil saya Joohyun aja.”

“Fix sih lo sakit ya? Jalan pikir lo super aneh hari ini. Gue biasanya juga manggil lo Irene.”

Irene menggeleng, “Yang manggil Irene cuma rekan kerja, yang manggil saya Joohyun itu orang-orang terdekat saya dan keluarga.”

“Yaudah iya iya, JOOHYUN.”

“Besok-besok jangan bohong lagi ya, saya paling gak suka dibohongin.”

“Iya cereweeet.”

“Good, mulai besok kamu pakai mobil saya aja.”

“Yes mother.”

“Jangan naik kendaraan umum lagi.”

“Demi penguasa bumi dan surga.....Iya BAE JOOHYUN.”

“Kalo kepepet banget telpon saya. Nanti saya yang anter jemput kamu.”

“Sumpah lo bawel banget, udah ah gue mau mulai masak nih.”

Irene -slash- Joohyun, hanya tertawa pelan. Ia kembali bersembunyi di balik selimutnya.

“Dasar nyebelin, tau gitu gue gak buru-buru pulang buat cek keadaan lo.” ujar Wendy saat ia meninggalkan kamar Irene.