17.
Wening menutup pintu mobilnya dengan sedikit dibanting. Ia cukup kesal siang hari itu.
Fakta bahwa Rena nyatanya sedikit banyak berhubungan dengan sang Ibunda membuatnya cukup badmood.
Entah karena ego atau rasa bersalah.
Selepas makan siang bersama Selene, Wening memutuskan untuk kembali ke makam sang Ibunda. Berkeluh kesah seadanya, karena memang sosok yang ingin diajak bicara sudah tiada. Geledek siang itu yang mengingatkan Wening bahwa ia harus pergi dari sana.
Dengan langkah gontai Wening pun memutuskan untuk menyelesaikan ‘tugas’-nya. Wening kembali berkendara ke arah YKPI. Sudah terlampau sore sebetulnya, biasanya Wening akan mampir tepat setelah ia selesai berkunjung ke makam dan ia akan tinggal disana hingga waktu makan siang.
Namun hari ini ia justru baru tiba sore hari.
Seusai mengunci pintu mobilnya dengan kunci otomatis, Wening berjalan ke arah lobby yayasan. Masih dengan pikirannya yang tak karuan. Ia penasaran akan ucapan Teira namun Wening juga entah mengapa sangat takut akan jawaban yang akan didapatkan jika ia bertanya pada dokter Yona.
Wening menendang kerikil yang ada di sekitaran trotoar. Lagi-lagi hanya sekadar berusaha untuk mengobati hatinya yang kacau.
Tendangan terakhirnya mengenai sebuah mobil sedan hitam. Menyadari hal ini, buru-buru Wening bersembunyi di balik semak-semak. Mood-nya sudah cukup jelek, akan hancur lebur jika ternyata batu kerikil tadi menggores mobil dan ia harus mengganti rugi.
Kekanakan memang, tetapi Wening tidak peduli.
Setelah menghitung beberapa saat, Wening berusaha untuk mengintip dari balik semak-semak. Ia cukup terkejut ketika, lagi-lagi, dunianya harus bertautan dengan Justicia Renata.
Mobil yang tadi terkena kerikilnya, ternyata menjemput sang model. Rena terlihat cukup ramah berbicara dengan ketua yayasan, yang notabenenya juga dikenal oleh Wening. Ia dapat melihat bagaimana keduanya saling bercengkrama bahkan bertukar tawa.
Tak lama kemudian Wening mendapati Rena memasuki mobilnya dan meninggalkan lobby gedung tersebut. Kesempatan ini digunakan Wening untuk buru-buru kembali bersembunyi. Ia memastikan mobil Rena sudah pergi cukup jauh baru Wening memutuskan untuk keluar dari persembunyiannya.
“Mba Sagala?”
“E-eh ibu….”
Ketua Yayasan tersebut memandang Wening penuh tanda tanya.
“Ngapain nyungsep disitu mba?”
“O-oh nggak bu, tadi ketemu anak kucing lucu.” jawab Wening seadanya, tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Ya ampun mba, saya kira nyungsep. Ayo mba masuk! Saya kira hari ini sibuk jadi nggak datang.”
Wening mengangguk kaku. Ia membersihkan sedikit pasir yang menempel di celananya lalu berjalan mengekor di belakang sang ketua yayasan.
“Tadi siapa bu? Mukanya kayak nggak asing?” tanya Wening berusaha memancing untuk mendapatkan informasi.
“Oh, itu mba Rena. Dia donatur tetap disini, mba. Mungkin familiar karena kan mba Rena dulu masuk kontes kecantikan itu mba, yang internasional itu. Miss Miss apalah itu.”
“Jadi donaturnya sejak ikut kontes Miss Universe itu bu?”
“Nggak mba, udah lama banget. Sejak ibunya mba Rena kena kanker kayak ibunya mba Sagala.”
“Hah?”
“Lho iya mba, ibunya mba Rena itu juga udah almarhumah. Mirip mendiang ibunya mba Sagala, tapi duluan meninggal daripada ibunya mba Sagala.”
Wening terdiam sejenak.
“Bunda kenal Rena nggak bu?”
“Mba Rena kenal sama ibunya mba Sagala. Kalau ibunya mba Sagala lagi berobat sendiri, kadang ditemenin mba Rena sama dokter Yona itu. Kalau dokter Yona pasti kenal kan ya? Dia itu kakaknya mba Rena, makanya Ibu kira mba Sagala kenal sama mba Rena?”
Jawaban sang ketua yayasan cukup membuat Wening serasa disambar petir. Mengapa ia tidak tahu fakta ini? Apakah ia sudah bekerja terlalu keras sampai-sampai mengabaikan ibunya sendiri?
“Mba Sagala jangan kepikiran yang aneh-aneh. Ibu dulu nggak mau cerita ke mba Sagala karena ibu tau mba Sagala sibuk kerja kan? Dulu Ibunya mba Sagala juga bilang ke ibu supaya nggak cerita karena nggak mau bikin mba Sagala tambah kepikiran. Ibunya mba Sagala pasti tau kalau mba Sagala pasti udah usaha maksimal mba, cuma kadang yang namanya anak emang nggak bisa selalu bareng sama orangtuanya aja mba.”