190

Irene menoleh saat mendengar langkah kaki seseorang mendekatinya. “Makin mirip hamster.” celetuk Irene yang dibalas dengan pukulan pelan di pundaknya.

“Lo aja yang gak bisa relate! Ini tuh enak banget.” ujar Wendy. Ia mengambil tempat kosong di sebelah Irene.

“Segitu enaknya?”

Wendy hanya mengangguk sambil mengunyah boba yang baru saja ia teguk. Sedangkan Irene hanya bisa tertawa, ia sama sekali tidak paham dimana letak enak dari minuman yang sangat disukai Wendy itu.

“Seriusan lo gak mau nyoba?” tanya Wendy, tangannya terjulur ke arah Irene, menawarkan minumannya itu.

“Nggak, udah pernah nyoba tapi langsung gak suka.”

“Hih! We can’t sit together then!”

Irene tertawa lagi, kali ini lebih kencang. Respon Wendy itu sangat berlebihan baginya but somehow she looks cute. Untuk beberapa saat mata Irene tidak bisa lepas dari sosok Wendy yang sedang asik menikmati bobanya.

“Apaan? Ngomong aja sih. Kan udah gue bilang, lo jangan terlalu kaku gitu sama gue.”

“How are you?”

Mendengar pertanyaan Irene, Wendy langsung berhenti minum. Pertanyaan Irene bukan sekedar menanyakan kabarnya tetapi menanyakan bagaimana kondisi hatinya yang sempat berantakan beberapa hari yang lalu.

Wendy balik menatap Irene selama beberapa detik. Namun pada akhirnya ia hanya mengangkat bahunya dan mengalihkan pandangannya pada laut yang ada di bawah mereka.

Irene tahu bahwa Wendy tidak ingin ditanya lebih jauh. Namun ia teringat akan perbincangannya dengan Jennie sore tadi dan kondisi Wendy.

She’s in a difficult situation.

“Saya suka liat langit malam hari, they’re so beautiful don’t you agree?” ujar Irene yang berbicara lebih pada dirinya sendiri daripada mengajak Wendy untuk berbincang-bincang.

Ucapan Irene membuat Wendy ikut menengadahkan kepalanya menatap langit yang bertaburan bintang hari itu. Irene tidak bohong saat ia berkata bahwa langit hari ini indah.

Setelah ia puas menatap langit, pandangan Wendy jatuh pada Irene yang duduk di sebelahnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia terlihat sangat menikmati pemandangan malam ini.

“Lo pasti banyak banget yang mau ditanyain ke gue ya?”

“Iya, tapi rasa penasaran saya bukan berarti saya akan maksa kamu buat jawab.” Irene membalas perkataan Wendy namun matanya masih menatap langit.

“Ask away then, tapi gue gak janji jawab.”

“Is it hard? Your philophobia I mean.”

“Sometimes, but it's part of me. I’ve been living with it since i was a child.”

“Berita-berita tentang kamu, itu semua bener?”

“Partly yes, partly no. Kayak berita gue sama Chanyeol, itu sama sekali nggak bener. Gue aja baru sekali ketemu dia dan itu pas acara kantor lo.”

“Oh…”

“Yang lo mau tanya masalah flings gue kan?”

Irene menolehkan kepalanya ke arah Wendy. Pertanyaan itu seperti kotak pandora baginya, ia sangat penasaran tapi ia juga tidak yakin siap dengan jawabannya.

Wendy berdecak gemas saat melihat ekspresi Irene. Matanya yang bulat di balik kacamatanya itu mengerjap beberapa kali.

“I never let them touch me. I can’t. Sometimes the news makes it sound bigger than what actually happened. Kadang gue cuma dinner sekali tapi well….” ujar Wendy. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Irene.

Yang dijadikan sandaran justru menjadi salah tingkah. Wendy sangat jarang berinisiatif untuk melakukan skinship dengannya.

Irene buru-buru berdeham untuk menenangkan hatinya. “Kalau gitu kenapa kamu diem aja? Kenapa kamu mau hidup dengan image yang kayak gitu?”

“So that people won’t ever know I’ve this philophobia. I’m pathetic didn’t I?”

Tangan Irene meraih tangan Wendy yang sedang tidak menggenggam gelas bobanya itu. “No you are not. You are just scared and this world is indeed scary.”

“Maybe…”

“You just need time and the right person to let you move on with your life. Saya juga butuh waktu yang lama untuk bisa move on dari Nana.”

“Dari Kak Nana apa dari Kak Seul?”

Irene tiba-tiba tertawa lagi, “Kamu ini jealous banget ya sama saya dan Seulgi?”

“Ih tapi serius deh gue, lo pasti pernah ada story kan sama Kak Seul?” tanya Wendy dengan serius. Ia mengubah posisinya dan kini menatap Irene.

“Kamu mau jawaban jujur atau diplomatis? Jawaban jujur kali ini hanya akan saya jawab satu kali, tapi setelahnya kamu gak boleh jealous lagi sama Seulgi.”

“Ya jujur lah! Iya kan?? Lo pernah ada story sama Kak Seul?”

Irene tersenyum malu, “Yeah, it happened years ago tapi. More like puppy love if you will? Tapi setelah saya pikir-pikir itu lebih ke admiration sih. Seulgi selalu tahu dia mau apa dan dia usaha keras untuk mendapatkan yang dia mau. Sedangkan saya selalu hidup mengikuti ekspektasi orang tua saya, jadi ya…..kalau kamu bilang saya kayak robot sebenernya nggak salah juga sih.”

“Tuh kan!! I know it!! Karena lo sama Kak Seul itu deketnya keterlaluan.”

“Iya tapi kan saya sekarang cuma anggep dia temen terdekat saya yang kayak keluarga. Kalau sekarang saya suka sama orang lain.” ujar Irene sambil menatap Wendy.

Ucapan Irene membuat Wendy salah tingkah karena ia tahu bahwa itu ditujukan untuknya. Entah mengapa tiba-tiba Wendy merasa emosional, perlahan matanya berkaca-kaca.

“Hyun, I’m so sorry…”

“Hey, hey why are you saying sorry? Kamu nggak ada salah apapun Wan.”

Irene memeluk Wendy dengan erat. Ia tidak ingin Wendy merasa bersalah atas apa yang ia rasakan, because she knows you can’t choose with whom you’re falling in love with. It just happened like that.

“Saya lebih suka kalau kamu ngomel ke saya daripada nangis kayak gini.”

“Hyun, you make it worse. I hate you Hyun. I hate how you’re so good to me, how you always give me something without asking anything in return and for a second I was contemplating should I let you in? And that’s the scariest part. If only you didn’t treat me well, it would be so much easier for me.”

“Kalau gitu saya boleh minta sesuatu nggak?”

“Huh?”

“Please sing for me? Saya suka banget lagu kamu yang Written in the Stars.”