205.
“Meeting apa sih ini?” tanya Teira pada Sashi yang sudah duduk di sofa ruang kerjanya.
“Have no idea. Wening gue tanyain juga cuma bilang urgent.”
“Wants some coffee?” tanya Teira lagi, kali ini sembari mengangkat teko berisikan air hangat yang ada di tangan kanannya.
“Nggak deh kak. Gara-gara adek kesayangan lo itu bilang urgent, gue tadi skip beli sarapan.” jawab Sashi.
Teira tertawa mendengar jawaban Sashi. Bukan rahasia bahwa Teira memang sangat dekat dengan Sagala layaknya saudara. Hal ini pun dibuktikan dengan sikap Teira yang cukup lunak pada Sagala walau Senior Associate yang satu itu sering kali melakukan hal-hal di luar nalar.
“Jangan ngambek gitu dong, Sas. Gue juga sayang sama lo kok.” goda Teira sembari mengaduk cangkirnya.
“Si Wening lagi renyeng banget abis balik dari puncak. Ngambek sama lo apa gimana sih Sas? Gara-gara gak bisa lo temenin karena lo pergi sama bokap gue.” lanjut Teira.
Sashi hanya mengedikkan bahunya.
“Again, I have no idea.” ucap Sashi.
Tak lama berselang, pintu ruangan Teira dibuka dengan cukup kasar oleh Sagala yang terlihat cukup terburu-buru dan kemudian melempar sebuah dokumen ke atas meja yang berada tepat di depan Sashi.
“Selamat pagi Wening, coffee or tea?” sapa Teira dengan senyumannya.
Sementara itu Sashi hanya bolak-balik melihat antara dokumen yang tadi di lempar Sagala dan teman baiknya itu.
“Preambule?” tanya Sashi dengan tenang.
Baik Teira maupun Sashi sangat paham jika Sagala sedang tantrum seperti ini, lebih baik untuk menanggapi Sagala dengan tenang.
“Rena diserang orang nggak dikenal semalam. Itu laporan polisinya.”
Mendengar ucapan Sagala, Sashi kemudian mengambil dokumen tersebut dan membaca baris demi baris laporan yang dimaksud. Sementara itu Teira membawa cangkir kopinya lalu duduk di sebelah Sashi yang sudah memberikan laporan polisi tersebut kepada Teira.
“Why do I have zero information about this?” tanya Teira kepada Sagala.
“Now you do.” balas Sagala.
“Wen, ini bukan kejadian pertama dan lo ngulangin lagi?!” tanya Sashi yang kini mulai kesal dengan sikap Sagala.
“Wait wait wait, bukan yang pertama?”
Sagala membuang mukanya, enggan menatap Teira. Sementara itu Sashi memutar kedua bola matanya malas.
“Rena sempet diserang Azkan di hari yang sama setelah sidang. Untungnya waktu itu Sagala lagi sama Rena karena dia ketemu di proyek kereta cepat dan nganterin Rena pulang. Adek lo ini nggak langsung ngasih tau tim kalau Azkan ngancem Rena karena dia tau anaknya diikutin sama Karin. Dia baru bilang besok paginya.” jelas Sashi.
“Lo terus nutupin ini juga dari gue?” tanya Teira pada Sashi.
Sashi menganggukan kepalanya malas.
Teira memijat pelipisnya berulang-ulang kali kemudian menarik napasnya dalam-dalam.
“Sas, Wen, lo berdua itu udah jadi Senior Associate disini berapa lama? Lo udah kerja di kantor ini berapa lama? Nggak perlu kan gue bacain aturan main kantor ini di depan kalian, sekarang? Atau perlu? Atau perlu gue panggil Yesha kesini buat gue tanyain basic rules kantor ini dan biar dia jawab di depan muka kalian?”
Sagala hanya mengedikkan bahunya. Sedangkan Sashi hanya menatap Teira sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
“Keluar dari ruangan ini, lo berdua bakal gue kasih SP 1.” ucap Teira.
“Sekarang balik ke kasus ini dulu. Terus udah ada update apa dari polisi?” lanjut Teira.
“Belum ada. Gue dan Yesha belum di kontak apa-apa.”
“Yesha tau?! Dia kok gak kasih tau gue?!”
“Gue yang larang dia. Look, gue tau kalo gue kasih kabar ke lo semalem, yang ada lo bakal bikin Rena capek karena dia bakal dicecar bokapnya. I just want her to rest first.” jawab Sagala.
“Wening, gue bukan anak kemarin sore! Gue tau apa yang harus dan gak harus gue lakuin! Lo nggak berada dalam kapasitas untuk nentuin apa yang gue boleh dan gak boleh lakuin! Gila ya kalian? Gue kira udah tambah banyak jam terbangnya bisa lebih dewasa cara pikirnya. Kalian mau yang kejadian bertahun-tahun lalu terulang? Wening, lo hampir dipecat dari kantor ini gara-gara lo pakai perasaan dan logika lo sendiri!”
Teira bangkit dari sofa kemudian berjalan ke arah meja kerjanya. Ia kemudian mengangkat telepon yang ada di mejanya dan menekan beberapa tombol.
“Yesha ke ruangan gue sekarang!”
Tak sampai lima menit, Yesha sudah mengetuk pintu ruangan Teira. Ia cukup kebingungan saat melihat suasana di ruangan Teira sudah tidak kondusif.
“Uhm… kenapa ya kak gue dipanggil?”
“Lo gue kasih SP 1 karena lo nggak ngasih tau peristiwa sepenting semalem ke gue dan ke lead tim lo right away. Paham?”
“Kak! Dia gue suruh!” bela Sagala.
“So? Tetep aja Yesha udah ngelanggar basic rules!”
“It’s okay kak…” bisik Yesha pada Sagala.
“Satu hal lagi, semua timnya Wening gue keluarin dari casenya Rena. Keputusan gue final, lo gak usah protes lagi.” tunjuk Teira pada Sagala.
Sashi cukup terkejut dengan ucapan Teira. Ia kemudian dengan cepat berusaha untuk bernegosiasi dengan atasannya itu, “Kak, tapi tim gue tetep butuh orang-....”
“Gue bakal kasih lo tim pengganti. Keputusan gue final. Wening, Yesha, Meira, semua out dari tim.”
“Fine. Tim gue out, tapi lo pastiin kejadian kayak gini nggak kejadian lagi.” ucap Sagala dengan telunjuk yang mengacung pada laporan polisi kasus penyerangan Rena.
Teira tertegun ketika menyadari tatapan penuh amarah pada mata Sagala. Tatapan tersebut pernah ia lihat sebelumnya untuk pertama dan terakhir kalinya pada saat kematian Isaura. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Sagala akan menatapnya seperti itu lagi namun kali ini dipicu oleh seorang Justicia Renata.