233.

Perlahan Wendy membuka matanya. The dizziness is still there at the back of her head, she feels disoriented.

Namun Wendy merasa cukup tenang karena ia tahu saat ini ia berada di kamarnya walau ia sama sekali tidak ingat bagaimana ia bisa sampai disini dalam keadaan yang utuh dan tidak mencium bau yang menjijikan dari seluruh alkohol yang seingatnya ia tenggak kemarin malam.

Matanya terasa sangat berat untuk dibuka dan ia merasa sekujur tubuhnya pegal. She feels extremely exhausted. Dengan susah payah Wendy berusaha memfokuskan pikirannya dan perlahan ia dapat mendengar suara di sekelilingnya.

Kamarnya hening, namun ia dapat mendengar suara air purifier, probably Joohyun’s. Ia juga mulai mencium wangi aromaterapi, it’s lavender, this one she’s sure is Joohyun’s. Kemudian Wendy dapat mendengar seseorang bergerak kesana kemari di dapur, that of course is Joohyun.

Joohyun.

Joohyun.

Joohyun

Wendy memejamkan matanya kembali. Semenjak ia kenal Joohyun, hampir setiap detik di hidupnya berkaitan dengan Joohyun, or at least reminds her of Joohyun. Bahkan di saat seperti ini ia berhalusinasi that she saw Joohyun, heard Joohyun’s voice, and felt Joohyun’s touch on her body last night.

The realization scares her as much as it’s exciting for Wendy. Has she ever felt something like this with anyone before? Yes. Was it this scary? No.

Tiba-tiba Wendy merasakan tenggorokannya terbakar dan kepalanya seakan-akan terbentur keras. Ia mengerang berusaha untuk setidaknya menahan sakit yang ia rasakan.

Wendy mendengar suara pintu kamarnya dibuka namun dia tidak bisa mengeluarkan suara apa pun untuk merespon.

“Seungwan? Kamu udah bangun? You okay?”

Mendengar suara Joohyun membuat Wendy ingin berteriak. Setelah semua yang ia lakukan terhadap Joohyun, mengapa ia masih memperlakukannya dengan semanis ini?

“Seungwan?”

Kali ini Wendy merasakan Joohyun membelai kepalanya dengan halus. She hated to admit that this gesture totally calmed her mind and heart. Joohyun’s genuine voice tells her that she’s worried for her and it made Wendy believe that she can trust Joohyun completely.

And maybe that was all she needed to move on. Just Joohyun. Maybe.

“Kamu kenapa? Please say something Wan, jangan bikin saya takut gini. Apa kita ke rumah sakit aja?”

Joohyun sudah hampir mengambil ponselnya dari saku celana yang ia kenakan namun tangan Wendy sudah terlebih dahulu mencegahnya. Ia baru saja ingin membuka mulutnya namun tiba-tiba ia merasakan mual yang luar biasa.

Entah ia mendapatkan energi dari mana, Wendy dengan secepat kilat turun dari kasurnya dan berlari ke arah kamar mandi. Ia berlutut tepat di depan kloset dan memuntahkan seluruh isi perutnya.

Awesome, now even her stomach is hurting.

“Easy there, Seungwan.” ujar Joohyun yang mengikuti Wendy dan kini sudah berdiri tepat di belakangnya. Tangan kirinya memegang rambut Wendy agar tidak terkena muntahan sedangkan tangan kanannya berusaha memijat pelan tengkuk Wendy.

Wendy hanya bisa mengangguk pelan.

“Saya tinggal sebentar ya, ambil minum buat kamu.”

Lagi-lagi Wendy hanya bisa menganggukkan kepalanya. Ia kemudian menyandarkan tubuhnya ke tembok sedangkan Joohyun dengan sigap menekan tombol flush.

Tak lama setelah itu ia mendengar Joohyun setengah berlari keluar dari kamar mandi dan kembali berlutut disisinya.

“Ayo bangun dulu, jangan di lantai nanti kamu kedinginan.”

Wendy hanya bisa pasrah saat Joohyun mengangkat tubuhnya. Namun ia tahu setidaknya ia harus membantu Joohyun agar ia tidak lebih banyak mengalami kesulitan, akhirnya Wendy berusaha untuk memberikan kekuatan pada kedua kakinya dan bangkit secara perlahan.

“Pelan-pelan ya.”

Joohyun kemudian menyodorkan gelas kaca ke bibir Wendy dan membantunya untuk menenggak air mineral tersebut, although some of the water still spilled on her pajamas. Ia menghabiskan isi gelas tersebut seakan-akan ia sangat kehausan.

Joohyun mengambil gelas kaca yang Wendy pegang dan menaruhnya di wastafel.

Untuk beberapa saat keduanya terdiam, well mostly on Wendy’s part because Joohyun is still observing her dan Wendy hanya bisa menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup untuk menatap mata Joohyun.

“Kalo kamu mau omelin aku, please jangan sekarang.” ucap Wendy tiba-tiba.

Sangat masuk akal, Joohyun sebenarnya juga sudah gatal untuk memarahi sikap Wendy yang kabur dan mabuk-mabukan semalam. Namun ia tahu saat ini bukanlah saat yang tepat. Baik dirinya maupun Wendy sama-sama harus bekerja hari ini dan memulai hari dengan pertengkaran adalah pilihan yang bodoh.

“Nggak, saya simpan omelan saya untuk nanti malam. Kamu sekarang mandi aja, saya siapin baju gantinya. Setelah itu kita sarapan dan nanti saya yang antar kamu ke tempat shooting. Saya nggak terima penolakan untuk kali ini, itung-itung ini hukuman buat kamu.” jawab Joohyun yang berkacak pinggang di depan Wendy.

“Okay...tapi please nanti malem jangan kelamaan ngomelnya.” tawar Wendy.

Joohyun sudah hampir membuka mulutnya namun Wendy lebih dulu memotong Joohyun.

“I’ve something for you tonight, please? Aku selesai rekaman jam lima hari ini, habis itu I’m totally free. So I thought we should do something.”

Joohyun memejamkan matanya, ia sedikit kesal dengan Wendy. Bisa-bisanya wanita di depannya itu bermanuver dengan cara seperti ini untuk membujuk dirinya.

“Terserah saya mau ngomel berapa lama. Just take a bath now okay?”

“Okay…...but Joohyun, we are okay now right?”

Joohyun menggeleng, “No, we still have a lot to talk about. First, please don’t do this ever again. I’m so terrified. I beg you.” ujar Joohyun sambil menggerakkan tangannya menunjukkan bahwa ia tidak menyukai sikap Wendy.

“I’m so sorry for my behaviour yesterday. I’m not mad at you, I’m mad at myself yang terlalu childish, jealous untuk urusan yang nggak penting. Maka dari itu saya cuma bisa diam sepanjang jalan kemarin. Saya cuma butuh waktu untuk menenangkan hati saya tapi kamu malah pergi tanpa bilang seperti semalam. I’m so mad at you Wendy.” lanjut Joohyun.

Wendy memasang muka cemberut dan menatap ke arah Joohyun berharap ia akan luluh. Namun Joohyun tidak menunjukkan perubahan ekspresi.

“So when she’s mad I’m Wendy huh?” batin Wendy.

“I’m sorry too…....It’s…. old habits die hard I guess? Abis kamu juga kenapa sih diemin aku? Kesel tau!”

“Loh kok jadi kamu yang marah?! Saya cuma nggak mau ngomong pas saya lagi kesel. Tapi tindakan kamu kemarin malam itu membahayakan diri kamu sendiri tau nggak?!”

“Ya abis! Kamu sih kenapa juga bercandaannya Lucas dibawa serius?! Terus abis itu ngambek nggak jelas! Emangnya enak di diemin?!”

“God, that’s not what makes me mad, Wendy! You clearly said to me that you are not in a relationship at least for the last five years. That’s what makes me mad! Saya pikir I’m your someone but it doesn't seem like that right?”

Oh….

“I will be honest, it hurts me, Wen. But then I remember you asked me to be patient with you, wait for you and give you more time. That’s why then I know this is my fault. Tapi saya kecewa kamu lebih memilih pergi daripada ngomong sama saya.”

Wendy masih terdiam. Ia sama sekali tidak menyadari ucapannya yang waktu itu karena ia justru berfokus untuk memperjelas bahwa ia dan Lucas sama sekali tidak ada hubungan apapun.

“We are not okay right now, we still have a lot to talk about. Just please promise me we'll talk it out, just don’t repeat it again.” ujar Joohyun.

Wendy mengangguk pelan. Ucapan Joohyun benar-benar membuatnya merasa bersalah.

“Sekarang mandi, you look like a lost puppy. A smelly one.” sambung Joohyun, tangannya mencubit pipi Wendy. Kemudian ia mengacak-acak rambut Wendy dan setelahnya meninggalkan kamar mandi tersebut.

Sedangkan Wendy menghela napas lega. Setidaknya Joohyun sudah bisa sedikit bercanda dengannya. Yang harus ia lakukan sekarang adalah menuruti ucapan Joohyun dan nanti meluruskan permasalahan mereka.