26.
Kira-kira baru 30 menit Wening memberikan tumpangan pada Rena, namun rasanya ia sudah hampir mati sesak napas.
Biasanya yang menumpang mobil Wening sudah paham kalau Wening sangat anti dengan asap rokok maupun vape. Sayangnya kali ini yang menumpang murni orang asing yang tidak mengenali Wening. Ditambah lagi status Rena sebagai kliennya, Wening agak ragu untuk menegur wanita yang duduk di sebelahnya.
“Uhm…sorry banget nih. Beneran sorry banget, bisa nggak berhenti ngevape? Bukan nge judge atau gimana, tapi driver kamu sekarang punya penyakit asma.” ujar Wening yang akhirnya memberanikan diri untuk membuka suara.
Rena menolehkan kepalanya ke arah Wening. Lagi-lagi dalam diam, namun ia mengangguk dan memasukkan vape miliknya ke dalam tas.
“Sorry.”
Wening hanya menganggukkan kepalanya singkat.
Selebihnya keheningan kembali tercipta.
Bahkan Wening yang biasanya memutar lagu sembari berkendara, kini hanya diam seribu bahasa. Entah mengapa berada di dekat Rena membuat dirinya sangat canggung.
Wening sangat bersyukur hari ini ia memilih membawa Evy, mobil listrik mungil miliknya itu. Setidaknya ia bisa dengan sigap menyelip disini dan disana, cukup mempersingkat waktu.
“Kenal Kak Teira dari kapan?” tanya Rena tiba-tiba.
“Kuliah.”
“Kenapa tiba-tiba mau masuk tim? Dijanjiin apa sama Kak Teira?” cecar Rena lagi.
Wening melirik Rena sejenak.
“Abis kesambet di kuburan, dapet wangsit. Udah alasannya itu aja.”
Kini ganti Rena yang menatap ke arah Wening dengan pandangan aneh. Ia yakin tadi ia tidak salah dengar ucapan Senior Lawyer yang ada di sebelahnya.
“Nggak percaya?” tanya Wening yang mulai merasa kikuk karena ditatap lekat oleh Rena.
“Lebih tepatnya bingung harus percaya atau nggak, sama-sama gila aja.”
“Percaya aja, saya bisa liat kuntilanak. Di ruangan kak Tei ada tuh.” ujar Wening asal. Kalaupun Rena tiba-tiba bertanya serius, maka ia akan menjual cerita Meira kepada Rena.
Nyatanya Rena malas menanggapi celotehan gila Wening. Ia akhirnya hanya mengendikkan bahunya.
Sementara itu, tanpa disadari Rena, Wening beberapa kali sengaja melirik ke arah sang model. Ia cukup terganggu dengan kaki Rena yang terus bergerak resah. Wening juga menangkap basah Rena yang beberapa kali menggigit bibir bawahnya.
“Ini orang resah satu mobil sama gue atau kebelet pipis sih?” batin Wening.
Untungnya, Wening melihat logo mini market yang buka 24 jam. Ia kemudian berinisiatif untuk berhenti sejenak, barangkali Rena benar-benar butuh ke toilet pikirnya.
“Mampir bentar ya. Kalo mau ke toilet bisa tuh.” ujar Wening tanpa menunggu respon Rena.
Pemilik mobil mungil tersebut sudah pergi meninggalkan sang penumpang yang harus melongo ditinggal sendirian.
Melihat kondisinya cukup ramai, Rena tidak mau mengambil risiko dengan keluar mobil. Akhirnya ia memilih menunggu Wening di dalam mobil mungil tersebut.
Rasa penasaran Rena terhadap pengacaranya itu membuat ia memutar badannya dan mengintip ke kursi belakang. Ia sedikit termenung saat melihat selimut bayi, bantal bayi dan boneka berbentuk kucing tersemat dengan manis di kursi penumpang.
“Sagala udah punya anak?”
Tidak sampai lima menit, Wening sudah kembali. Membuat Rena belum sempat menginspeksi isi mobil Wening lebih lanjut.
“Nggak ke toilet?” tanya Wening.
“Siapa yang mau ke toilet sih?” balas Rena.
Wening kembali mengendikkan bahunya. Ia kemudian melajukan mobil mungilnya ke jalan raya.
“Boleh gak jendelanya dibuka aja, mau ngevape bentar.” tanya Rena setelah mereka sudah menempuh 20 menit perjalanan dari mini market tadi.
Wening tidak langsung menjawab Rena. Ia justru merogoh kantung belanjaannya dan menyodorkan sebuah permen susu.
“Jangan ngevape ya, gak baik buat kesehatan. Probabilitas kena kanker paru-paru jadi semakin tinggi, dan kamu bisa bikin saya juga ikutan kena kanker.”