185. Promise means to be broken

Mobil SUV milik Sagala meliuk ke kanan dan ke kiri mengikuti arah jalan dengan kecepatan konstan. Mengingat hari mulai beranjak gelap, Sagala memilih untuk lebih berhati hati apalagi saat ini posisinya mereka sedang turun ke arah taman safari.

Posisi warung bakso favorit Sagala dan Isaura berada cukup jauh di atas. Suhu disana cukup dingin. Rena bersyukur ia menaruh jaketnya di tumpukan teratas gym bag nya.

“Kedinginan ya?” tanya Sagala yang melihat Rena kembali mengusap kedua tangannya.

“Sedikit. But no worries.”

“You sure? Mau beli minuman hangat? Atau jagung bakar?” tawar Sagala.

“Kita kan baru makan Sagalaaa? Masa udah makan lagi sih?” protes Rena.

“Emangnya kenapa? Kalau emang butuh ya nggak kenapa-kenapa juga kan?”

“Nggak ah…”

Sagala tidak menggubris ucapan Rena lebih jauh. Namun mata Sagala tetap awas memperhatikan gerak gerik Rena. Ia beberapa kali melihat Rena menggosok-gosokan tangannya, lalu berusaha menghembuskan udara hangat dari mulut ke tangannya.

“Kamu kalau lagi di luar negeri terus musim dingin gimana Ren?” tanya Sagala penasaran.

“I hate winter. Badan aku nggak terlalu bisa adaptasi sama suhu rendah. I once got nosebleeds saking parahnya. Jadi aku usahain gak ada job di negara empat musim waktu Winter.”

“Tapi pernah?”

“Hmm yeah, pernah. Jangan ditanya karena itu isinya bad memories. Niatnya mau sekalian honeymoon padahal.”

Mendengar jawaban Rena, Sagala memilih untuk tidak membahas topik tadi lebih lanjut.

Tak jauh dari posisi mobilnya saat ini, Sagala melihat warung pinggir jalan yang sepertinya menjual jagung bakar. Sagala kemudian menepikan mobilnya tepat di depan warung tersebut.

“Tunggu disini sebentar.” ucap Sagala tanpa menunggu respon dari Rena.

Kali ini Rena tidak mendengarkan perintah Sagala, ia memilih untuk ikut turun dari mobil dan mendatangi Sagala yang sudah berbicara dengan pemilik warung.

“Ga, ngapain?”

“Beliin kamu minuman hangat sama jagung bakar. Hidung kamu udah merah banget gitu Rena.”

“It's okay Sagalaaa. Aku cuma butuh selimutan aja paling.”

“Jangan ngeyel. Aku nggak mau kamu sakit habis pulang dari puncak. Mending sekarang kamu masuk mobil aku lagi, ada selimut ku kamu pakai dulu aja.”

“Sagalaaa…. Tapi aku udah nggak laper! Nanti sayang kalau nggak kemakan!”

Sagala menghela napasnya. Ia kemudian mendorong Rena untuk kembali masuk ke dalam mobilnya, duduk di kursi penumpang.

Sang pemilik mobil lalu meninggalkan Rena sejenak untuk mengambil selimut yang ada di kursi penumpang baris kedua.

Selimut tersebut kemudian ia gunakan untuk menyelimuti tubuh Rena.

“Rena, please dengerin aku ya? Tangan kamu udah dingin banget, hidung kamu udah merah kayak gini. It's just a precaution okay?” ucap Sagala yang kini tengah menggosok-gosokan tangannya dengan tangan Rena.

“Aku bukan anak kecil Sagalaaa!”

“Yeah, that's right. Tapi tadi pagi aku udah janji ke papa kamu buat mulangin kamu dalam keadaan baik. Ini salah satu cara aku buat mastiin kamu baik-baik aja selama pergi sama aku. Janji itu harus ditepati, Rena.”

Ucapan Sagala membuat Rena tertegun.

Sedikit dejavu baginya. Mengingatkannya akan salah satu percakapan antara dirinya dengan Azkan, dahulu sekali.

Azkan juga pernah menjanjikan hal yang sama kepada papanya. Namun sekarang kenyataan yang ada sangat berbanding terbalik.

“Jangan ngaco. Janji itu dibuat untuk dilanggar, ga.” ucap Rena yang kemudian mendorong Sagala untuk menjauh.

Tangan Rena meraih pintu mobil lalu ditutupnya pintu tersebut, membuat Sagala kebingungan.

Sementara itu, Rena justru kian ketakutan akan perasaan yang muncul di dalam dirinya akhir-akhir ini. Terutama setiap kali ia bersama Sagala.

Logika seorang Justicia Renata mulai mengirimkan sinyal-sinyal peringatan kepada dirinya bahwa Sagala adalah sosok yang mampu meruntuhkan logika rasional seorang Justicia Renata.