154. Adrian Antasena dan Justicia Renata
Setelah mendapatkan pesan dari Sagala bahwa ia sudah berangkat dari rumahnya, Rena segera berlari ke kamar mandi. Waktu mandinya yang biasanya terbilang cukup lama, ia pangkas menjadi sesingkat mungkin. Takut kalau-kalau Sagala sampai dengan cepat.
Namun masalahnya tidak berhenti hanya sampai disitu saja, Rena harus berdiri lama di dalam walk-in closet miliknya dengan masih berbalut bathrobe. Ia menimbang-nimbang baju apa yang harus ia pakai hari itu dan pakaian ganti apa yang harus ia bawa.
Rena pada akhirnya memutuskan untuk membawa pakaian yang cukup tebal, mengingat mereka akan menginap di puncak dan mengenakan pakaian casual untuk pagi harinya. Ia juga tidak ingin terlalu berdandan di hadapan Sagala. Agak malu juga saat ia menyadari tingkahnya seperti ini.
Setelah ia selesai memasukan baju-bajunya ke dalam gym bag miliknya. Rena kemudian keluar dari kamarnya dan turun ke lantai dasar. Ia segera menuju ke arah ruang makan.
“Bibiiii!” sapa Rena sembari menaruh tasnya di atas meja makan.
“Pagi mba Rena. Tumben mba bangun pagi? Udah rapi pula.” tawa salah satu asisten rumah tangganya dari arah dapur.
“Iya nih. Kesambet kayaknya.”
“Hush! Ngawur aja mba Rena ini!”
“Bi, masak apa?”
“Oh ini buat bapak. Tadi minta dimasakin omelet. Mba Rena mau?”
“Boleh deh bi, sama sosis ya? Omelet sama sosis aja.”
Sang asisten rumah tangga mengangguk mengiyakan.
Rena pun kemudian membuka lemari es yang berada di ruang makan, ia melihat-lihat stok buah yang ada. Untungnya ada beberapa kotak berisikan buah potong yang memang selalu tersaji di rumahnya. Rena mengambil satu kotak melon dan satu kotak semangka yang sengaja ia pisahkan untuk nanti ia bawa.
Kemudian Rena mengambil beberapa lemon dari sana.
“Mau dibuatin air lemon mba?”
“Ada jeruk nggak sih bi?”
“Ada mba. Ketutupan kotak semangka kali.”
Rena mencari-cari dengan lebih teliti dan menemukan beberapa buah jeruk di pojok lemari esnya.
“Mau ngapain sih mba?”
“Mau buat air jeruk lemon anget.”
“Mba Rena sakit apa gimana?”
Rena menggeleng sembari melanjutkan aktivitasnya. “Buat temen aku.”
Tak lama berselang, Rena mendengar adanya langkah kaki yang memasuki ruang makan. Disana ia melihat sosok papanya, Adrian Antasena, sudah rapi dengan setelan casualnya kemeja polo berwarna putih dan celana khaki.
“Oh Ren?”
“Pagi pa.”
“Tumben? Biasanya papa sampai berangkat kantor juga kamu masih tidur.”
“Iya nih pak. Tadi saya juga ngomong gitu.” kekeh sang asisten rumah tangga.
“Kesambet pa.” jawab Rena asal.
“Ngaco kamu tuh. Eh ini tas siapa? Oh kamu mau nge gym? Berat amat Ren?” cecar Anta yang sedang mengangkat tas milik putrinya.
“Aku mau pergi sama temen aku, ke puncak. Sehari doang. Makanya bangun pagi.”
“Oh sama siapa?”
“Sagala.”
Kening pria itu mengkerut, ia berusaha mengingat-ingat nama Sagala namun nihil. Ia baru mendengar nama itu dari mulut Rena hari ini.
“Sagala siapa Ren?”
“Temenku sama temennya Selene, pa. Temen kak Teira juga”
“Kok papa baru denger namanya?”
“Iya baru dikenalin Kak Teira sama Selene soalnya.”
“Oh…. Yasudah hati-hati. Nginep?”
Rena mengangguk.
“Kabarin papa ya dimana nginepnya. Gini-gini papa tetep suka kepikiran kalau nggak ketemu kamu.”
“Lebay.” tawa Rena.
“Rena, papa serius.” ucap Anta yang cukup membuat Rena berhenti melakukan kegiatannya sejenak.
Rena hanya menghela napasnya lalu melanjutkan memotong lemon tadi.
“Rena, mungkin kamu liatnya papa nggak merhatiin kamu. Papa nggak akan menyangkal kalau dulu memang kepergian mama kamu cukup membuat papa terpukul. Papa juga jadi jarang ngurus kamu dan kakak kamu. Tapi bukan berarti papa berhenti merhatiin kalian dari jauh.”
“Iya tapi papa dan kakak, kalian semua ninggalin aku sendirian.” jawab Rena masam.
Anta hanya bisa terdiam. Ia tahu dirinya memang patut dipersalahkan.
“Gimana kasus kamu? Sudah sampai mana? Weekend kemarin papa mau ketemu Ares ternyata dia lagi di Singapura. Mau ketemu hari ini terus orangnya udah terbang lagi nggak tau kemana.” tawa Anta berusaha mencairkan suasana.
“Ya gitu. Rabu besok sidang lagi.”
“How do you feel? Kamu udah bulat dengan keputusan kamu?”
Pertanyaan Anta mengundang amarah Rena. Pisau yang ada di tangannya dibanting dengan cukup keras oleh Rena.
“Papa masih bisa nanya kayak gitu ke aku? Papa tau nggak aku pernah diapain sama Azkan? Katanya papa merhatiin aku dari jauh? Papa seriusan ngomong kayak gini?”
“Rena…. Bukan itu maksud papa….”
“Terus apa pa? Aku tanya sekarang.”
Anta kembali terdiam.
Rena menggeleng kecewa. Ia kemudian menaruh pisau dengan cukup kasar ke tempat cuci piring. Niatnya membuat air perasan jeruk lemon ia urungkan, diganti dengan infuse water berisikan jeruk dan lemon.
Rena tidak ingin berada di dekat papanya lebih lama lagi.
“Rena…. Dengerin papa dulu…. Bukan itu maksud papa.”
“Terus apa pa?!” tanya Rena dengan kesal.
Pria paruh baya itu menarik napasnya pelan, ia menatap putrinya dengan lekat.
“Akhir-akhir ini papa liat kamu lebih happy dari biasanya. Kamu sadar nggak kamu bahkan sekarang suka nyanyi lagi sambil ngerjain sesuatu? Terakhir kali kamu kayak gitu waktu mama kamu masih ada.”
Jawaban Anta membuat Rena bungkam. Ia tidak menyadari hal ini.
“Setau papa selama sidang cerai itu jalan untuk rujuk selalu dibuka, jadi papa pikir kamu dan Azkan ada arah kesana. Kenapa papa mikir kayak gitu? Karena Azkan satu-satunya laki-laki yang dulu kamu kenalin ke papa dan papa inget banget gimana ekspresi kamu hari itu. Pelan-pelan papa liat kamu yang dulu Renata.” lanjut Anta.
Rena hanya mengendikkan bahunya. Ia enggan merespon ucapan papanya. Rena justru sibuk mencari botol minum berukuran cukup besar yang bisa menampung infuse water buatannya.
“Nggak pa. Aku nggak bakalan rujuk sama Azkan. Cukup tiga tahun aku jadi bodoh.”
Sementara itu Anta hanya bisa memandang punggung putrinya yang enggan menatap balik dirinya. Terdapat kekecewaan dalam diri Anta namun ia tahu hanya dirinya yang bisa ia salahkan.
“You know papa loves you, right Ren? Papa tau papa nggak bisa jadi teman ngobrol sebaik mama kamu. But it’s better late than never, right?”
Rena hanya tersenyum tipis.
“Rena….”
“Yeah, I know.”
“Good. You will tell me anything, right?”
“Sure.”
“Rena…kamu bisa cerita apapun ke papa. Anything.”
“Yea, I will think about it.”
Anta tidak sempat berbicara kembali kepada Rena karena salah satu supir Anta yang akhir-akhir ini menjadi supir pribadi Rena berjalan ke arah ruang makan, terlihat sedang mencari-cari seseorang.
“Nah, mba Rena disini rupanya! Mba temennya udah di depan.”
“Oke, makasih pak. Bilangin tunggu sebentar.”
Rena kemudian mengambil buah yang tadi sudah ia pisahkan, lalu mengambil botol infuse water dan terakhir ia menyambar sling bag dan gym bag yang tadi ia siapkan.
“Mba, ini sarapannya?”
“Udah nggak mood bi, buat bibi aja.” ujar Rena yang kemudian menatap papanya, “Pamit, pa.”
Anta menghela napasnya kembali. Namun ia tahu ia tidak bisa mendorong Rena untuk langsung menerima dirinya seperti Rena menerima mendiang istrinya.
“Siniin tas kamu, papa bawain sampai depan.” ujar Anta yang langsung mengambil gym bag dari tangan kiri Rena.
Anta sendiri tidak menunggu respon Rena dan langsung berjalan ke arah ruang tamu. Ia sedikit penasaran dengan sosok Sagala yang tadi sempat disebutkan oleh putrinya.
Adrian Antasena sempat terkejut saat melihat sosok Sagala yang langsung berdiri saat Sagala melihat Anta. Sagala pun membungkukan badannya sebagai bentuk salam dan penghormatan, lalu menjulurkan tangannya ke arah Anta.
“Saya Sagala, pak.”
“Anta. Nggak usah terlalu formal, panggil om juga nggak apa-apa. Teira dan Selene juga manggilnya om, kamu temannya Rena kan?”
Sagala mengangguk.
“Mau kemana?”
“Puncak, om. Saya punya asma, hari ini mau keluar kota sebentar supaya membaik sedikit kondisinya.”
“Aduh iya, udaranya parah banget emang. Kalian berdua aja?”
Sagala kembali mengangguk.
“Hati-hati ya. Kuat nyetir sendiri? Kalau nggak kuat, ajak aja drivernya Rena.”
“Kuat kok om. Udah sering.”
“Udah ah, ga. Berangkat sekarang aja yuk.” potong Rena.
“O-okay, pamit ya om. Rena nya besok bakal saya pulangin dengan aman.” ujar Sagala sembari tersenyum ke arah Anta.
Sagala mengambil tas yang dibawa oleh Anta kemudian ia membungkukkan badannya sekali lagi dan tak lupa kembali menyalami Anta sebelum ia kemudian mengikuti Rena yang sudah keluar terlebih dahulu.
Rena terhenti di teras rumah saat melihat mobil Sagala yang terparkir rapi tepat di depannya.
Mercedes GLS 450 berwarna hitam.
“Kirain pakai mobil mungil kamu.” goda Rena kepada Sagala saat keduanya berjalan ke arah bagasi mobil.
“Emangnya aku gila apa bawa kamu ke puncak naik mobil mini begitu. Kalo nggak kuat nanjak kamu mau dorongin dari belakang?”
“Ya kamu lah yang dorong! Masa aku?”
“Kan yang nggak bisa nyetir kamu?”
“Nyebelin.”
Sagala hanya menjulurkan lidahnya ke arah Rena.
Pemandangan ini diperhatikan oleh Anta dengan saksama. Ia tersenyum ketika melihat putrinya dibuat tertawa oleh Sagala entah karena apa. Anta pun membalas sapaan Sagala sekali lagi dengan lambaian tangannya.
Adrian Antasena terus memperhatikan mobil SUV hitam tersebut hingga perlahan meninggalkan area rumahnya.
“Sagala…”