200.
“Handphone kamu yang ini udah gak bisa nyala lagi deh kayaknya.” ujar Wendy dengan bibirnya yang mengerucut masam. Ia kembali mengangkat handphone yang ada di tangannya tersebut ke depan ac mobil.
“Which one?”
“Ini yang iPhone. Kayaknya udah gak terselamatkan.” jawab Wendy, kali ini sembari mengangkat handphone hitam milik Irene dan menunjukkannya kepada sang pemilik.
Irene melirik sejenak, “Itu handphone untuk urusan bisnis padahal. Yaudah, kalau gitu nanti habis masak buat makan malam saya pergi lagi ya. Kamu kalau masih capek, gak usah ikut. Istirahat aja di rumah.”
“Harus hari ini banget?”
“Iya, semua kontak bisnis disana dan kalau mereka mau kontak saya juga pasti ke nomor itu. Handphone yang satunya khusus untuk urusan keluarga, yang punya nomor saya yang itu juga terbatas untuk keluarga dan orang terdekat.”
“Sorry banget ya, aku nggak tau kamu orangnya gampang kaget gitu.” ujar Wendy dengan penuh rasa bersalah.
Siang tadi sebelum mereka meninggalkan kawasan glamping tempat mereka menginap, Wendy memaksa Irene untuk berfoto dengan latar belakang laut dan ombak yang bergulung.
Irene yang bukan merupakan sosok yang suka berfoto, sempat beberapa kali menolak permintaan Wendy. Ia beralasan bahwa dirinya cukup malu untuk menatap kamera, toh kalau ia berfoto pun akan selalu menampilkan gaya yang sama. Jadi bagi Irene, berfoto hanya untuk peristiwa-peristiwa yang formal saja, acara kantor misalnya.
Namun siang tadi Irene harus luluh saat Wendy memintanya untuk berfoto dikarenakan tanpa Irene duga, Wendy menyajikan ekspresi memelas kepadanya dan pada akhirnya Wendy berhasil memfoto Irene -walaupun sebenarnya lebih tepat untuk disebut candid daripada a proper photo-.
Wendy yang merasa kesal dengan Irene yang terus-terusan menolak untuk difoto, dengan sengaja berniat untuk pura-pura mendorong Irene ke arah laut supaya ia basah. Namun tanpa disangka, Irene justru melompat dan berteriak karena terkejut.
Handphone yang ditaruh di saku jaketnya terlontar keluar dan jatuh tepat pada saat ada ombak yang menuju ke arah mereka. Irene justru refleks berlari menghindari ombak karena ia sama sekali tidak ada niatan untuk bermain air dan meninggalkan handphonenya yang terjatuh.
Akhirnya handphone tersebut harus basah kuyup tergulung ombak sebelum pada akhirnya diambil kembali oleh Irene. Tentu saja sudah dalam keadaan mati dengan layar yang tergores bebatuan pantai.
“It’s okay Wan, mungkin emang udah waktunya untuk ganti handphone.” jawab Irene santai. Ia kembali fokus mengemudikan mobil sedannya itu.
“Aku ganti ya? Aku beliin yang baru.” ujar Wendy lagi. Ia menatap ke arah Irene yang masih fokus menyetir.
Irene sekali lagi melirik sejenak ke arah Wendy. Namun dengan segera Irene mengalihkan pandangannya setelah ia melihat ekspresi wajah Wendy yang saat ini menurut Irene benar-benar mirip a lost puppy. Ia harus menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi Wendy atau mengacak-acak rambut wanita yang ada di sebelahnya saat itu.
“Okay, tapi habis itu kamu gak usah merasa bersalah lagi ya? Sometimes accidents happen just like that. Lagian kan niat kamu bukan emang sengaja ngerusak handphone saya.”
“But still, kan itu handphone penting banget buat kerjaan. Kalau kamu gak bisa dikontak gimana?”
“Kan ada handphone yang satunya. Seulgi atau Jennie pasti akan kontak saya kesana kalau urgent banget. Oh, which now that I remember, sampai rumah tolong ingetin saya charge handphone saya yang itu ya. Kayaknya tadi terakhir saya lihat baterainya sudah hampir habis.”
Irene perlahan memutar kemudi mobilnya, berbelok ke arah jalan masuk menuju rumahnya. Pagar rumah Irene terletak tidak jauh dari jalan raya, namun jarak dari pagar depan hingga ke parkiran -slash- halaman rumahnya lumayan jauh, posisi rumahnya itu memang menjorok masuk.
Sang pengemudi mengernyitkan dahinya saat menemukan petugas keamanan rumahnya itu tidak berada di pos jaga. Irene sangat tidak suka jika seseorang mengabaikan tugasnya.
Ia kemudian menekan klakson mobilnya dengan agak kencang dan tak lama baru terlihat sang petugas keamanan yang berlari terburu-buru untuk membukakan pintu gerbang untuknya.
“Ada tamu?” tanya Irene setelah menurunkan kaca jendela mobilnya.
“Iya non, itu Ibu dan dek Yerim baru datang.”
Irene cukup terkejut dengan jawaban yang diberikan.
“Kok nggak ada yang bilang ke saya kalau Bunda dan Yerim mau datang?”
“Maaf non kami semua juga kaget. Tadi tiba-tiba mobil Ibu udah di depan gerbang. Bibi sekarang lagi beres-beres di dalam.”
“Cuma berdua aja? Ayah ikut?”
“Nggak non, bapak nggak ikut. Cuma berdua aja Ibu dan dek Yerim, tadi yang nyetir juga dek Yerim non.”
Kerutan di dahi Irene semakin dalam. Bukankah ia sudah bilang kepada Yerim dan Seulgi untuk tidak memberikan lokasi keberadaannya saat itu kepada siapapun? Atau Taeyeon kah yang memberikan lokasinya?
Namun hal itu sudah tidak penting baginya, toh saat itu Bundanya sudah berada di dalam rumah. Yang ada dipikiran Irene justru pertanyaan kenapa Bundanya sampai harus jauh-jauh berkendara selama berjam-jam untuk menemui dirinya. Ditambah fakta bahwa Bundanya pergi hanya berdua Yerim.
“Okay, terima kasih pak.”
Irene mengangguk pelan dan memacu mobilnya kembali. Dari ekor matanya Irene tahu bahwa Wendy pun memiliki pertanyaan yang sama dengannya, namun Wendy terlihat lebih tegang. Sangat wajar sebetulnya, mengingat terakhir kali Wendy bertemu keluarga Irene adalah saat acara anniversary kantor dan Wendy cukup membuat kegaduhan serta menghilang begitu saja bersama Irene.
Kini keduanya terdiam, larut dalam kemungkinan-kemungkinan yang terbesit dalam pikiran mereka masing-masing.
Wendy hanya terdiam memperhatikan Nyonya Bae yang sedang melihat kondisi bunga-bunga di taman rumah milik Joohyun itu. Sesekali Nyonya Bae menyirami bunga yang terlihat layu dan mengajak berbicara tanaman-tanaman disana.
Sementara itu, Wendy bisa merasakan degup jantungnya semakin kencang. Ia menunggu momen dimana Nyonya Bae akhirnya akan memulai percakapan agar ia bisa menebak alur pembicaraan. Masalahnya sejak Nyonya Bae meminta waktu untuk berbicara empat mata dengannya hingga detik ini, Nyonya Bae sama sekali belum mengutarakan sepatah kata pun.
“Joohyun udah lama banget nggak kesini, dulu sebelum dia sesibuk sekarang, biasanya sebulan sekali kesini. Kasihan ini tanaman dan bunga-bunganya.” ujar Nyonya Bae membuka pembicaraan.
“O-oh, i-iya… Joohyun juga bilang kalau udah lama nggak kesini.” jawab Wendy dengan sedikit terbata.
“Rileks aja Seungwan. Oh iya, boleh ya tante panggil Seungwan aja? Joohyun pernah cerita kalau kamu lebih suka dipanggil Wendy.”
“I-iya nggak apa-apa tante.”
“Tante nggak akan marah-marah ke kamu kok. Kenapa sih kamu dan Joohyun itu dari tadi tante lihat tegang banget. Tante cuma kesini karena khawatir sama keadaan kamu dan Joohyun. Terakhir kali tante dengar kabar dari kalian itu seminggu yang lalu.”
“M-maaf tan-..”
“No, jangan minta maaf untuk sesuatu yang bukan kesalahan kamu Seungwan. Joohyun yang harusnya kirim kabar ke tante dan om. Tapi yang ada justru Joohyun sengaja menyembunyikan keberadaan kalian berdua dan itu karena dia tahu kalian berdua butuh waktu sendiri, menjauh dari kami semua.” ujar Nyonya Bae dengan santai.
“Kamu orang pertama setelah belasan tahun yang bisa bikin Joohyun posesif dan protective lagi kayak gini. Biasanya Joohyun selalu nurut ucapan tante atau om dan ini kali pertama Joohyun menunjukan perlawanan terhadap om dan tante.” sambung Nyonya Bae sambil melihat ke arah Irene dan Yerim yang masih duduk berdua tanpa bertegur sapa di balkon rumah.
“Mungkin untuk orang tua lainnya mereka akan khawatir dan sedih melihat anaknya tiba-tiba melawan seperti sekarang. Tapi justru tante senang, akhirnya dia memutuskan apa yang dia mau. Mungkin Joohyun pernah cerita ke kamu atau mungkin kamu sendiri sadar, Joohyun itu tipe anak yang sangat penurut sama ucapan orang tua. Tante sering kali dorong Joohyun untuk kejar apa yang Joohyun mau dan ini kali pertama dia fight back untuk sesuatu yang dia inginkan.”
Nyonya Bae kini menatap Wendy dengan lekat untuk beberapa saat sebelum ia tersenyum dan memeluk Wendy dengan hangat. Sedangkan Wendy yang tidak menyangka akan dipeluk oleh Nyonya Bae hanya bisa terdiam.
“Tante nggak akan tanya tentang apa yang terjadi di acara kantor minggu lalu kalau memang kamu belum siap untuk cerita. Tante juga nggak akan marah atau teriak-teriak ke kamu atau Joohyun, kalau kamu sempat berpikiran demikian.” sambung Nyonya Bae. Tangannya mengelus kepala Wendy berulang kali.
“Kamu sudah tante anggap sebagai anak tante sendiri, kalau ada apa-apa cerita ya sama tante. Tante tau ada hal-hal yang belum Seungwan siap untuk ceritakan ke tante atau bahkan Joohyun, tapi tante ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian Seungwan. Ada om dan tante yang peduli juga tentang kamu, mungkin kamu rasa aneh karena kita baru bertemu lagi setelah sekian lama. Tapi siapapun orang yang Joohyun sayangi dan kasihi, pasti orang tersebut juga akan kami sayangi Seungwan.”
Mendengar ucapan Nyonya Bae, perlahan air mata Wendy jatuh. Ia sama sekali tidak menyangka akan seperti ini kejadiannya. Ia juga sama sekali tidak menyangka bahwa keluarga Bae justru sangat sabar terhadapnya dan menerima dirinya seperti ini.
“Aduh! Kok kamu nangis?! Nanti Joohyun ngira tante ngapa-ngapain kamu gimana dong?!” ujar Nyonya Bae sembari menyeka air mata Wendy. Sedangkan Wendy justru tertawa disela-sela tangisnya saat melihat tingkah nyonya Bae.
Sifat Joohyun yang sangat sabar dan pengertian serta sifat Yerim yang sangat blak-blakan baru saja ia lihat dalam sosok nyonya Bae.
“Biar kamu berhenti nangis, gimana kalau kita ngomongin Joohyun aja? Siapa tahu kamu penasaran tentang Joohyun atau kamu mau lihat ini foto Joohyun pas masih kecil?” canda Nyonya Bae. Tangan kanannya tetap mengelus kepala Wendy sedangkan tangan kirinya menyeka airmata yang masih mengalir di pipi Wendy.
“Ceritain pas dulu aku masih tinggal di komplek aja tante, aku penasaran sama cerita masa kecil aku dan Joohyun dulu.”
Sudah hampir dua jam sejak Yerim dan Nyonya Bae datang di rumah milik Joohyun dan sudah hampir dua jam pula Yerim dan Irene belum bertegur sapa. Ini adalah kali pertama kakak-beradik itu merasakan awkward moment diantara mereka berdua.
Sebenarnya Yerim tidak ada masalah dengan kakaknya, justru ia sudah memiliki banyak pertanyaan di kepalanya itu sejak ia melihat momen-momen langka antara Irene dan Wendy.
Exhibit A: Saat Yerim menunggu kedatangan Irene dan Wendy, ia yang sedang duduk di teras cukup terkejut saat melihat Irene turun dari mobil dengan menggandeng tangan Wendy.
Exhibit B: Saat Nyonya Bae mereka meminta waktu untuk berbicara empat mata dengan Wendy, Irene langsung menolak permintaan tersebut dan bertindak protektif, more like over protective. Seumur hidupnya Yerim baru pertama kali melihat Irene so ready to fight their own parents.
“Well something clearly has changed towards the better good between them, I guess?” batin Yerim.
Ia sudah sangat gatal untuk menggoda keduanya dan menghujani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan jenakanya, namun itu semua bisa menunggu. Saat ini ada hal yang lebih penting lagi untuk dibicarakan.
“Cut with this silent, lo tau kan bukan gue yang ngasih tau lokasi lo ke ayah bunda?” ujar Yerim membuka perbincangan. Ia sudah tidak tahan dengan keheningan yang sengaja diciptakan oleh kakaknya itu.
“If not you then who?” balas Irene. Matanya untuk sejenak meninggalkan Wendy dan Bundanya yang sedang berbincang di taman rumahnya itu.
“Ugh, lo tu kadang terlalu naif deh jadi orang! Ya nyuruh orang nyari lo juga bisa kali? Yang jelas bukan gue, Seulgi, Jennie ya! Kita bertiga sibuk nge-cover kerjaan lo dari kemaren!” jawab Yerim dengan kesal.
“What does it mean? Maksudnya ada orang yang nguntit gue dan Seungwan selama disini?”
“Honestly? Gue gak tau, yang gue tau tiba-tiba gue ditodong buat nganterin kesini dan walaupun gue gak mau nganterin, Bunda bakal tetep kesini. So, daripada Bunda kesini tanpa gue dan gue gak bisa bantuin lo, ya gue pilih nganterin Bunda kesini.” ujar Yerim menjelaskan kejadian dari sisinya.
“Are you crazy? Jangan kebanyakan nonton drama makanya.”
“Lo aja yang terlalu naif. Even if it’s not our parent, bisa aja bokapnya Wendy yang ngasih tau lokasi lo dan Wendy kan?”
Irene hanya mengangkat bahunya. Ia enggan berpikir terlalu jauh.
“Anyway Seungwan? First name basis banget lo? Since when? Also, sejak kapan lo skinship banget sama Wendy?”
“What’s wrong with me calling her Seungwan? It’s her name too.”
“Iya tau! Maksud gue, ada yang beda gitu antara lo dan Wendy sejak acara anniv kantor. Something happened?” tanya Yerim kini dengan nada yang serius.
“We….agreed to start over.”
“Jadi maksudnya? Officially official nih?”
“Kinda.”
“Ah ribet lo berdua! Iya apa nggak nih?”
“Cerewet.”
“Dih diperhatiin malah bilang gue cerewet. Anyway, lo gak usah kayak mau makan orang gitu deh. Bunda gak bakal ngapa-ngapain Wendy kok, apalagi kalo Wendy itu orang yang berharga buat lo.”
Irene hanya menaikkan alisnya, tidak memahami maksud Yerim. Sedangkan Yerim hanya menunjuk ke arah Wendy dan Nyonya Bae yang saat ini terlihat sedang menertawakan sesuatu.
“If you like her that much, then she’s part of the family kak. Gue, Bunda, dan Ayah pasti bakal terima Wendy dengan senang hati even if there is something that we don’t know about her, yet. Anyway, I'm happy that you're giving yourself a chance to love someone again. Finally kak, kak Na juga pasti seneng disana.”
“Yeah, I'm happy too.” jawab Irene singkat.
Tepat pada saat itu Wendy menatap ke arahnya dan mata mereka berdua bertemu.
“A chance to love someone, huh?” batin Irene.
Tanpa Irene sadari ia tersenyum dan melambaikan tangannya ke arah Wendy.
“You totally love her you fool.” batin Yerim sembari memutar kedua bola matanya.