227.

Rabu, 16 Juli 2025

“Kak Weeeeeen!!”

Sagala menoleh saat mendengar suara teriakan Yesha yang tetap terdengar dominan di tengah kebisingan di area kedatangan internasional bandara soekarno hatta. Sagala tertawa saat melihat Yesha berjalan cepat ke arahnya dengan tangan yang terbentang, mengundang Sagala untuk ikut membentangkan tangannya.

Sebuah pelukan erat dirasakan oleh Sagala yang membuatnya seketika merasakan rasa rindu akan kota ini beserta teman-temannya.

”It feels good to be home” batin Sagala.

“Damn, lo agak tanned nggak sih kak?” tawa Yesha sembari melepaskan pelukannya dan melihat Sagala dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Well, disana nggak ada Evy jadi gue harus kepanasan naik kendaraan umum.” jawab Sagala.

Sosok laki-laki yang tadi mengekor di belakang Yesha tertawa mendengar jawaban Sagala.

“Kangen Evy nggak kak?”

Sagala mengangguk mantap.

“Lumayan.”

“Gue maksa Mahen buat jemput lo pake Evy.” ucap Yesha sembari tersenyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.

“Seriusan?!”

“Yeah, look…”

Sagala menoleh ke arah kekasih dari Yesha yang menunjukkan kunci mobil yang sudah lama tidak dilihat oleh Sagala. Mulutnya membulat tidak percaya, ia sama sekali tidak mengira akan dijemput menggunakan mobil kesayangannya itu.

Yesha segera mengalungkan lengannya di lengan kanan Sagala dan menariknya berjalan ke arah parkir mobil.

“Bawain kopernya kak Wening ya, yang.”

Sagala mengernyitnya keningnya, sedikit geli mendengar panggilan sayang yang dilontarkan Yesha kepada Mahendra Parabawa, atau yang akrab dipanggil Mahen.

Sementara itu Mahen mengangguk mengiyakan dan mengambil koper yang dibawa oleh Sagala. Sebenarnya Sagala pun hanya membawa satu koper saja mengingat ia tidak akan tinggal lama di Jakarta dan mengingat ia pun masih memiliki pakaian dan kebutuhan lainnya di rumahnya.

Mata Sagala tiba-tiba menangkap sesuatu hal yang membuatnya tertawa.

“Baju lo rapih banget, abis meeting sama kementerian?” tawa Sagala saat menyadari Yesha hari itu menjemputnya dengan baju batik, celana kain hitam, serta heels yang tidak terlalu tinggi. Begitu pula dengan tatanan rambut Yesha yang terlihat diikat rapi, walaupun poni Yesha sedikit berantakan karena tadi tertiup angin.

Yesha menghela napasnya lalu memutar kedua bola matanya malas.

“Ya gitu deh.”

“Bagaimana Ibu Yesha, kami mau mengingatkan komitmen konsorsium dengan kementerian. Apakah konsorsium masih komit dengan proyek ini?” goda Sagala mengulang salah satu kalimat yang dahulu sering sekali dilontarkan kepada Sagala sebagai lead lawyer salah satu proyek yang ditanganinya bersama dengan Yesha.

Yesha memukul lengan Sagala sembari tertawa.

“Udah pensiun itu Ibu Siti. Sekarang nggak ada lagi tuh yang ngomong begitu tiap meeting.”

“Oh? Lo sama kementerian itu lagi hari ini?”

Yesha mengangguk. “Tuh klien kesayangan lo yang gak pernah telat bayar, proyek lanjutan jalan tol, tapi sekarang move ke Kalimantan.”

“Ahh, I see…. Lo masih sering berantem nggak sama legalnya mereka?” tawa Sagala.

“Udah resigned. Sekarang ganti cewek legalnya, untung pinter.”

Merasa dirinya meninggalkan Mahen, Sagala kemudian menoleh ke arah belakang dan melihat Mahen yang masih mengikuti dirinya dan Yesha.

“Sini kek lo jangan di belakang.” ucap Sagala.

Mahen pun mempercepat langkahnya, kini berjalan di sebelah Yesha.

“Apa kabar hen?”

“Baik, kak.”

“Kakak lo?”

“She’s good. Still cerewet, but good nonetheless.” jawab Mahen sembari mengedikkan bahunya.

Sagala tertawa mendengar penjelasan Mahen.

Mahendra Parabawa merupakan putra bungsu dari Yoshua Parabawa sekaligus adik dari Selene Parabawa. Jarak umur Mahen dan Selene terpaut dua tahun. Pertama kali Sagala dan Yesha mengenal Mahen adalah saat perayaan selesainya proyek akuisisi salah satu perusahaan dibawah Parabawa Corp yang ditangani oleh tim Sagala

Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Mahen dan Yesha akhirnya menjalin hubungan setahun yang lalu setelah keduanya berteman cukup lama. Sagala ingat betul bagaimana ia berteriak tidak percaya melalui sambungan video call saat Yesha bercerita bahwa kini ia sudah melepas status single-nya.

Mungkin dunia memang sesempit itu.

Sesampainya mereka di parkiran, Sagala tersenyum sumringah saat melihat mobil listriknya.

“Kak, heads up, cewek gue nempel sesuatu di mobil lo.” tawa Mahen sembari menekan tombol untuk membuka kunci mobil.

Mahen kemudian memasukkan koper Sagala ke bagasi mobil dan terkekeh saat mendengar Sagala sedikit memekik terkejut.

“Yeshaaa!! Kenapa lo pasang pajangan Shinchan gak pake celana di dashboard mobil gue!!”

“Lucu tau itunya bisa muter-muter gitu.” tawa Yesha.

“Mahen cewek lo porno banget anjir?!”

Mahen hanya menanggapi ucapan Sagala dengan tawa.

Sagala menarik Yesha saat melihat juniornya itu hendak duduk di baris kedua mobil listrik miliknya.

“Heh gue yang duduk belakang. Lo duduk depan sama Mahen! Yang ceweknya Mahen kan lo bukan gue?!”

“Ish, lebay!”

Sepanjang perjalanan mengantar Sagala pulang, Yesha banyak memberikan berita-berita terkini tentang teman-teman mereka.

Tentang Teira yang kini sudah memiliki putri yang baru genap berusia satu tahun pada bulan februari lalu. Uniknya, putrinya lahir di hari valentine. Kini Teira sudah tidak mau bekerja sesibuk dulu, ia memilih untuk mencurahkan waktunya lebih banyak untuk putrinya.

“Siapa nama anaknya kak Tei? Gue lupa.” tanya Sagala.

“Thea, kan?” jawab Mahen.

“Althea.” ujar Yesha membenarkan.

“Sumpah ya, itu keluarganya kak Tei obsesi banget sama nama dewa dewi Yunani.” tawa Sagala.

Yesha kemudian melanjutkan update beritanya dengan menceritakan bahwa kini dengan ‘turun’-nya Teira yang mengurangi porsi kerjanya, Sashi lah yang cukup banyak menghandle pekerjaan yang dulunya merupakan beban dari Teira.

Yesha juga memberitahukan bahwa kini Meira sudah dipromosikan menjadi Middle Associate, sementara Karin sudah tidak lagi bekerja di lawfirm mereka namun masih menjaga hubungan baik dan masih sering bertemu dengan tim lamanya.

“Kemana si Karin?”

“Melanjutkan usaha orang tua.” tawa Yesha.

“Tuh kan! Udah gue bilang dari awal gue liat dokumen data keluarga yang dia submit! Heran banget gue ngapain orang sekaya dia masih kerja dari bottom lagi? So, dia sekarang jadi apa?”

“Manager Legal di perusahaan orang tuanya. Paling setahun dua tahun lagi di promote jadi Vice Director bagian Legal.”

“Nah! Bagus tuh! Dipepet aja perusahaan orang tuanya dia, tawarin lah itu proposal kantor kita ke dia.”

“Otak lo bener-bener ya, kak.” ucap Mahen yang tertawa mendengar perkataan Sagala.

“Nyari klien susah tau! Tuh perusahaan bokap lo kasih kek kerjaan ke cewek lo ini. Kalau si Yesha bisa bawa klien, lumayan tau bonusnya.” tawa Sagala.

“Oh ya?” balas Mahen.

“Yeah, sebenernya tergantung nilai proyeknya. Tapi tetep aja, money is money.”

“Kok kamu nggak pernah bilang ke aku sih?” tanya Mahen sembari menolehkan kepalanya ke arah Yesha sejenak, lalu kembali menatap ke arah depan untuk fokus mengemudi.

“Aku nggak mau ya kamu kasih proyek secara cuma-cuma karena ucapan kak Wening!” ujar Yesha sembari mencubit paha Mahen.

“Ouch! Babe, it hurts!”

“Biarin, because I know what’s going on inside your head. Sekali aku bilang nggak, ya nggak. Denger ya Mahendra Parabawa.”

Mahen terdiam saat mendengar Yesha menyebut nama lengkapnya, artinya kekasihnya itu serius dengan ucapannya.

“Okay… okay….”

“Lo mau gue kasih update tentang kak Rena nggak?” tanya Yesha pada Sagala.

Hening melanda ketiganya.

Mahen melirik ke arah Yesha kemudian menggelengkan kepalanya. Sedikit banyak ia tahu cerita antara Sagala dan Rena. Apalagi saat kakaknya mengamuk ketika pertama kali mengetahui perbuatan Sagala kepada Rena.

Sejak saat itu pula Selene memutus kontaknya dengan Sagala.

Yesha memutar tubuhnya ke arah kiri, berusaha mengintip kondisi Sagala saat ini. Sosok seniornya itu menyandarkan kepalanya ke kaca mobil dengan kedua matanya yang terpejam. Namun Yesha tahu bahwa Sagala mendengar pertanyaannya barusan.

“Up to you, gue bilang nggak juga lo akan tetep cerita.” desah Sagala.

Selepas kejadian di ruangan Teira, hubungan Sagala dengan Rena sudah hancur total. Rena memutus semua kontaknya dengan Sagala, ia bagaikan hilang ditelan bumi. Sagala pun tidak berusaha untuk mencari Rena, karena sejak awal ia memang sudah berencana untuk menghilang dari kehidupan Rena setelah kasus perceraiannya selesai.

Perasaannya mereka berdua untuk satu sama lain adalah salah satu variabel tidak terduga dalam rencana Sagala. Pun jika ternyata perasaan itu hanya dirasakan oleh Sagala, ia tidak pernah berencana untuk mengungkapkan perasaannya.

Selain komunikasi dengan Rena yang hancur total, komunikasi dengan Selene juga turut hancur. Tidak tanggung-tanggung, Selene memblokir semua kontak Sagala termasuk di sosial media dimana awalnya baik Selene maupun Sagala saling mengikuti satu sama lain.

Selain itu Teira pun secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya pada Sagala. Namun hingga kini Teira tidak pernah mengetahui cerita dibalik tragedi tersebut secara utuh. Sagala memaksa Sashi dan Yesha untuk tidak mengatakan satu patah kata pun kepada Teira. Ia khawatir jika Sashi atau Yesha menceritakannya kepada Teira, maka cerita itu akan sampai kepada Rena juga pada akhirnya.

Yesha pernah menanyakan kepada Sagala alasan mengapa ia dilarang untuk bercerita kepada Teira, jawaban Sagala cukup singkat dan padat. ”Sesuatu hal yang dimulai dengan nggak baik, akan berakhir dengan nggak baik juga, Sha.”

Sementara itu hubungan antara Sagala dan Sashi masih terjalin dengan baik, hanya saja memang selama dua tahun ke belakang, percakapan diantara keduanya menurun drastis. Sashi yang disibukkan dengan pekerjaannya dan Sagala yang sibuk dengan studinya, ditambah adanya perbedaan waktu yang cukup signifikan membuat mereka cukup kesulitan untuk tetap menjaga komunikasi.

Kini hanya Yesha yang masih secara intensif menghubungi Sagala. Walaupun seringkali chat-chat yang dikirimkan Yesha diterima oleh Sagala di jam-jam yang tidak wajar, begitu pula sebaliknya.

“Kak Rena udah nggak terlalu aktif jadi model-....”

“Tell me something I don’t know, duh. Lo udah ulang-ulang itu kalimat dari dua tahun yang lalu.”

“Sabar anjir!”

“Sekarang kak Rena mulai fokus ke clothing line. Sebenernya Kak Rena mulai dengan ngedesain gaun dikit-dikit. Tapi terus ditawarin kakak gue buat bikin usaha bareng. Jadi sekarang kesibukan dia dua itu, model brand sama clothing line dia.” potong Mahen yang kemudian mendapatkan cubitan lainnya di paha kirinya.

“Sakit babe?!”

Sagala terkekeh melihat dua sosok di depannya.

“Good for her then.”

Mendengar jawaban Sagala, Mahen melirik ke arah Sagala melalui spion tengah beberapa kali dan pada percobaan terakhirnya mata Sagala menangkap lirikan tersebut tepat sasaran.

“Kenapa hen?”

“Nothing.”

“Lo mau tanya apa?”

Mahen menoleh ke arah Yesha, meminta persetujuan kekasihnya. Bagaimana pun juga ia tidak sedekat itu dengan Sagala.

“Kamu mau nanya apasih?” Yesha justru ikut bertanya kepada kekasihnya itu.

“Uhm…”

“Buruan, gue ngantuk Mahen.” dorong Sagala.

“Lo….pernah nyesel nggak sih kak? With everything that you did.”

Sagala menghela napasnya panjang. Ia menatap ke arah jalanan, melihat gedung-gedung pencakar langit yang mulai menghiasi pandangannya.

“Yang mana? Because the answer will be very different.”

“About kak Rena?”

“Hurting her? Yes. Penyesalan paling utama di hidup gue adalah nggak bisa nemenin nyokap gue disaat terakhir dia. Penyesalan terbesar kedua gue adalah nyakitin Rena.”

“And the other one?” tanya Mahen lagi, kembali melirik Sagala.

“Mahen, lo pernah nyangka nggak lo bisa suka sama Yesha? Disaat pertama kali lo ketemu Yesha.” Sagala berbalik tanya.

“No? I mean, I remember ketemu Yesha di acara dinner. But I just saw her as one of the lawyers that my dad hired.”

“Then lo inget nggak kapan the exact moment lo mulai suka Yesha?”

Mahen menggeleng. “No, I mean we started off as friends and the line got blurred. I just can’t see her go with another man so… yeah I realized I like her like that.”

“Now that you are already with her and know more about her, do you ever regret it? Fall for her, I mean.”

“No, of course not.”

Setelahnya suara Sagala tidak terdengar lagi. Mahen menoleh ke arah Yesha yang mengedikkan bahunya ke arah Mahen. Ia kemudian melirik ke arah Sagala dan menemukan Sagala kembali memejamkan matanya.

Keheningan yang tercipta di sana kemudian dipelihara oleh Mahen dan Yesha. Keduanya merasa sudah melewati batas saat itu.

“Penyesalan terbesar ketiga gue adalah gue nggak berani minta maaf ke Rena. I don’t think gue kuat liat Rena lagi tanpa ingat gimana tatapan Rena di hari itu. Anyway, bangunin gue kalau udah sampai di rumah ya.” ucap Sagala.