225

Baru lima menit Irene menunggu di lobby gedung entertainment yang menaungi Wendy namun ia sudah cukup malas dengan tatapan-tatapan dari orang-orang yang ada disana. Entah karena penasaran atau rasa heran.

Irene namun tidak ambil pusing atas tatapan yang ia dapatkan, they can stare as much as they want anyway.

Ia kembali memeriksa chat roomnya dengan Wendy dan harus mengernyit saat ia melihat chat terakhirnya tidak dibalas oleh Wendy.

Sementara itu Wendy yang baru saja keluar dari lift langsung mencari sosok Irene yang tadi mengaku bahwa dirinya sudah ada di lobby. Matanya sempat mengedar kesana-kemari sebelum ia melihat sosok Irene yang mencolok dengan sweater hijau dan celana jeans hitam.

“Tumben?” batin Wendy. Namun ia harus menahan tawanya saat melihat raut wajah Irene yang terlihat sangat jutek.

“So, kita mau langsung pulang atau mampir makan dulu?” tanya laki-laki yang sedari tadi bersamanya.

“What?”

“Lo jadi bareng gue kan?”

Wendy menggeleng, “Sorry gue nggak jadi, udah ada yang jemput.”

“Hah? Who?”

Wendy menunjuk ke arah Irene yang masih cuek dengan keadaan sekitarnya. “Her.”

Mata laki-laki itu kemudian melihat ke arah yang ditunjuk Wendy dan bersiul pelan, “Tell me your ways, damn it. Lo bisa dapet yang kayak gini dimana sih?”

Wendy hanya mengendikan bahunya. “Dah ah gue mau balik! Besok gue ada schedule juga.”

“Kalo udah bosen, kenalin ke gue dong. Boleh juga tuh cewek, your new toy I mean.”

Mendengar ucapan itu Wendy langsung memukul tenggorokan temannya itu yang mengakibatkan laki-laki tadi langsung terbatuk kesakitan. “Jaga ucapan lo ya. If you ever make your way, I’m gonna show the world how small your friend is.”

Laki-laki tadi masih terbatuk, sontak menutupi selangkangannya. “Hey my friend is not small! Also damn Wen possessif much? Chill, I'm just kidding! Sakit banget anjir ini.”

“Makanya kalo ngomong mikir dulu!”

“Wan?” panggil Irene yang sudah berjalan ke arah mereka berdua.

Irene menyapa laki-laki yang berdiri disamping Wendy dengan mengangguk pelan, kemudian ia menyodorkan tangannya. “Irene Bae, Seung….Wendy’s fi….friend.”

“Lucas, her boyfriend. Please make it a secret, the public shouldn’t know it.” Jawab Lucas sembari menjabat tangan Irene dan memberikan senyuman sangat lebar kepada Irene.

Ekspresi Irene seketika berubah.

Sementara itu Wendy yang tidak memprediksi bahwa Lucas akan berkata demikian langsung memukul perut laki-laki itu dan menendang kakinya. “Stop joking, it’s not funny you dickhead!”

“Shit wen! Stop assaulting me!” ujar Lucas sembari menghindari tinjuan yang masih dilayangkan oleh Wendy dan berlari ke arah pintu belakang gedung, tempat dimana ia memarkirkan mobilnya. “Bye honey!”

“I’m not your honey!! Pergi lo jauh-jauh!” teriak Wendy, kemudian ia berjalan kembali ke arah Irene. “He's just joking, okay? I’m not in a relationship with anyone right now, or well at least since the last 5 years.”

Jawaban Wendy justru memperkeruh suasana hati Irene, namun ia sadar Wendy dari awal sudah mengingatkannya bahwa ia belum bisa membalas perasaan Irene.

She only cares about her, as a…...friend….maybe.

“But we kissed and hugged each other?” pikir Irene.

“Hyun? You okay? Lucas emang suka gitu orangnya, nggak mikir kalo ngomong.”

“Let’s go home.”

Irene berjalan ke arah yang sama dengan arah yang Lucas tempuh, ia sama sekali tidak berbicara sedikit pun. Sementara itu Wendy tetap cuek, ia kira Irene hanya lelah dan lagi ia memang tidak terlalu banyak bicara jika di tempat umum.

Lima belas menit perjalanan, keduanya masih saling tidak berbicara. Kini Wendy mulai melirik ke arah Irene, ia mulai merasakan ada sesuatu yang janggal.

“Hyun.” panggil Wendy pelan.

“Hm?”

“Masih marah karena yang tadi pagi?”

“No.”

“Okay if you say so. Aku serius sama ucapanku tadi, aku beneran minta maaf. Nggak ada maksud lain selain pengen kamu istirahat yang cukup. I know kerjaan di kantor kamu lagi banyak.”

“Yeah, thanks Wen.”

“Wen? Ini aku nggak salah denger atau aku emang ngerasa kamu lagi marah ya?”

“Nggak, saya nggak marah.”

Wendy tidak menjawab lagi, ia tahu Irene sedang marah padanya. The problem is, Wendy bahkan tidak tahu alasan Irene marah. Sebenarnya ia mulai merasa kesal dengan Irene yang bersikap seperti ini, memendam rasa kesalnya bukannya justru mengkomunikasikan hal yang menyulut emosinya itu.

Wendy akhirnya memilih untuk diam, kalau ia terus bertanya pasti mereka end up bertengkar. Irene dan Wendy yang sama-sama keras kepala.

“Just what the hell is happening?” batin Wendy yang hanya bisa menghela nafas panjang.