215.

Entah sudah berapa kali Wendy dipeluk oleh Nyonya Bae hari itu, bahkan saat mereka akan berpisah, lagi-lagi Nyonya Bae memeluk Wendy dengan erat dan diikuti dengan permintaan -setengah memaksa- untuk selalu mengirimkan kabar tentang keadaan mereka berdua melalui pesan singkat atau chat.

Sementara itu di lain sisi Wendy masih awkward setiap kali berada di dekat Nyonya Bae gara-gara kejadian pagi tadi. It will be a lot better if Yerim didn’t tell her that.

Wendy nyaris berteriak saat tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang yang ternyata adalah Yerim.

“Ini gue kasih bocoran ya, mumpung kakak gue lagi ngomong sama nyokap gue.”

“Apaan?”

“Itu kakak gue uring-uringan soalnya dia udah expect mau ngedate sama lo hari ini. Emang lo udah janji?”

Wendy memiringkan kepalanya, berusaha mengingat-ingat apakah ia memang melupakan janji yang ia buat dengan Irene.

“Asli deh kalo lo udah janji, mendingan abis dari sini lo pergi kek kemana gitu sama kakak gue. Dia orangnya megang janji banget soalnya, kalo gak nepatin janji bisa marah serius atau nggak ya uring-uringan kayak gini kalo dia gak bisa marah ke orang yang gak nepatin janji.” sambung Yerim.

Tiba-tiba Wendy memukul bahu Yerim kencang, “Astaga jadi dia ngitung itu date? Gue kira dia tuh cuma asal ngomong gitu! Jadi kemaren gue gak sengaja ngerusakin handphone kakak lo, terus kan gue mau ganti gitu. Rencananya mau beli malem-malem pas lo dateng itu, terus dia ngajakin buat sekalian jalan sama gue, itu maksudnya ngedate?”

“Ih lo tuh kayak baru kemaren deh kenal kakak gue! Semua yang keluar dari mulutnya tuh serius. Yaudah gih sana pergi kemana gitu.”

“Iya iya! Thanks ya dikasih tau. Sumpah dari tadi dia mood swing banget sampe gue bingung.”

Yerim menoleh ke arah Irene yang masih berbincang dengan Bundanya. “Lo akting ya, jangan sampe kakak gue tau lo lupa, dia kalo udah kecewa gitu bisa lama soalnya.”

“Sumpah gue gak ngira dia tuh serius ngajak gue jalan!”

“Yerim!” panggil Nyonya Bae. “Ayo pulang, nanti kemaleman sampe rumahnya.”

“Yes mom! Bentar!” teriak Yerim.

“Yaudah gitu aja, ntar kalo kakak gue nanya kita ngomongin apa, bilang aja gue godain lo lagi atau apa terserah jangan bilang gue yang ngasih tau lo tentang ini.”

“Lo tuh aneh banget ya sama Joohyun. Sama-sama sok tsundere, gak capek apa?”

“Gak kuat gue kalo harus lovey dovey sama kakak gue.” jawab Yerim sambil bergidik ngeri dan membuat Wendy tertawa.

Keduanya berjalan ke arah mobil sedan mercedes benz c-class berwarna silver metalik milik Yerim yang terparkir bersebelahan dengan mobil Irene. Wendy secara otomatis berdiri di sebelah Irene sedangkan Yerim langsung duduk di kursi pengemudi.

“Jangan ngantuk lo nyetirnya, gak usah ngebut.” ujar Irene.

“Iya, lo juga gak usah kayak donald duck gitu mukanya. Jelek.” jawab Yerim singkat sambil menjulurkan lidahnya. Ia buru-buru menaikan kaca jendela mobilnya karena ia tahu Irene pasti akan memukul bahunya.

Wendy tertawa melihat tingkah kakak-adik ini dan masih terheran-heran kenapa keduanya selalu bersikap seperti tom and jerry padahal sebenarnya mereka saling perhatian.

Tangan Wendy mengelus punggung tangan Irene, ia tahu kalau Irene masih uring-uringan seperti ini bisa saja ia menganggap serius ucapan Yerim dan nanti ujung-ujungnya mereka bertengkar lagi.

Irene dan Wendy mundur perlahan saat mobil Yerim bergerak meninggalkan parkiran.

Untuk beberapa saat Irene memperhatikan mobil Yerim sebelum akhirnya ia melepaskan pandangannya setelah mobil Yerim sudah tidak berada dalam jangkauan penglihatannya.

Irene terkejut saat mendapati Wendy menatapnya seperti hendak mengatakan sesuatu namun justru mengurungkan niatnya.

“Kenapa?”

“Jawab jujur ya, kamu bad mood gara-gara kita batal ngedate ya kemaren dan possibly hari ini?”

Mendengar pertanyaan Wendy, wajah Irene langsung berubah datar. “Iya.”

“Maaf ya, kayaknya kita misscom deh. Aku kira tuh maksud kamu date itu ya beli handphone itu.” ujar Wendy. Ia memilih untuk jujur daripada mengikuti saran Yerim.

“I always meant what I said Seungwan, I thought you knew that.”

“Iya, I know. I’ve learnt my lesson now. Aku nggak lupa sama sekali kalau sama janji ganti handphone kamu itu, ini pure misscom aja.” ujar Wendy. Ia berdiri tepat di depan Irene, kedua tangannya menggenggam tangan Irene. “Maaf ya?”

Irene mengangguk, “Okay, forgiven.”

“Yaudah abis ini kita beli handphone kamu terus kita pergi ya? Terserah kamu deh mau kemana.”

“Kan tadi kita udah deal mau pergi ke tempat yang kamu bilang bagus itu? Nggak jadi?”

“Mau kesitu? Aku kira kamu udah punya rencana buat ngedate gitu.”

“Nggak ada, anywhere is fine as long as I’m with you.”

“Gombal.”

Wendy masih harus membiasakan dirinya dengan Irene and her smooth mouth. Masalahnya Irene seringkali mengeluarkan statement-statement seperti itu secara tiba-tiba.

“Terserah kalau dianggap gombal, tapi saja jujur.” jawab Irene. Tangan kirinya membelai puncak kepala Wendy.

Biasanya Wendy akan kesal kalau ada seseorang yang mengacak-acak rambutnya, namun kali ini Wendy membiarkan Irene. “So we’re good right?”

“Always.”

“Dih always apanya?! Tadi sadar gak sih kamu rewel banget sampe aku bingung. Aku beneran mikir lama tau! Takut beneran lupa sesuatu gitu!”

Wendy berniat untuk berjalan ke arah pintu penumpang tapi ia bingung saat Irene masih menggenggam tangannya erat. “Ini nggak mau dilepas?”

Irene menggeleng.

“Gimana ceritanya sih! Ayo jadi berangkat nggak?” tanya Wendy setengah kesal. Benar-benar butuh ekstra effort untuk meladeni Irene yang rewel seperti ini.

Irene tidak menjawab ucapan Wendy, ia hanya berjalan santai ke arah pintu penumpang dan membukakan pintu untuk Wendy. Kemudian sang pemilik mobil mempersilakan Wendy untuk duduk sebelum ia berlari cepat ke arah kursi pengemudi.

Lagi-lagi Wendy harus terheran-heran dengan sikap Irene.

“Mana?”

“Apanya??”

“Tangan kamu sini” ujar Irene dengan telapak tangannya yang ia sodorkan ke arah Wendy.

“Ngapain ya ampun?”

Irene hanya diam, tangannya meraih tangan Wendy dan kembali menggenggam erat tangan Wendy. “Gak boleh dilepas sampai di rumah, sebagai hukuman kamu lupa janji date kita.”