262.
Rena membanting pintu rumahnya cukup keras ketika ia tiba di rumahnya.
Mukanya merah padam, menahan amarah. Setelah pertengkarannya dengan Sagala tadi, ia langsung meninggalkan area GBK menggunakan taksi seadanya yang bisa ia temukan di dekat area perhotelan.
Anta yang sedang berada di ruang keluarga mengubah arah pandangannya yang semula membaca koran pagi melalui gawainya kini menatap putrinya.
“Kamu pulang-pulang marah-marah gini tuh kenapa sih?”
Rena tidak menjawab pertanyaan papanya sama sekali. Memilih untuk menaiki anak tangga rumahnya menuju ke kamar tidurnya.
Melihat kondisi Rena yang pulang dalam keadaan tidak baik, Anta kemudian memilih untuk mengikuti putrinya.
Dua tahun ke belakang ia memang berusaha untuk memperbaiki hubungannya dengan Rena. Sedikit tertatih-tatih di awal, namun perlahan Anta mulai menemukan ritmenya. Begitu pula dengan Yona, yang mungkin sedikit lebih beruntung dibandingkan Anta karena terbantu dengan kehadiran Acel.
Anta mengetuk pintu kamar Rena dua kali sebelum ia kemudian memasuki kamar putrinya. Ia mendapati putrinya sedang membasuh wajahnya di wastafel kamar mandinya, berusaha untuk meredam amarahnya.
Anta menarik kursi meja rias milik putrinya lalu duduk disana sembari mengamati Rena.
“Papa diem.” ucap Rena yang keluar dari kamar mandi dengan wajah yang tertutupi oleh handuk kecil.
“Papa nggak ngomong apa-apa?” ucap Anta sembari mengangkat kedua tangannya.
Rena melempar handuk yang ia gunakan ke dalam keranjang pakaian kotor. Ia kemudian memasuki walk-in closetnya untuk berganti pakaian.
Anta yang tengah menunggu Rena dengan sabar terperanjat kaget ketika ia mendengar Rena yang tiba-tiba berteriak kesal.
“SAGALA FUCK YOU!”
“RENATA! Papa punya penyakit jantung tau!” balas Anta yang memegang dadanya sedikit terkejut.
“PAPA DIEM!”
“Kok jadi galakan kamu?!” protes Anta.
Rena memutar kedua bola matanya malas, ia tahu papanya hanya melebih-lebihkan.
Lima menit Rena habiskan waktunya di dalam walk-in closet miliknya sembari berjalan mondar-mandir, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Tepat pada saat ia keluar dari walk-in closet miliknya, ia melihat papanya duduk bersedekap di depan meja riasnya.
“Duduk, Ren.” ucap Anta menyuruh putrinya untuk duduk di kasurnya.
“Pa, aku udah gede ya. Kalau papa lupa, umurku udah tiga puluh enam tahun ini, plus udah melewati satu kali perceraian. Nggak mempan kalau papa mau dudukin aku kayak dulu pas aku masih SD.”
“Tapi tantrum kamu persis kayak kamu waktu SD.”
Rena mengabaikan ucapan papanya. Lebih memilih untuk menjatuhkan dirinya di kasur miliknya dan memejamkan kedua matanya.
“Kenapa lagi Sagala?” tanya Anta.
“Stop sebut nama dia!”
“Barusan kamu sendiri yang neriakin nama dia.” ucap Anta menggoda Rena.
“Aaarghhhh! I hate her so much!”
Anta terkekeh, “You did not.”
“Shut up, pa!”
“You didn’t cry that hard for her if you hated her, Ren.” lanjut Anta.
Rena menarik bantal tidurnya menutupi wajahnya.
“I hate her so much, pa. I hate how she played me. I hate how even two years after dia pergi gitu aja, I still–.....”
“You still like her.” ucap Anta menyelesaikan kalimat Rena.
Anta menghela napasnya panjang, “Sagala will definitely be mad at papa for this but, she never leave Ren. She never leave you.”
Ucapan Anta membuat napas Rena tercekat.
“W-what do you mean?”
Anta kemudian merogoh ponselnya dan melemparnya ke kasur Rena.
“Password papa masih sama, tanggal lahir mama kamu. Cari aja chat papa sama Sagala, semua terecord dengan baik selama dua tahun.”
“Pa, your daughter is literally in a mess dan papa nyuruh aku buka chat papa, ngescroll satu-satu chat selama dua tahun?”
“Alright, alright….where to start ya….” Anta mencoba mengingat-ingat kembali.
“W-wait… Papa sama Sagala kontakan selama ini?!” potong Rena yang tiba-tiba menyadari hal ini.
Anta mengangguk. “Bahkan sebelum putusan cerai kamu keluar.”
“What? How? You never met her. Well once, but that didn’t count. Waktu aku mau ke puncak, papa sama Sagala cuma ngobrol bare minimum?”
“Sagala yang kontak papa duluan, habis kamu hampir dirampok itu. Sagala yakin itu perbuatan Azkan, karena Azkan ngerasa terpojok sama bukti-bukti yang didapat sama timnya Teira. Sagala minta dua hal ke papa. Pertama, dia minta agar papa usaha lebih untuk bisa perbaikin hubungan papa sama kamu. Kedua dia minta papa untuk perketat keamanan kamu selama satu tahun setelah putusan perceraian kamu keluar.”
Rena terdiam, walaupun Anta tidak bisa melihat wajah Rena karena masih tertutupi oleh bantal, namun Anta tahu putrinya masih mendengarnya.
“Kamu ngerasa ada yang aneh nggak? Nggak terlalu lama sebelum putusan cerai kamu keluar, keluarganya Azkan kena pemeriksaan atas dugaan kasus korupsi?”
“Weird but well, not my business anymore.” jawab Rena singkat.
“That’s Sagala’s work. Walaupun di pemberitaan semua bilang ada anonim whistleblower, tapi itu Sagala. Dia tahu Azkan bakal terus ngusik kamu selama Azkan punya power dari keluarganya–....”
“Papa kan juga punya power, don’t sugar coat it.”
“Ren, jangan naif. Uang aja masih kalah sama orang-orang yang punya kekuasaan.”
“Papa nggak tau gimana Sagala bisa dapetin bukti-bukti krusial di kementerian. Tapi yang jelas korupsi-korupsi orangtuanya Azkan semua kebongkar, kamu sendiri yang liat di berita. Ditambah pemberitaan di media tentang perselingkuhannya Azkan yang ke blow-up dimana-mana juga bagian dari kerjaannya Sagala, ini papa konfirm sendiri ke Ares.”
Ponsel milik Anta berdering, menghentikan pembicaraannya dengan Rena.
Anta berdiri untuk mengambil ponselnya yang kini menampilkan nama Sagala di layar.
“Sagala telpon papa, pasti dia mau tanya kamu udah di rumah atau belum. Mau papa loud speaker?” tawar Anta.
Rena melempar bantal yang menutupi wajahnya ke sembarang arah.
“Aku nggak butuh curi denger kayak gini lagi. Aku butuhnya denger langsung dari mulut dia. Aku nggak butuh dia yang masih jadi pengecut kayak gini.”
“Fair enough, but pesan papa satu, papa nggak tau apa yang terjadi di antara kalian, but whenever you are ready, coba dengar alasan dia. Papa juga dulu menghindar dari kamu dan jadi pengecut karena papa ngerasa bersalah sama kamu. Alasan cliche, papa tau, tapi emang gitu adanya Ren. It’s hard to explain.”
Anta menepuk kaki Rena, ia kemudian keluar dari kamar Rena tepat saat ponselnya kembali berdering.
“Halo, Sagala?”