201.
Sesuai janji Sagala, malam itu ia dan Yesha melakukan pengecekan satu kali lagi atas dokumen final legal opinion yang akan dikirimkan kepada Teira untuk mendapatkan review terakhir sebelum dikirimkan oleh kantor mereka kepada klien.
Seperti biasa, Sagala dan timnya akan mengerjakan pekerjaan mereka di ruangan Sagala. Meskipun ruangan Sagala tidak sebesar ruangan Teira, namun ruangan Sagala cukup nyaman dan memiliki persediaan makanan yang cukup lengkap.
Ruangan Sagala sangat sederhana. Hanya berisikan meja kerja beserta komputernya, lalu meja dan sofa untuk kapasitas empat orang tepat di seberang meja kerja Sagala. Di pojok ruangan terdapat kulkas kecil berisikan minuman kaleng dan minuman botol.
Biasanya jika Sagala dan junior-juniornya hendak bekerja hingga larut malam, Sagala akan mendorong sofa dan meja ke pinggir ruangan agar dirinya dan junior-juniornya bisa lesehan dengan leluasa.
Namun karena malam ini hanya ada dirinya dan Yesha, Sagala tetap duduk di kursinya sementara Yesha duduk di sofa sedikit rebahan.
“Lo cek final typo sama formatting ya, Sha. Gue ngecek kontennya sekali lagi. Harusnya semua issue udah kita jawab sih ini.” ucap Sagala sembari membaca ulang legal opinionnya.
“Yep, ini lagi gue cek kak. Tadi fontnya ada yang beda dikit. Harusnya georgia malah pake times new roman.” jawab Yesha mantap.
Keduanya kembali bekerja dalam keheningan. Hanya terdengar sesekali bunyi keyboard dari Yesha yang membenarkan kesalahan-kesalahan penulisan.
“Anyway kak….”
“Hm?”
“Lo dicariin kak Sashi tau tadi sore. Pas lo bilang ke gue gak mau diganggu itu.”
Sagala berhenti membaca dokumen yang ada di layar komputernya.
“Terus lo bilang gue kemana?”
“Ya gue bilang nggak tau. Kan kata lo kalo yang nyari bukan klien, gue disuruh bilang gak tau. Kak Teira juga nyariin lo tadi tuh.” ucap Yesha lagi.
“Hmm..”
Yesha menaruh laptop yang ada di pangkuannya ke atas meja di depan sofa yang ia duduki kemudian ia memutar tubuhnya menghadap Sagala.
“Kak Rena juga chat gue, nyariin lo.”
Ucapan Yesha kali ini sukses membuat Sagala sepenuhnya meninggalkan pekerjaannya. Mata Sagala beradu dengan Yesha meminta penjelasan.
“Sejak kapan lo deket sama Rena?”
“Sejak proyek kereta cepat. Tukeran nomer handphone disitu.”
Sagala menghela napasnya, “Rena chat apa?”
“Selasa nanyain gue lo lagi sama gue apa nggak. Terus hari ini nanyain lo lagi sibuk apa nggak.”
Sagala menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Ia kemudian memejamkan kedua bola matanya.
“Lo udah cerita ini ke siapa aja selain ke gue?”
Dengan cepat Yesha menggelengkan kepalanya walau Sagala tentu tidak akan melihat dirinya.
“Gak ada lah! Ngapain gue ngegosipin lo, kak.”
“Don’t tell anybody about this. Not even Sashi, not even kak Teira.” ucap Sagala.
“Sure…?”
Sagala kemudian menghela napasnya panjang.
“Kalau Rena nanyain gue lagi, lo jawab aja Sha. Kasih aja info seadanya, jangan terlalu detil tapi juga jangan terlalu pendek.”
“O…kay? Tapi kenapa nggak kak Rena chat lo langsung sih kak? I mean kalian pasti punya nomer satu sama lain kan?”
Sagala menggeleng pelan, “Bahaya.”
Jawaban singkat dari Sagala sukses membuat Yesha bertanya-tanya. Namun ia juga tak ingin mengulik lebih jauh jika Sagala tidak ingin berbagi cerita kepadanya. Akhirnya Yesha hanya menganggukkan kepalanya patuh.
“Thank you, Sha.” ucap Sagala saat melihat jawaban afirmatif dari gestur tubuh Yesha.
“Kayak sama siapa aja sih kak.”
Sagala tersenyum tipis. Namun keduanya kemudian dikagetkan oleh suara dering telepon dari ponsel milik Sagala.
Sebuah nomor lokal tak dikenal.
“Siapa kak?”
“Gak tau nih. Nomernya sih 021 ya….”
“Angkat aja, penting kali? Kan 021?”
“Males, Sha. Biasanya yang begini nih marketing bank nawar-nawarin kartu kredit lah, asuransi lah…”
“Lah kak, ini udah jam…..” ucapan Yesha terjeda sesaat dikarenakan Yesha mengecek penunjuk waktu yang ada di layar laptopnya sejenak.
“....mau jam sembilan malem kak. Telemarketing mana yang masih kerja jam segini?”
Ucapan Yesha menyadarkan Sagala. Apa yang dikatakan oleh Yesha ada benarnya.
“Sekali lagi bunyi, kata gue mending di angkat deh kak. Takut gue kalo emergency. Soalnya kapan itu ada telepon masuk ke gue, nomer 021 juga. Terus ternyata adek gue kecelakaan, yang nelpon kantor polisi.”
“Kalo ini penipuan gimana, Sha? Kan modus gini banyak.”
“Pake feeling sih gue kak. Feeling lo gimana?”
Sagala terdiam.
Selang beberapa menit kemudian, ponsel Sagala kembali berdering oleh nomor yang sama. Sagala menaruh jari telunjuknya di depan bibir, memberikan tanda bagi Yesha untuk tetap diam.
Kali ini telepon tersebut dijawab oleh Sagala namun ia dengan sengaja menjawab telepon tersebut dalam mode loudspeaker.
“Malam?”
“Selamat malam, saya AKP Yoga dari Polda Metro.”
Kening Sagala mengkerut saat mendengar jawaban yang ia dapatkan. Yesha pun kini berdiri dari sofa yang ia duduki dan berdiri tepat di sebelah Sagala.
“Malam pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Benar ini nomor Ibu Sagala?”
“Saya sendiri, pak.”
“Bisa Ibu datang ke kantor kami? Kami membutuhkan kehadiran ibu untuk mendampingi Ibu Renata. Beliau baru mengalami penyerangan di ATM drive thru-....”
“Tunggu… Tunggu…. Bisa diulang pak?”
“Begini bu, saat ini klien ibu berada di kantor kami karena baru menjadi korban penyerangan di ATM drive thru yang terletak di sebelah kantor kami. Taksi yang ditumpangi oleh Ibu Rena dihancurkan kacanya oleh sekelompok orang tidak dikenal saat bu Rena mampir ke ATM drive thru. Supir taksi mengalami sedikit luka-luka tetapi Ibu Rena dalam keadaan aman. Untungnya tadi satpam bank melihat kejadian tersebut, jadi pelakunya langsung kabur. Ibu Renata meminta didampingi kuasa hukumnya terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Maka dari itu kami menghubungi ibu.”
“O-okay pak. S-saya kesana. Polda metro kan? Sepuluh menit saya sampai.” ucap Sagala cepat.
Ia langsung menyambar tasnya dan mengambil blazer yang ia gantung di kursi kerjanya. Sagala kemudian bergegas meninggalkan ruangan kerjanya.
“Kak! Gue gimana!” teriak Yesha.
Langkah kaki Sagala terhenti, ia kemudian berlari kembali ke ruangannya.
“Lo ikut gue sekarang. Laptop lo bawa aja. Lanjutin kerjaan lo dari kantor polisi nanti.”
Yesha mengangguk cepat. Untungnya barang bawaannya tidak banyak berserakan.
Baik Sagala maupun Yesha sama sekali tidak bertukar kalimat apapun. Namun Yesha sesekali melirik ke arah Sagala dan melihat guratan kekhawatiran pada wajah Sagala.
Perjalanan dari lawfirm mereka ke kantor polisi terasa sangat cepat bagi Yesha namun justru sebaliknya bagi Sagala.
Bahkan Sagala langsung berlari saat tiba di Polda Metro Jaya, membuat Yesha sedikit keteteran.
“Pak, saya mau ketemu AKP Yoga. Kemana ya?” tanya Yesha pada salah seorang polisi yang pertama kali ia lihat.
Keberuntungan menyambangi keduanya karena polisi yang baru saja ditanyai oleh Yesha dapat mengantarkan keduanya ke tempat tujuan yang rupanya tidak terlalu jauh dari lokasi mereka saat ini.
Yesha membungkukkan tubuhnya sebagai tanda terima kasih saat mereka tiba di ruangan yang dimaksud.
Di ruang tunggu tersebut Sagala langsung melihat sosok Rena yang masih shock atas kejadian yang menimpanya. Dengan cepat ia mendatangi Rena tanpa menunggu Yesha terlebih dahulu.
“Ren….”
Mendengar namanya disebut, Rena langsung mendongakkan kepalanya. Tubuh Rena bergetar ketika Sagala langsung memeluk tubuhnya dengan erat. Rasa takutnya tadi kembali datang bersamaan dengan perasaan lega karena kini setidaknya ada orang yang ia kenali bersama dengan dirinya.
“Ga….”
“I’m here…. I’m here…..”
Rena balas memeluk tubuh Sagala dengan erat. Wajahnya ia sembunyikan di ceruk leher Sagala sementara Sagala mengusap-usap punggung Rena.
“Kamu ada yang luka?” tanya Sagala.
Rena menggeleng.
Sebuah helaan napas lega dikeluarkan oleh Sagala.
“God….thank you…” ujar Sagala pada dirinya sendiri.
“S-sorry aku ngerepotin kamu malem-malem gini…”
“Kamu nggak pernah ngerepotin aku, Rena… Aku khawatir banget waktu tadi dapet telpon dari polisi… Untung aku masih di kantor sama Yesha tadi.”
Sementara itu Yesha yang terdiam mengamati keduanya kemudian memilih untuk menunggu di luar ruang tunggu agar bisa memberikan lebih banyak privasi bagi Sagala dan Rena.
Di luar ruang tunggu, Yesha bertemu dengan AKP Yoga yang tadi menelpon Sagala. Yesha pun memperkenalkan dirinya sebagai salah satu kuasa hukum Rena dan menanyakan kejelasan penyerangan yang tadi sempat dibicarakan oleh Yoga.
Dari keterangan supir taksi, ia menceritakan bahwa dirinya mengangkut Rena dari salah satu mall yang terletak tidak jauh dari sana. Kemudian Rena meminta untuk mampir sebentar di ATM drive thru yang kebetulan memang searah dengan rute perjalanan. Pada saat taksi tersebut keluar dari drive thru, mobilnya dihadang oleh dua buah sepeda motor yang mengacungkan senjata tajam ke arah taksi yang ditumpangi oleh Rena.
Supir taksi yang terkejut akan hal ini lalu menekan klakson mobil cukup lama dan hal ini membuat para penyerang tersebut marah dan memecahkan kaca di sisi pengemudi. Nasib baik bagi Rena, ia duduk di sisi kiri mobil sehingga walaupun kaca mobilnya pecah, namun ia hanya terkena sedikit pecahan kaca.
Tak lama berselang, security gedung pusat bank tempat dimana ATM drive thru berada banyak yang berdatangan setelah mendengar kegaduhan dari klakson taksi tersebut dan membuat penyerang ini langsung meninggalkan tempat kejadian.
“Motifnya terlihat seperti perampokan.” ucap Yoga.
Yesha mengernyit tidak percaya.
“Jalanan di sebelah itu terang banget lho pak? Dan gedung sebelah itu juga Bank pusatnya, otomatis banyak satpamnya. Terus sebrangnya persis kantor polisi ini. Nekat banget ngerampok deket kantor polisi?”
“Kami belum bisa mengambil kesimpulan ke arah lain. Semua kemungkinan yang ada mengerucut pada percobaan perampokan. Pelaku juga tidak terdeteksi karena motornya tidak berplat. Taksi yang ditumpangi juga tidak memiliki dashcam.”
“CCTV? CCTV di drive thru ATM kan ada pasti?” selidik Yesha lagi.
“Ada, tapi disana juga hanya merekam kejadian yang tadi saya ceritakan. Dari CCTV pun pasti orang akan berkesimpulan kalau ini percobaan perampokan.”
Yesha menggaruk pelipisnya frustrasi. Ia merasa penyerangan ini hal yang cukup janggal dan terlalu berani untuk dilakukan tepat di sebelah sarang polisi.
Tepat saat Yesha akan kembali berargumen, Sagala keluar dari ruang tunggu. Ia kemudian menyalami AKP Yoga dan meminta penjelasan atas penyerangan yang dialami oleh Rena. AKP Yoga pun kembali menjelaskan kepada Sagala sebagaimana ia menjelaskan kepada Yesha.
Sagala pun kemudian memiliki kesimpulan yang sama dengan Yesha. Namun ia juga memahami maksud dari AKP Yoga, bukti mereka tidak cukup.
Sagala kemudian menyampaikan bahwa Rena sudah siap untuk dimintai keterangan dan meminta agar polisi yang akan mencatat keterangan Rena untuk melakukan sesi tersebut di dalam ruang tunggu bersama dengan dirinya.
Tidak lupa Sagala meminta Yesha untuk berkomunikasi dengan sang supir taksi untuk mengurus biaya berobat dan biaya untuk memperbaiki taksi yang dirusak tadi. Sagala mengatakan bahwa Rena bersedia untuk menolong supir taksi tadi dan meminta bantuan dari dirinya dan Yesha untuk menyelesaikan hal ini.
Sekitar dua jam berselang, Rena sudah selesai memberikan keterangan dan Yesha sudah menyelesaikan tugasnya. Sementara Sagala sudah bertukar kontak dengan AKP Yoga untuk mengusut lebih lanjut kasus penyerangan ini. Polisi pun berjanji akan segera mengabari Sagala jika mendapatkan bukti lebih lanjut.
Kini ketiganya sudah berada di dalam mobil listrik milik Sagala dan berencana untuk mengantarkan Rena ke rumahnya terlebih dahulu baru Sagala akan mengantarkan Yesha pulang.
Disepanjang perjalanan, memang tidak ada kalimat yang terlontarkan di antara ketiganya namun Yesha melihat bagaimana Rena sama sekali tidak melepaskan genggaman tangan Sagala dan bagaimana Sagala tidak berhenti mengelus punggung tangan Rena menggunakan ibu jarinya.
Sagala pun secara konstan melirik ke arah kirinya untuk memastikan keadaan Rena.
“What the fuck just happened???!” batin Yesha.