294.

“Pagi bibi!”

“Eh pagi mba. Aduuh itu tangannya gimana?”

“Ini? Gatel aja sih bi. Sebenernya tanganku nggak kenapa-kenapa, lebay aja dokternya. Eh, bi ruang makan yang mana ya?”

Anta menggeleng menahan tawa mendengar percakapan Sagala yang terdengar dari ruang makan. Pasalnya Sagala saat itu berada tak jauh dari ruangan dimana Anta dan Rena sudah menyantap sarapan mereka.

“Sini Sagala!” panggil Anta.

Tak lama kemudian Sagala datang dengan wajah sumringahnya.

“Pagi Om!”

“Halo, Rena.”

Rena hanya mengangguk, namun ia sama sekali tidak menghentikan aktivitasnya. Tangannya masih memotong sandwich buatannya yang belum sempat ia potong kecil-kecil.

“Sini….sini….. Kamu duduk situ sebelah Rena.”

Sagala mengangguk. Namun tangannya yang tadinya hendak menarik kursi di sebelah Rena terhenti ketika ia mendengarkan ucapan Rena.

“Pa, ngapain sih? Itu kan kosong?” ucap Rena kesal.

Meja makan di ruangan itu berkapasitas enam orang. Masing-masing satu kursi di sisi ujung kanan dan kiri. Lalu ada masing-masing dua kursi berhadapan. Anta sebagai kepala rumah tangga selalu menempati sisi ujung.

Biasanya Rena dan Yona akan duduk di kanan dan kiri Anta.

Karena ini pula Rena melayangkan protes. Biasanya Anta tidak pernah mengatur letak duduknya dan kakaknya.

“Kepala papa tengeng ini, salah bantal. Nggak bisa noleh ke kanan. Jadi Sagala duduk sebelah kamu aja.” balas Anta.

“Udah duduk situ aja Sagala.” lanjut Anta.

“O-okay Om….”

“Itu sarapan kamu ya. Udah dipotong kecil-kecil biar gampang makan pakai tangan kiri. Kamu nggak kidal kan soalnya?”

“Wah, makasih ya om dibantuin.” senyum Sagala.

Sejujurnya Sagala mulai merasakan keterbatasannya yang disebabkan oleh tangan kanannya yang masih diperban.

Ia kini kesulitan untuk menyetir, kesulitan mengambil barang-barangnya, kesulitan mengetik pesan, kesulitan mandi, bahkan perkara menarik kursi pun jadi sedikit menambah beban.

Awalnya Sagala cukup kebingungan bagaimana caranya ia makan dengan tangan kiri. Namun kini ia lega saat melihat bahwa nampaknya dengan sandwich yang sudah dipotong kecil-kecil seperti ini bisa mempermudah hidupnya.

“Bilang makasihnya ke Rena. Yang motongin dia.” ujar Anta.

“Bibi yang motong.” potong Rena cepat.

Tepat pada saat Rena menyelesaikan kalimatnya, asisten rumah tangga yang dimaksud oleh Rena memasuki ruang makan untuk menaruh jus jeruk pesanan Anta.

“Lho, bibi kan motong karena disuruh mba Rena. Kenapa pak? Ini saya kekecilan ya motongnya? Tadi kata mba Rena disuruh potong kecil-kecil kayak buat Acel pak.”

Anta menahan tawanya yang sudah berada di ujung bibirnya.

Entah ia harus tertawa karena Rena tertangkap basah menyiapkan sarapan untuk Sagala atau justru ia harus tertawa karena Rena mempersamakan Sagala dengan Acel.

Sementara itu mulut Sagala menganga saat mendengar ucapan asisten rumah tangga barusan.

“Renaaaa! Aku bukan anak kecil kayak Acel!” protes Sagala.

Yang dipanggil kemudian menghela napasnya, lalu menolehkan kepalanya ke arah Sagala.

“Bisa diem? Jangan nambahin masalah. Makan tuh makan aja, nggak usah sambil ngomong. Keselek baru tau rasa.”

Anta kemudian memberikan kode pada Sagala untuk menuruti ucapan Rena. Ia tahu persis bahwa lebih baik untuk tidak menguji kesabaran putri bungsunya di pagi hari.

Urusannya bisa panjang. Bahkan mungkin bisa berlarut hingga esok hari.

“Hari ini mau ngapain, Ren?” tanya Anta disela-sela sarapan mereka.

“Mau ketemu mitra kerja, pa. Mau tanda tangan perjanjian.”

Ucapan Rena menarik minat Sagala. Namun ia tahu bahwa saat ini ia hanyalah outsider yang sudah ketinggalan banyak berita. Akhirnya Sagala memilih untuk mencuri dengar sembari memahami alur pembicaraan antara Rena dan Anta.

“Oh, yang kamu nyari vendor itu ya? Apa sih? Yang vendor IT nya atau vendor apparelnya hari ini?”

“Vendor apparelnya. Kalau vendor IT aku minta tolong ke Selene untuk minta bantuan Mahen, since dia pasti lebih paham.”

“Oh ya bagus lah kalau gitu. Hari ini tinggal tanda tangan aja?”

“Iya. Kemarin juga kan udah direview sama Sashi.”

Sagala berhenti makan sejenak.

“Mau aku bantuin review sekali lagi nggak? Free of charge” tanya Sagala secara spontan dibalut dengan candaan.

“Nah bagus itu Ren? Mumpung gratis?” tawa Anta.

“Nggak. Semua dokumennya udah selesai proses review. Hari ini tinggal tanda tangan.”

Sagala mengedikkan bahunya. Usahanya gagal, mungkin bisa coba lagi lain waktu.

Sementara itu Anta meneguk jus jeruknya sambil melihat ke arah putri bungsunya.

“Yah, papa sih cuma kasih saran aja. Siapa tau ada yang terlewat. Nanti Sashi ikut?”

Rena menggeleng, “Nggak lah pa. Sashi kan juga cuma bantu-bantu aja, usaha ini kan tanggung jawab aku dan Selene.”

“Atau gimana kamu ajak aja Sagala hari ini. Siapa tau kamu butuh bantuan Sagala dari sisi hukum.”

“Boleh banget, Ren. Daripada aku sendirian di rumah kamu gini. Maklum pengangguran.”

Rena tidak menggubris ucapan Sagala. Ia kembali melanjutkan menyantap sarapan paginya.

“Nah itu kalau dia diem tandanya iya tuh.” ucap Anta yang dibalas dengan tatapan tajam dari Rena.

“Pa…” ucap Rena memperingati papanya untuk tidak membuat dirinya semakin kesal.

“Sekali ini aja Rena. Ini proyek besar pertama kamu dan Selene lho. Jangan sampai salah pilih vendornya. Percaya papa deh. Kan jadi pengusaha gini papa udah puluhan tahun, Ren. Ngasih makan kamu sama kakak kamu aja ya dari duit jadi pengusaha itu.”

Rena menghela napasnya panjang.

Ia kemudian menaruh garpu dan pisau yang ia gunakan dengan sedikit dihentak.

“Tiga puluh menit lagi aku mau berangkat. Supir papa aku pake. Terserah deh papa mau ke kantor naik apa.”

Rena kemudian meninggalkan ruang makan. Menyisakan keheningan bagi Sagala yang tidak mampu berkata-kata sedikit pun.

“O-om maaf ya jadi nggak enak suasananya….”

Sagala cukup terkejut ketika Anta justru tersenyum lebar ke arahnya.

“Cepetan dihabisin itu makanannya! Tadi tuh Rena ngasih tau ke kamu kalau dia berangkat tiga puluh menit lagi!”