155.
“Masih pagi kok udah cemberut gitu mukanya?” tanya Sagala sembari menyetir.
Rena hanya mengedikkan bahunya, enggan menanggapi juga enggan menjelaskan kalau penyebab moodnya memburuk adalah percakapannya dengan papanya tadi. Lagipula bagaimana juga ia harus menjelaskan percakapannya kepada Sagala jika Sagala secara tidak langsung ikut terseret dalam pembicaraan tersebut.
Sementara itu melihat Rena enggan menjawab pertanyaannya barusan, Sagala memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Ia sangat mengerti bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dibagikan oleh Rena kepadanya. Lagipula memangnya siapa Sagala bagi seorang Renata.
“Uhm, suka dengerin lagu apa?” tanya Sagala.
“Anything is fine even dangdut.”
Sagala terbahak ketika mendengarkan jawaban Rena.
“Finalis Miss Universe kita ini emang paling berbudaya.” goda Sagala yang mendapat tinjuan di pundaknya.
“Nggak usah nyebelin.”
“Oke oke.”
Sagala menyentuh panel audio mobilnya, memilih untuk memutar lagu-lagu jazz yang ada di salah satu playlist miliknya.
“Jazz?”
“Yep, why? Mau ganti?”
“Nope. Aku kira kamu lebih suka genre lainnya. Pop or R&B gitu?”
“That I do. Tapi tadi asal aja sih milih playlist. You wanna change it? Ambil aja handphone ku, passwordnya 2115”
Rena terdiam, sedikit terkejut bagaimana Sagala sangat terbuka dengannya. Menurut Rena, handphone adalah salah satu barang paling private yang dimiliki oleh seseorang. Fakta bahwa Sagala dengan santainya menawarkan Rena untuk membuka ponselnya cukup mengagetkan bagi Rena.
Bahkan dalam tiga tahun pernikahannya dengan Azkan, tidak satu kali pun Azkan membiarkan Rena menyentuh ponselnya.
Ia kembali membandingkan Sagala dengan Azkan dan Rena baru menyadari bahwa akhir-akhir ini secara tidak sadar ia sering membandingkan keduanya.
“Can I?” tanya Rena ragu.
“Go on, kan tadi aku udah nawarin. Perlu aku ulang nggak passwordnya?” tanya Sagala lagi.
Rena menggeleng.
Hal pertama yang ia lihat adalah lockscreen di handphone Sagala. Foto Sagala bersama dengan Sashi, Yesha, dan Teira. Nampaknya diambil di sebuah acara outing kantor karena ketiganya menggunakan kaos serupa.
Setelah Rena memasukkan passwordnya, ia disuguhi dengan foto Sagala bersama dengan Isaura ketika Sagala masih kecil. Tebakan Rena kira-kira saat Sagala masih di bangku TK.
“Lucu…” ucap Rena tanpa sadar.
Mendengar ucapan Rena, Sagala secara otomatis menoleh ke arah Rena beberapa detik. Ia agak malu ketika menyadari bahwa Rena sedang melihat foto dirinya sewaktu masih kecil. Namun Sagala tidak membahas hal ini lebih lanjut karena ia paham bahwa Rena mungkin mengatakan hal tersebut secara tidak sadar.
“Susah nggak nyari aplikasinya?” tanya Sagala yang memilih untuk tidak menggubris ucapan Rena tadi.
Ucapan Sagala membuat Rena mengingat tujuan utamanya meminjam ponsel sang pengemudi. Rena dengan cepat melihat isi homescreen milik Sagala. Ia mendapati bahwa Sagala menata icon-icon aplikasi yang ada di ponselnya dengan sangat cermat dan rapi.
Pada homescreen Sagala hanya terdapat beberapa aplikasi saja, kemungkinan yang sering dibutuhkan Sagala dalam waktu cepat. Maps, camera, gallery, teams, whatsapp, email, dan yang terakhir adalah aplikasi pemutar musik yang dicari oleh Rena.
“Ketemu.” jawab Rena.
Jari Rena mengusap layar ponsel Sagala, mencari-cari inspirasi lagu apa yang akan ia pilih untuk diputar saat ini.
Pada akhirnya, Rena memilih untuk memutar lagu berdasarkan artis yang ia sukai.
“Beyoncé?!” pekik Sagala.
“Eh kenapa?” tanya Rena sedikit terkejut.
Sagala tertawa, “I loveeee her!! Damn, sekarang selera musik kita juga sama?! What a coincidence….”
Sebuah senyuman mengembang di wajah Rena. Bahkan fakta-fakta kecil seperti ini mampu mengubah suasana hatinya. Secara tidak sadar Rena menolehkan wajahnya ke arah kaca, berusaha menyembunyikan wajahnya dari Sagala. Ia tidak ingin Sagala melihat bahwa ucapan sederhana tadi mampu membuat Rena tersipu.
“Anyway….” ucap Rena berusaha mengalihkan pembicaraan.
“So tanggal lahir kamu tanggal dua bulan satu atau tanggal satu bulan dua?” sambung Rena, merujuk pada plat mobil Sagala saat ini.
B 21 SW
Sagala menoleh ke arah Rena lalu menjulurkan lidahnya jahil, “Salah semua.”
“Ih katanya suruh liat plat nomor mobil kamu?!”
“Mobil yang satunya, kalau mobil ini cuma tanggalnya aja. Tanggal 21.”
“Terus bulannya kapan?” ucap Rena kembali bertanya.
“Rahasia. Kamu cek aja mobil aku yang satunya.” tawa Sagala.
Mendapati dirinya kembali dijahili oleh Sagala, secara refleks Rena mencubit paha Sagala.
“Aduh! Sakit Renaaaa!” protes Sagala.
“Salahnya sendiri usil!” dengus Rena.
Sagala kembali tertawa, menguji kesabaran Rena mungkin menjadi salah satu hobinya akhir-akhir ini.
Sementara itu, Rena mengamati arah laju mobil yang dikendarai oleh Sagala. Ia kemudian menatap heran ke arah Sagala saat melihat sang pengemudi tidak memilih untuk masuk ke jalan tol dalam kota.
“Kita ke puncak kan?”
Sagala mengangguk sambil matanya awas melihat kaca spion mobilnya. Ia kemudian berpindah lajur.
“Nanti aja masuk tolnya. Biar hemat dikit. Toh jalan biasa juga bisa nih kan udah gak kena ganjil genap.” jawab Sagala santai.
Sementara itu jawaban Sagala justru membuat Rena ternganga, “Ya ampun Sagala! Kan paling cuma beda sepuluh ribu? Lima belas ribu?”
“Tetep aja beda kan?”
Rena menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“By the way, kak Teira sering kasih kamu izin kayak gini?”
“Hmm, sebenernya ini kayak perjanjian nggak tertulis sih antara aku sama kak Teira. Aku biasanya paling nggak sebulan sekali ke luar kota kayak gini buat sekadar cari udara bersih aja.” ucap Sagala.
“I see, baik banget kantor kamu ya?”
Sagala berdeham menyetujui ucapan Rena barusan. Ia kembali melirik ke arah spion saat hendak membelokkan mobilnya menuju tol ke arah puncak.
“Kapan terakhir ke puncak?” tanya Rena lagi.
“Udah lama nggak ke puncak. Bulan lalu aku penuh banget jadwalnya. So maybe like four months ago?”
“Itu mah nggak lama! Bahkan aku udah gak inget kapan terakhir ke puncak!” ujar Rena.
“Well, good news dong? Sekarang kamu ke puncak dan lihat gimana perkembangannya dibanding yang dulu?”
Rena tidak menjawab ucapan Sagala saat ia melihat bahwa sebentar lagi mobil mereka akan memasuki jalan tol ke arah puncak. Rena kemudian memutar tubuhnya, sehingga kini ia sedang melihat isi kursi penumpang baris ke-2.
Melihat posisi Rena yang cukup melakukan akrobatik di dalam mobilnya, Sagala perlahan menurunkan kecepatannya.
“Ngapain sih Ren?”
“Mau ngambilin sarapan buat kamu.”
Kening Sagala mengkerut saat ia mendengar ucapan Rena. Sagala mengigit bibir bawahnya sejenak sebelum ia menggelengkan kepalanya.
“Repot-repot amat sih? Kan bisa beli di jalan? Aku tadi sempet mikir kita mampir drive thru aja.”
Rena melepaskan napas lega saat ia telah kembali ke posisi duduk semula.
“Tapi buah-buahan nggak dijual lewat drive thru.” jawab Rena.
“Mau melon atau semangka? Aku cuma ngambil buah yang aku suka aja sih ini.”
“Seriusan?” tawa Sagala.
“Apa lagi?!”
“Ren, sekali lagi kita suka hal yang sama kayak gini, aku bener-bener nggak tau kita tuh sebenernya telepati atau gimana. Anything is fine, aku suka melon dan semangka kok.” tawa Sagala.
Jawaban Sagala kembali membuat Rena kebingungan. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa mereka bisa memiliki banyak kesamaan seperti ini.
Pada akhirnya Rena memilih untuk menghabiskan kotak berisikan semangka terlebih dahulu. Ia menusuk semangka yang dibawanya dengan garpu plastik yang tadi ikut ia siapkan. Tangan kanan Rena terjulur ke arah mulut Sagala.
“Satu-satu ya biar nggak keselek.” ujar Rena.
Sementara itu Sagala cukup terkejut ketika menyadari bahwa saat ini Rena sedang menyuapi dirinya. Sagala menatap ke arah Rena meminta penjelasan, namun melihat bahwa Rena bersikap santai membuat Sagala akhirnya membuka mulutnya dan memakan semangka yang tadi diberikan oleh Rena.
“Aku bukan anak kecil Renaaa” protes Sagala sembari mengunyah.
“Bahaya tau! Mending kamu fokus nyetir aja dan gak usah banyak protes.”
“Eh omong-omong, kamu pergi dadakan gini udah booking penginapan atau belum? Kita nggak nginep di villa yang serem-serem gitu kan?” tanya Rena tiba-tiba.
“Nggak lah! Emangnya aku apaan ngajak kamu ke villa kayak gitu! Tenang aja semua udah beres!” protes Sagala.
Rena tertawa melihat Sagala yang sedikit merajuk saat mendengar pertanyaannya, “Ya abis ini tuh impromptu banget Sagalaaa! Aku nggak pernah kayak gini!”
“Iya tapi tadi aku kan yang ngajak kamu tiba-tiba. Artinya udah tanggung jawab aku buat kasih kamu tempat tidur yang proper juga. Bahkan aku udah kepikiran beberapa itinerary buat di puncak karena kamu bilang udah lama nggak kesana.”
Ucapan Sagala membuat Rena memutar tubuhnya menghadap ke arah Sagala dengan sangat bersemangat.
“Oh ya?! Kita mau ngapain??”
“Rahasia. Tapi tempat pertama kita taman safari.” ujar Sagala dengan senyum lebarnya.
Namun ucapan Sagala barusan justru membuat wajah Rena sedikit berubah ekspresinya yang untungnya tidak ditangkap oleh Sagala.
Masalahnya, Rena sama sekali tidak akrab dengan hewan. Bahkan bisa dibilang ia cukup anti dengan hewan. Namun kini Sagala justru mengajaknya ke tempat yang notabenenya berisikan banyak sekali hewan dengan berbagai jenis.
Tiba-tiba Rena teringat akan satu hal.
“S-sagala…”
“Yes?”
“Setau aku di taman safari ada caravan gitu nggak sih? Yang tempat nginep di dalam caravan gitu?”
“Yes. Ada emang. Kenapa?”
“Jangan bilang kita nginep disitu?”
“Bingo!” ucap Sagala bersemangat.
Akhirnya kini Rena mendapatkan perbedaan antara dirinya dan Sagala yang sangat berbanding terbalik. Tetapi tentu saja ia tidak akan membiarkan Sagala mengetahui hal ini, sekarang. Misinya kali ini adalah menikmati one day getaway-nya bersama Sagala.
Mentoleransi beberapa ekor hewan saja tidak akan bermasalah kan?
a/n: Tentang plat nomor mobil Sagala, pure cuma untuk kebutuhan fiksi aja. Kalau ada kesamaan dengan plat nomor mobil siapapun di kehidupan nyata, mohon maaf sebelumnya.