171. Insecurity
“Alright we are here!” ucap Sagala bersemangat setelah menarik tuas rem tangan mobilnya.
Setelah menyelesaikan satu putaran mengelilingi area satwa taman safari, Sagala melajukan mobilnya ke arah parkiran mobil yang terletak paling dekat dengan zona rekreasi dan baby zoo.
Sang pemilik mobil menoleh ke arah Rena, masih dengan senyumannya yang mengembang sempurna.
“Kita makan siang dulu, nanti lanjut lagi.” ujar Sagala.
“Lagi?!” pekik Rena yang dibalas anggukan oleh Sagala.
“Di atas masih ada wahana permainan, plus ada baby zoo juga. Kamu nggak mau mampir kesana?”
“Well….”
“Kamu tuh takut hewan ya?” tanya Sagala.
“Agak…”
“Sorry ya, aku nggak nanya dulu kamu takut hewan atau nggak. Aku gak nyangka kamu setakut itu sama hewan. Kita mau ganti tempat rekreasi aja? I want you to enjoy today as much as you can.”
Rena menggelengkan kepalanya cepat.
Walaupun ia tidak bersahabat dengan hewan, bukan berarti ia akan mengorbankan tujuan mereka hari ini dan membuat Sagala kecewa. Lagipula dari awal Sagala pergi ke puncak ini adalah untuk memulihkan kesehatannya, bukan untuk memenuhi keinginan Rena.
“No! No! No! Jangan Sagalaaa. Aku takut….dikit…” ucap Rena sembari jari telunjuk dan ibu jarinya memberi tanda seberapa takut dirinya.
“Tapi bukan berarti kita harus cancel atau pindah tempat. I’m okay kok, seriusan. Cuma… please jangan paksa aku kasih makan kayak tadi! Atau jangan godain aku kayak waktu ada singa tadi aku takut banget!” lanjut Rena dengan sedikit memanyunkan bibirnya merujuk pada saat mereka melewati area satwa liar seperti singa dan harimau dimana Sagala sedikit bercanda dengan menakut-nakuti Rena.
Sagala terkekeh, kemudian mengacungkan jari kelingkingnya ke arah Rena.
“Okay, I promise. Gak ada lagi ngasih makan hewan kayak tadi and I won’t tease you.”
Rena menyambut uluran Sagala. Kedua kelingking mereka bertautan.
“Alright, now now sebelum kamu turun….”
Sagala menggantungkan kalimatnya, ia kemudian mengambil barang yang ada di kursi baris kedua dan memberikannya kepada Rena.
“......wear this. Di luar panas. Tenang aja, ini topinya baru aku laundry kok.” ucap Sagala sembari memberikan topi kepada Rena dan mengenakan topi lainnya untuk dirinya sendiri.
Keduanya turun dari mobil Sagala dan berjalan ke arah restoran terdekat. Namun setelah melihat-lihat menunya, Rena tidak begitu menyukai menu yang disajikan di restoran tersebut. Akhirnya mereka memilih untuk sedikit jalan lebih jauh, menuju restoran lainnya.
Sebenarnya alasan utama Rena tidak setuju makan di restoran pertama adalah karena restoran tersebut terlalu ramai dan saat ini Rena sangat ingin menghindari keramaian. Ia ingin bisa berbincang dengan Sagala tanpa perlu merasa khawatir percakapan mereka akan didengarkan oleh orang lain.
“Aku kayaknya mau makan yang simple aja. Fish and chip gitu paling. Kamu mau apa?” tanya Sagala saat melihat menu yang tersaji.
“Samain aja deh, ga. Aku lagi males mikir menu makan siang.” jawab Rena sembari menyengir.
Setelah Sagala memesan dua porsi fish and chips serta ice lemon tea, Sagala kemudian mengangkat tasnya yang tadi ia taruh di kursi yang berada di sebelah kirinya ke atas meja dan mengeluarkan laptop dari tas punggung yang tadi ia bawa.
“Bentar ya Ren, ada yang perlu aku kerjain dikit.” ucap Sagala sambil menghidupkan laptopnya.
Rena mengangguk. Ia pun memilih untuk memperhatikan Sagala yang kini sudah fokus dengan laptopnya.
Hal pertama yang menarik perhatian Rena dan membuatnya takjub adalah kesederhanaan Sagala.
Tas punggung yang digunakan Sagala bukanlah tas dengan merek terkemuka berharga jutaan. Bahkan logo merek dari tas tersebut adalah logo toko perabotan rumah tangga. Rasa penasaran Renata membuatnya mencoba mencari harga tas tersebut dan Rena kembali takjub saat melihat harga tas tersebut bahkan tidak sampai dua ratus ribu rupiah.
“Kamu suka warna-warna gelap ya?” tanya Rena tiba-tiba.
“Hm?”
“Tas kamu ini abu-abu gelap, terus biasanya tas kamu yang lain yang aku udah pernah lihat juga warnanya hitam.”
Sagala menoleh sesaat dari layar laptopnya, menatap Rena.
“Oh, well kalau hitam atau warna gelap biar bisa dipakai lebih lama aja. Nggak gampang kelihatan kotor dan maintenancenya lebih gampang daripada kalau warna-warna terang.” ucap Sagala santai.
“Bener sih…. Anyway, ngerjain kerjaan ga?”
Kini Sagala tersenyum dan menggeleng.
“Bukan kerjaan. Ini lagi minta bantuan kak Teira menyusun jalan setapak untuk kehidupanku di masa depan.”
“Maksudnya? Please stop bercanda, aku beneran nggak pahaaam.” rengek Rena.
Sayangnya Sagala tidak mengelaborasi lebih lanjut. Ia hanya menjulurkan lidahnya ke arah Rena.
“Just a document that will define my future. Aku butuh bantuan kak Teira sedikit.”
“Sok misterius banget…” balas Rena sembari menyipitkan matanya.
“Tapi berhasil kan? Buktinya kamu penasaran?”
Jawaban Sagala sukses membuat Rena mendengus kesal. Lagi-lagi Sagala berhasil menggodanya.
“Anyway, kamu nggak ada vertigo kan? Aku mau ngajak kamu naik wahana nanti. Masih nanti sih soalnya habis makan mendingan kita ke baby zoo dulu buat nurunin makanan.”
“Nggak ada kok.”
“Okay good. Next question, perut kamu nggak sensitif kan?”
“Hah??”
Sagala menggaruk pelipisnya yang tidak begitu gatal, agak malu untuk menanyakan hal ini kepada Rena.
“Uhm… well, aku pengen ngajak kamu makan jagung atau bakso di pinggir jalan malam nanti. I mean, you are you, Justicia Renata. Kemewahan pasti selalu ada di dekat kamu, meanwhile yang mau aku ajak itu….”
Rena menghela napasnya, sedikit tersinggung dengan ucapan Sagala barusan.
“Sagala, hari ini harinya kamu. Lakuin aja semua itinerary yang pengen kamu lakuin. Jangan gara-gara ada aku, kamu jadi harus ubah semuanya. Lagipula ya, aku tersinggung banget sekarang kamu ngomong kayak gini seakan-akan aku high maintenance dan gak mau makan di pinggir jalan.”
“S-sorry….” ucap Sagala tak enak hati.
“...bukan maksud gimana Rena….I just, I don’t know…. Setelah aku lihat rumah kamu dan papa kamu tadi pagi, aku sadar kalau keluarga kamu pasti dari dulu selalu kasih yang terbaik buat kamu. Look…. I’m a bit different than most people with the same title as mine, I get it. It’s just….nevermind. It’s stupid.” lanjut Sagala.
Sagala tersenyum tipis, sedikit mengedikkan bahunya.
Sementara itu Rena justru kebingungan dengan sikap Sagala.
“Kenapa sih ga? Ini bukan pertama kali kita jalan bareng. Bedanya apa? Bahkan kamu pertama kali ketemu aku aja ngasih permen milkita yang harganya nggak sampai lima ribu. Kenapa sekarang kamu tiba-tiba jadi mikir kalau aku butuh dikasih hal-hal mahal?”
Sagala menggelengkan kepalanya, “Nothing…”
“It’s not nothing kalau bikin kamu sampai kayak gini, Sagala.”
Sebuah helaan napas panjang dikeluarkan oleh Sagala. Ia juga tidak memahami dirinya sendiri. Yang ia tahu, Sagala hanya ingin memberikan kenyamanan bagi Renata. Sedangkan Sagala tahu beberapa sifatnya yang sederhana mungkin tidak cocok dengan Rena yang sejak kecil pasti dikelilingi oleh kemewahan.
“Aku pernah jajan telor gulung, batagor gerobak waktu sekolah dulu. Jadi jangan mikir aku nggak pernah jajan di pinggir jalan.” dengus Rena kesal.
“I'm so sorry Rena… S-sebenernya aku mau ngajak kamu ke warung bakso favorit aku dan Bunda… That place holds so many good memories to me, aku cuma nggak mau kamu kecewa sama tempatnya terus akhirnya aku juga jadi ikutan kecewa. It’s so stupid of me, I know….”
“Ya ampun Sagalaaa! Emang selama ini kamu pernah lihat aku ngerendahin sesuatu?”
Sagala menggeleng.
“Kamu pernah lihat aku gak ngehargain apa yang kamu kasih?”
Sagala kembali menggeleng.
“You got your answer then. Aku masih tersinggung kamu bisa mikir kayak gitu ke aku. But I understand your point, so kali ini kamu aku maafin. Topik ini aku tutup disini.” kesal Rena.
Sagala pun mengangguk mengiyakan. Ia juga sudah kepalang tidak enak hati dengan Rena.
Canggung melanda keduanya.
Rena memilih untuk berfokus pada ponselnya, ia ingin menurunkan emosinya sejenak. Ucapan Sagala tadi cukup membuat dirinya kesal. Sementara itu Sagala sempat beberapa kali mencuri pandang ke arah Rena, berusaha membaca suasana hati Renata.
“Nggak usah lirik-lirik, mending selesaiin deh itu kerjaan kamu.” ucap Rena saat menyadari Sagala melirik ke arahnya.
“Bisa multitasking kok.”
“Tck…Bandel…Dasar nyebelin!” omel Rena.
Ucapan Rena barusan justru membuat Sagala tersenyum lebar. Ia tahu saat Rena sudah bisa melayangkan protes dan memanggilnya ‘menyebalkan’ atau apapun yang sama artinya dengan itu, tandanya Rena sudah memaafkan dirinya.
“Maaf ya, Rena. Nanti aku kasih milkita sebagai permohonan maafku”
“Nggak usah cerewet mending cepet itu diselesain! Lagian emang yang sekarang suka bawa milkita kamu doang?!”
Tawa Sagala terdengar sangat renyah di telinga Rena.
Mungkin ini adalah pertengkaran pertama mereka setelah keduanya berbaikan di ruangan Teira. Namun kejadian hari ini justru membuat Rena paham bahwa seorang Sagala pun masih memiliki rasa insecure.
Tetapi hal ini justru membuat tanda tanya dalam benak Rena, sebenarnya selama ini Sagala menganggap dirinya sebagai apa?