242.

Seperti janjinya pada Teira, Sagala mengunjungi kantornya hari itu.

Ia sengaja datang lebih awal untuk mampir ke kantor Yesha terlebih dahulu serta melihat kondisi ruangannya yang sudah lama tidak ia tempati. Tentu saja masih rapi dan bersih karena secara rutin dibersihkan oleh petugas kebersihan, namun tetap ada sedikit rasa rindu pada ruangannya itu.

Sagala juga mengunjungi ruangan Yesha dan memberikan sedikit oleh-oleh hiasan meja. Keduanya kemudian sengaja langsung mendatangi ruangan Teira untuk melihat Thea.

“Theaaa!”

Yesha sudah terlebih dahulu memasuki ruangan Teira dan mendatangi Teira yang sedang menggendong Thea yang nampaknya baru terbangun dari tidurnya.

“Oh my god lucu banget anak lo kak.” ujar Sagala yang melihat Thea kini digendong oleh Yesha.

“Lo mau gendong gak Wen?” tanya Teira.

Sagala menggeleng, “Takut gue. Gak pernah megang bayi soalnya.”

Yesha kemudian mengambil posisi duduk di sebelah Sagala agar Sagala bisa melihat Thea dengan lebih jelas. Sagala kemudian melambaikan tangannya pada Thea dan mencoba untuk menyentuh tangan mungil Thea.

“Sumpah tangannya kecil banget.”

“Namanya juga bayi, gimana sih kak.” balas Yesha.

“Thea, kamu nggak boleh main kelamaan sama Yesha ya. Nanti kamu jadi titisan setan kayak Yesha.” ucap Sagala menasihati Thea yang dibalas dengan Yesha menginjak kaki Sagala dengan sengaja.

“Aww! Sakit Sha!”

Teira tertawa melihat Sagala yang bertengkar dengan Yesha. Rasanya seperti kembali ke beberapa tahun lalu.

“Satu hal yang gue paling heran ya, Wen. Thea selalu nangis kalau digendong sama Sashi, tapi giliran sama Yesha bisa diem banget. Heran gue.” ucap Teira.

“Because I’m awesome.”

Acara kecil siang hari itu rupanya hanya dihadiri oleh Teira, Yesha, dan Meira dikarenakan meeting yang dihadiri Sashi ternyata selesai lebih lambat dari yang diperkirakan.

Sagala memberikan beberapa update tentang kehidupan perkuliahannya, Yesha dan Meira sempat beberapa kali menanyakan tips dan trik untuk mendapatkan beasiswa di luar negeri. Keduanya bahkan sempat meminta agar Sagala memberikan tutor bagi mereka dan tentu saja hal ini disanggupi oleh Sagala. Ia juga menyarankan beberapa hal bagi Yesha dan Meira yang harapannya dapat melancarkan rencana mereka untuk melanjutkan studi magister hukum mereka.

Jamuan makan siang hari kali ini tidak berlarut lama.

Yesha dan Meira harus kembali bekerja untuk mengejar deadline mereka.

Akhirnya Sagala pun memilih untuk pulang. Mengingat ia pun tidak ingin mengganggu Teira lebih lama lagi.

“Gue balik deh kak. Udah jam dua nih, lo juga tadi bilang bentar lagi jadwal breastfeeding Thea lagi kan? Gak mau melihat adegan dewasa gue.”

Teira terbahak mendengar ucapan Sagala.

“Lo kan juga udah sering melakukan adegan dewasa.”

“MANA ADA?!”

“Bayar pajak, bayar tagihan listrik, itu adegan dewasa tau. Tuh otak lo aja yang mikirnya kemana-mana” tawa Teira.

“Tck… Sialan.”

“By the way, you good?” tanya Teira.

Sagala mengedikkan bahunya.

“Manageable.”

“You know you can tell me anything kan, Wen? Gue tahu masih ada hal-hal yang lo nggak bisa cerita ke gue, terutama tentang Rena. I’m okay with that as long as lo punya tempat untuk cerita. Sebagai kakak lo, gue kecewa sama keputusan lo apapun itu alasannya. Gue juga kecewa lo milih kabur dari masalah. Tapi bukan berarti gue benci lo atau bahkan ngusir lo dari kehidupan gue. Jangan ngejauh ya, Wen.”

Sagala menghela napasnya, “Gasuka nih mulai deep talk gini, malu gue kalau nanti nangis depan Thea. Udah ah gue balik aja.”

Sagala bangkit dari sofa yang ia tempati, kemudian mengelus kepala Thea satu kali. “See you next time Thea.”

“Wen gue serius ya sama ucapan gue. Lo masih punya keluarga disini, ada gue, Sashi, Yesha. Even my family is your family too. Bokap gue juga udah anggep lo kayak anaknya sendiri. Dia bolak balik nanyain lo tuh.”

“Iya ntar gue mampir ke rumah Pak Ares deh. Tapi nggak mau diceramahin ya gue.”

Teira terkekeh, “Yang itu nggak janji.”

Sagala memutar kedua bola matanya malas. Ia kemudian melambaikan tangannya dan meninggalkan ruangan Teira.

Tepat pada saat Sagala keluar dari ruangan Teira, ia terkejut karena melihat Rena keluar dari ruangan Sashi. Dibarengi dengan Sashi yang juga keluar dari ruangannya.

“Oh, Wen?”

“Hi, Sas, Ren.” senyum Sagala.

“Gue kira lo ada meeting?” lanjut Sagala.

“Iya, tadi terus ketemu Rena dan dia mau nitip barang buat Thea. Jadi sekalian deh.”

Sagala mengangguk canggung.

“Hmm, gue balik deh ya. See you next time.”

“Kamu mau aku anterin ke bawah Ren?” tanya Sashi.

Tentu saja Sagala juga mendengar pertanyaan tersebut. Kendati ia berkata bahwa ia akan pergi mendahului, namun faktanya Sagala masih berdiri canggung di depan pintu ruangan Teira.

“It’s fine, Sas. Aku bisa sendiri. See you ya.” jawab Rena dengan senyuman ke arah Sashi.

Rena berjalan ke arah elevator seakan-akan Sagala tidak ada di dekatnya. Ia melewati Sagala begitu saja.

“Uhm, bye Sas.”

“Apasih Wen, kaku amat. Kapan lo senggang, kabarin gue deh. Kita pergi berdua biar gak canggung aneh gini.” tawa Sashi.

Sagala mengangguk mengiyakan. Ia kemudian berlari ke arah elevator saat melihat pintu elevator terbuka.

Tentu saja perjalanan menuju lantai dasar menjadi sangat canggung di antara Rena dan Sagala. Mata Sagala berusaha untuk tidak menatap pantulan Rena di pintu elevator. Sagala sedikit mengumpat saat elevator yang mereka tumpangi ternyata berhenti berkali-kali di beberapa lantai.

Kini posisi Sagala berada di pojok elevator dengan Rena yang berdiri sedikit di depannya.

Sagala memperhatikan dandanan Rena hari ini yang menggunakan floral dress berwarna putih.

”Cantik” batin Sagala.

Namun secara tidak sengaja Sagala justru melihat hal yang tidak ia duga.

Tangan Sagala kemudian menarik Rena untuk berdiri lebih dekat dengannya. Rena kemudian mendesis terkejut dengan perlakuan Sagala. Ia dengan segera menoleh ke arah Sagala dan menatapnya tajam.

Akan tetapi Sagala dengan cepat kembali memutar tubuh Rena agar membelakangi dirinya.

“I’m so so sorry, aku nggak ada maksud buruk but…..kamu tembus Ren.” bisik Sagala.

Rena dengan cepat melirik ke arah Sagala, kemudian berusaha melihat ke arah yang dimaksud oleh Sagala. Wajah Rena berubah menjadi pucat pasi saat menyadari bahwa Sagala tidak berbohong.

“Let me help you, Ren.” bisik Sagala lagi.

Keduanya semakin terdorong ke dalam elevator. Membuat posisi Sagala dan Rena semakin berdekatan.

Saat mereka tiba di lantai dasar, Sagala terus berjalan di belakang Rena dengan jarak yang tidak terlalu jauh namun juga tidak terlalu dekat.

“Stop ngikutin aku!” desis Rena.

“Yeah? And then what? Let people see that? Please let me help. Aku nggak bisa lepas hoodie ku disini karena aku nggak pakai baju di dalamnya. But I have my blanket in my car. You can use that.”

Rena terdiam sejenak namun ia juga menyadari bahwa ia tidak mempunyai banyak pilihan saat ini.

Melihat Rena yang masih terdiam, Sagala kemudian kembali menuntun Rena untuk berjalan di depannya. Mengarahkan Rena menuju lift yang terhubung ke basement.

“Mobil aku di basement. I swear, kita cuma ambil selimutku terus kamu boleh pergi. I won’t follow you.”

Rena hanya bisa pasrah dan membiarkan Sagala untuk menuntunnya ke basement tempat dimana mobil Sagala terparkir.

Lagi-lagi keheningan melanda keduanya. Rena memilih untuk sibuk dengan ponselnya, sementara Sagala justru memperhatikan seluruh gerak gerik Rena yang berdiri di depannya.

Untungnya mobil Sagala terparkir tidak terlalu jauh dari lokasi elevator.

Sagala kemudian dengan cepat membuka pintu mobilnya dan mengambil selimut yang selalu ia simpan di mobilnya lalu memberikannya kepada Rena.

Sementara Rena berusaha melilitkan selimut Sagala ke pinggangnya, Sagala hanya bisa memandangi Rena.

“A-apa kabar Ren?” ucap Sagala berusaha memecah keheningan.

Amarah Rena kembali mencuat ketika mendengar pertanyaan Sagala. Ia menatap Sagala dengan tajam.

“Nggak usah sok akrab deh, ga. Kalau bukan karena terpaksa juga aku haram banget liat muka kamu.”

Mendengar ucapan Rena tersebut, Sagala merasa bahwa mungkin saat ini adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk meminta maaf kepada Rena.

Rena sudah terlalu membencinya. Sagala pun tahu ia pantas diperlakukan demikian.

“I’m so sorry, Ren. For everything I did.”

“Basi tau nggak? You don’t even mean it. Aku harap mulai hari ini kamu nggak usah hadir lagi di kehidupan aku. You can just disappear, I. DON’T. FUCKING. CARE. I. JUST. HOPE. YOU. WILL. NEVER. PLAY. WITH. SOMEONE. ELSE. FEELING. OR. YOU. BETTER. OFF. ALONE.” ucap Rena sembari memukul bahu kiri Sagala di setiap penggalan katanya.

Rena kemudian pergi meninggalkan Sagala tanpa memperdulikan bahwa kata-katanya tadi sangat menyakiti hati Sagala.

“I deserve that…. I deserve that….” ucap Sagala pada dirinya sendiri, sembari berusaha mengigit bibir bawahnya, mencoba menahan tangisnya.

Namun rupanya Sagala tidak sekuat itu.