187
“Ren kayaknya kita udahan aja deh ini meetingnya.”
Irene yang mendengar suara Jennie akhirnya menaruh ponselnya sejenak.
“Why? Kita belum kelarin yang ini?”
“Mau muntah gue liat lo senyum-senyum sendiri gitu kayak orang gak waras. Ya tau sih gue itu lo chattingan sama Wendy kan?” ujar Jennie gemas.
Terhitung semenjak di bangku kuliah, ini kali pertama Jennie melihat Irene betah chattingan seperti yang ia lakukan dengan Wendy. Biasanya Irene lebih memilih komunikasi via telepon daripada chat.
“Hehe sorry sorry, I'll turn off my phone then.”
“See Ren? Yang gue bilang dulu bener kan??”
“Lo ngomong apaan emang? Gak inget gue.”
“You are falling for her, at full speed.”
“Am I?”
Jennie memutar kedua bola matanya, ia sudah meninggalkan powerpoint yang sedari tadi sedang diperiksa. Kini ia berfokus pada layar laptopnya dan memandang Irene lekat melalui sambungan video call mereka itu.
“Cuma orang buta atau dense doang yang gak ngerasa kalo lo already fell for her.”
Irene hanya mengangkat bahunya, “Udah ah kok jadi gue, kan tadi kita sengaja emergency meeting gara-gara mau nyelesain ini.”
“Gue udah gak mood ngerjainnya, abis lo tadi pas gue on-fire malah asik sama Wendy. Mending sekarang gue interogasi lo aja deh ah.”
Irene menghela napasnya, biasanya ia selalu curhat masalah serius dengan Seulgi namun kali ini ia merasa Jennie lebih bisa memberikannya saran dan mendengarkan ceritanya dengan lebih santai.
“So? What's the real deal between you and Wendy?”
“I don’t know. I mean, lo tau gue kan Jen? I always live my life up to my parents' expectations. At some point, it's just so weird to not follow my parents wish. Then comes Wendy and this arrangement. Honestly? My initial plan was just to see where it goes and here I am.”
Jennie menopang dagunya tepat di depan layar laptopnya, ia sedang memikirkan kalimat yang ingin ia sampaikan kepada temannya itu.
“Well tapi gue liatnya lo ngeluarin effort yang ekstra. Apalagi kalo lo bilang awalnya lo cuma let it flow aja.”
“Again, gue gak pernah mikir bakal gini sih. She’s someone that is coming back from my past and gives me lots of surprises. Asli kalo lo tau dulu gue pas kecil kayak gimana sama dia….” Irene menggelengkan kepalanya, tertawa sembari sedikit bernostalgia.
“There it is! I see it again! Ugh! If only Ren lo bisa liat gimana mata lo berbinar-binar pas lagi ngomongin Wendy!” ujar Jennie berteriak heboh.
Irene lagi-lagi hanya terkekeh, tidak tahu harus berkata apa. Ia sungguh penasaran seperti apa dirinya dimata orang-orang lain?
“Well I'm happy for you Ren, really. But what about your agreement?” sambung Jennie kelepasan.
Mendengar ucapan Jennie, mata Irene langsung menatapnya tajam.
“Uhm, sorry Ren, cctv kantor lo beneran gue lupa matiin suaranya waktu itu. Tenang aja itu semua udah gue hapus kok. Yang tau cuma gue doang, soalnya waktu itu gue niatnya iseng buat godain lo.”
“I swear if it’s ever-...”
“Gak bakal ren. I swear on my own life. Tapi gue serius, gimana sama perjanjian lo itu? Just saying. Kan gak mungkin lo catching feelings sendirian gini terus-terusan?”
Jennie sedikit menyesali ucapannya. Ia benar-benar tidak berencana untuk berbicara seperti itu, kalimatnya tadi hanya keluar begitu saja saat ia mengingat video Irene dan Wendy ketika mereka membuat perjanjian pertunangan mereka itu.
Namun di lain pihak, Jennie bersyukur karena ia tahu cepat atau lambat Irene harus ia sadarkan dengan fakta ini.
“Sorry ya Ren, bukan maksud gimana….”
“I know. It’s okay Jen.”
“Tapi gue penasaran deh sejak kapan lo mulai suka doi?”
“Kalau gue bilang gak tau, lo percaya nggak? It just, somehow kehadiran dia jadi sesuatu yang esensial buat gue? Jujur sekarang gue selalu nunggu waktu dimana kita habisin waktu berdua. Even when she was just there baking and me doing my work. It feels different, I’m not feeling empty anymore.”
“I see…. Well that’s what happens when you’re falling in love Ren. Wajar sih Wendynya juga lucu gitu.”
Lagi-lagi Irene menatap Jennie tajam.
“Yoooo, I’m just saying. Lo setuju kan kalo Wendy emang cute?”
“Back off, she’s engaged. Also you already have someone.”
“Udah putus. Baru aja kemaren.”
“Still back off, she’s mine.”
“Lol alright alright chill! It's just a joke! Gak mungkin juga gue sama Wendy, she’s not my type and she’s yours. Asik nih gue sekarang tau sore spot lo.” ujar Jennie sembari menggelengkan kepalanya, terkekeh atas sikap Irene yang baru sekali ini ia jumpai.
“Kita udahan aja deh ini meetingnya, gue juga jadi nggak mood gara-gara lo.”
“Gak mood atau lo mau balik ketemu Wendy cepet?”
“Well that’s the main point too.”
“Okay, noted. Ntar ini gue selesaiin dulu aja deh baru kirim lagi ke lo ya?”
“Yep, thanks Jen. See you.”
Jari Irene hendak menekan tombol ‘leave meeting’ saat ia mendengar ucapan Jennie yang lagi-lagi membuatnya kesal.
“Salam ya buat my Cutie Wendy!”
“Jen stop with this joke or else I’m gonna think you really have a hot for her! She’s mine!”
Jennie hanya menjulurkan lidahnya. “Bye Irene-sensitif-Bae!”