303.
(part 1)
Irene menguap cukup lama saat ia membaca dokumen demi dokumen melalui layar komputer miliknya. Matanya mulai lelah. Sejujurnya ia pun semalam tidak sempat tidur karena ia ikut begadang bersama dengan Wendy, hanya saja bedanya Irene begadang di ruang tengah apartemen untuk menyelesaikan beberapa pending job laporan kantor sedangkan Wendy menyelesaikan sample lagu yang ia unggah ke media sosialnya.
Irene memang sengaja mengerjakan itu semua di ruang tengah dengan harapan akan bertemu Wendy saat sang pemilik apartemen keluar dari studio musiknya, entah untuk minum atau ke kamar mandi. Namun rupanya hingga ia tertidur untuk beberapa jam bahkan hingga ia berangkat kantor, ia sama sekali tidak melihat sosok Wendy.
Sebenarnya Irene sempat berpikiran untuk mengintip sedikit ke dalam kamar Wendy, hanya untuk mengetahui keadaan Wendy serta melihat wajahnya. Namun ia mengurungkan niatnya dan masih menepati janjinya untuk tidak menyentuh kamar Wendy dan studio musiknya.
Alhasil, Irene sama sekali tidak bertemu Wendy sejak kepulangan mereka dari rumah keluarganya.
Irene hendak menguap kembali tetapi ketukan di pintu ruangannya membuat Irene terpaksa untuk mengurungkan niatnya.
“Ya?”
Mata Irene menatap lurus ke arah pintu masuk dan menemukan sosok Minjeong yang ragu-ragu untuk masuk ke ruang kerja tersebut.
“Uh...I-itu…”
“Minjeong, saya tadi udah siap-siap mau menguap tapi kamu ketuk pintu saya. Ini saya ngantuk banget, kamu tau sendiri kalau saya ngantuk suka jadi nggak sabar, ada apa?” tanya Irene pada Minjeong.
“A-ada tamu... Tapi aku nggak inget pernah setting meeting hari ini bahkan aku nggak pernah liat ada nama mereka minta ketemu.” ujar Minjeong terbata, bibirnya mengerucut kesal.
Irene memejamkan matanya, Minjeong merupakan adik tingkat cukup jauh di kampusnya sekaligus sekretaris magang yang baru bekerja dengannya selama beberapa bulan. Irene tahu betul kalau Minjeong merupakan orang yang sangat terorganisir dan rapi jadi Irene yakin kalau Minjeong tidak berbohong atas ucapannya itu.
Gadis yang baru saja lulus kuliah itu berdiri dengan resah di depan Irene, tangannya meremas ujung blazer yang ia kenakan.
“Johnny kemana?” ujar Irene menanyakan keberadaan private assistantnya sekaligus atasan Minjeong.
“Itu, kak Johnny tadi kan disuruh ikut sama kak Jennie?”
Irene menghela napasnya, ia lupa kalau dirinya sendiri yang menugaskan Jennie dan Johnny untuk menghadiri panggilan kejaksaan.
“Minjeong, kayaknya Johnny lupa ngajarin kamu ya. Nggak apa-apa, tapi ini dijadiin pelajaran ya. Lain kali kalau ada tamu yang maksa ketemu saya tapi belum bikin janji, bilang aja saya nggak ada di kantor, okay?”
Minjeong mengangguk cepat. “O-okay, maaf ya kak?”
Irene tersenyum lalu menganggukkan kepalanya. “Kamu keceplosan lagi manggil saya, Jennie, dan Johnny pakai kak. Ini kantor ya Minjeong.”
“Astaga! Iya maaf! Aduh aku tuh kebiasaan gara-gara di kampus!” ujar Minjeong menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun ia kembali menyadari bahwa dirinya lagi-lagi berbicara informal dengan Irene, ia buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Irene tertawa, ia menggelengkan kepalanya. “Yaudah tamunya sekarang dimana?”
“Ada di ruang tunggu. Aku, eh saya minta pulang saja atau gimana ya ka-... eh Nona Bae?”
“Suruh masuk aja, siapa ya tamunya?”
“Tadi beliau bilang namanya Do Jin Ae dari News Today.”
Irene tidak menyangka akan mendengar nama tersebut keluar dari mulut Minjeong. Sorot matanya berubah drastis, ia kini menatap Minjeong dengan serius yang membuat Minjeong terkejut. Ia tadi tidak salah dengar bukan?
“Tadi siapa namanya?”
“Do Jin Ae.”
“Kamu yakin?”
Minjeong mengangguk cepat. “Aku gak salah denger kok! Ingatanku juga kuat, aku yakin!”
“Minta beliau masuk ruangan saya sekarang. Jangan ada yang boleh masuk ruangan saya sampai saya izinin, jelas?”
Minjeong kembali mengangguk, “O-okay.”
Setelah Nyonya Do memasuki ruang kerja pribadi Irene, keduanya belum bertukar pembicaraan selain basa-basi saat Irene menanyakan preferensi Nyonya Do terhadap makanan atau minuman yang akan disajikan.
Bola mata Irene hanya bisa mengikuti gerak-gerik Ibu dari Wendy yang sedari tadi mengamati seisi ruang kerja Irene. Ia kemudian berdiri memandang ke arah jendela kaca yang menghadap ke arah jalan raya. Dari ruangan tersebut, orang-orang yang berlalu lalang di jalan raya terlihat seperti semut bahkan mobil yang berlalu lalang pun hanya terlihat seperti balok lego.
“Joohyun? Atau saya panggil Irene?” ujar Nyonya Do memecah keheningan.
“Keluarga saya selalu panggil saya Joohyun, tapi untuk urusan bisnis saya dipanggil Irene. Tergantung saat ini anda kesini sebagai Ibu dari Seungwan atau calon rekan bisnis saya.”
Nyonya Do tersenyum mendengar jawaban Irene. Ia berhenti memandangi pemandangan Ibu kota dan beranjak ke deretan sofa yang terletak tepat di depan meja kerja Irene.
Ia kemudian duduk di sofa yang terletak di sisi kanan dari tempat Irene duduk.
“Saya tau kamu menyuruh orang untuk mencari saya. Pertanyaannya untuk apa?” tanya Nyonya Do.
“Seungwan.” jawab Irene singkat.
Irene menangkap adanya perubahan ekspresi saat ia menyebutkan nama Seungwan, namun Nyonya Do dengan cepat mengembalikan ekspresinya seperti semula.
“Why?”
“Alasan yang sama seperti alasan kenapa selama ini Anda selalu ada untuk Seungwan tanpa sepengetahuan Seungwan.”
Nyonya Do tersenyum ke arah Irene saat ia mendengar jawaban Irene barusan.
“Fair enough. Lalu sekarang saat kamu sudah bisa ketemu saya, kamu mau apa, Joohyun?”
Irene melunak saat ia mendengar Nyonya Do memanggilnya dengan sebutan Joohyun.
“Saya punya banyak sekali pertanyaan tapi yang paling ingin saya sampaikan untuk saat ini, saya ingin meminta anda untuk kembali bersama dengan Seungwan. Saya tidak paham kenapa anda harus bersembunyi-sembunyi seperti ini hanya untuk memperhatikan anak anda sendiri?”
“Nggak semudah itu Joohyun. Keluarga saya terlalu complicated.”
“Kalau begitu, setidaknya buat Seungwan paham. Anda tau keadaan Seungwan kan? Ia yang harus menanggung akibat dari apa yang anda dan Tuan Son lakukan di masa lalu.”
“Joohyun, apa kamu yakin kalau Seungwan tahu semuanya justru ia akan jauh lebih baik?”
“Maksud anda?”
Nyonya Do tersenyum getir. Ia membuka tas yang sedari tadi ia bawa dan menyerahkan sebuah map kepada Irene.
Di dalam map itu Irene temukan beberapa surat-surat penting.
Akta kelahiran Seungwan, 21 Februari 1994.
Akta pernikahan Nyonya Do dengan Tuan Son, 1 Agustus 1993.
Medical Record Nyonya Do, uterine cancer, histerektomi. 25 Desember 1993.
Yang terakhir adalah foto-foto Tuan Son saat muda dengan seseorang perempuan yang dapat Irene kenali dengan baik.
“I-Ini….”
“Saya dan mantan suami saya juga berawal dari perjodohan seperti kamu dan Seungwan. Sejak awal saya tahu kalau mantan suami saya sudah memiliki pasangan jauh sebelum bertunangan dengan saya, tentu saja hal ini membuat saya berniat untuk menolak perjodohan kami. Namun ia waktu itu mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan perjodohan kami dan telah memutuskan hubungannya yang terdahulu. Saya percaya dengan ucapannya. Kemudian kami melanjutkan pertunangan kami ke jenjang yang lebih serius, pernikahan. Baru beberapa bulan kami menikah, saya divonis mengidap kanker rahim dan akhirnya rahim saya harus diangkat.”
“T-tapi ini?” Irene mengerjapkan matanya.
Otak Joohyun dengan cepat melakukan kalkulasi-kalkulasi sedangkan matanya berulang kali mengecek surat-surat yang ada di tangannya.
“Seungwan bukan anak saya, Joohyun. Darah saya sama sekali tidak ada yang mengalir di Seungwan. Saya ingat betul, waktu itu di bulan februari tahun itu masih bersalju. Ditengah hujan salju itu mantan suami saya pulang dengan membawa seorang anak bayi, Seungwan. Ia berlutut di hadapan saya, mengakui bahwa ia telah menghamili orang lain dan memohon pada saya untuk menerima Seungwan. Ia mengaku bahwa ia sama sekali tidak tahu bahwa saat kami menikah, ada seorang perempuan yang tengah mengandung anaknya. Saya sangat kalut saat itu, tapi saat saya melihat mata Seungwan, hati saya luluh. Akhirnya saya memilih untuk menerima Seungwan. Kemudian kami sekeluarga pindah ke Kanada untuk sementara waktu, agar orang-orang tidak ada yang curiga dengan kehadiran Seungwan di keluarga kami secara tiba-tiba.”
“O-orang itu? Mrs. Kathrine? Ibu kandung Seungwan Mrs. Kathrine?” tanya Irene tidak percaya.
Nyonya Do mengangguk.
“7 tahun saya menikah dengan mantan suami saya dan selama 7 tahun itu pula saya diselingkuhi. Ada alasan kenapa Seungwan sangat menyukai musik, dulu setiap kami bertengkar Seungwan selalu mengurung dirinya di kamar dan memainkan lagu-lagu kesukaan saya.” Nyonya Do menatap jauh seakan ia sedang menyesali perbuatannya dulu.
“Saya yang mengajarkan Seungwan beberapa alat musik. Ingin rasanya saya pamer pada dunia bahwa Wendy Son yang selalu di elu-elukan adalah anak saya, saya yang mengenalkannya pada musik. Tapi saya tau, saya sudah hilang dari kehidupannya sejak lama dan saya menyesali hal itu. Kalau saja dulu saya berjuang lebih keras untuk Seungwan, mungkin saat ini tidak begini jadinya. Maybe she’s her father’s daughter but she is mine too.” Nyonya Do menyeka air mata yang turun membasahi pipinya.
Irene berpindah tempat duduk ke sebelah Nyonya Do dan menawarkan tisu bagi Ibu dari Wendy tersebut.
“Tapi selama ini Seungwan justru berpikir bahwa anda yang tidak mau menemuinya. Bahkan alasan kenapa ia memilih untuk menjadi penyanyi seperti sekarang ini karena Seungwan ingin anda bisa lihat dirinya di televisi atau media lainnya. She just wants you to know that she’s still alive and well.” ujar Irene.
“Saya selalu ingin bertemu Seungwan, tetapi ada batasan batasan yang harus saya ikuti. Dulu saya sempat mengajukan hak asuh untuk Seungwan tapi pengadilan mengalahkan saya.”
Irene hanya bisa terkejut dengan penuturan Nyonya Do. Kepalanya serasa ingin pecah. Bagaimana mungkin ia harus menyampaikan ini semua pada Seungwan? Bahkan Seungwan pun tidak tahu kalau selama ini tanpa sepengetahuannya Irene sudah melakukan investigasi-investigasi untuk mencari sosok ibunya itu.
Kini Irene paham mengapa nyonya Do selama ini selalu melindungi Seungwan dari jauh, karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk Seungwan.
“Tidak pernah satu waktu pun saya tidak memperhatikan Seungwan. Bahkan saat ia pindah ke Kanada pun, saya tetap mengikuti perkembangannya. Bahkan saat Seungwan harus bolak-balik masuk rumah sakit, saya juga ada disana.” ujar Nyonya Do.
“Saya tau segalanya tentang Seungwan, Joohyun. Saya tahu tentang hubungan kalian, saat kalian berdua pergi dari acara anniversary kantor kamu saya juga ada disana. Bahkan orang-orang saya yang waktu itu mengawasi kalian di beach house kamu. Saya hanya takut Seungwan kenapa-kenapa seperti dulu lagi. Saya juga tau hubungan Seungwan dengan adik sepupu kamu.”
“A-adik se-sepupu?”
“Dokter Park? Dokter Park Chaeyoung, dia adik sepupu kamu kan?”
Irene mengangguk, namun entah mengapa hatinya merasa tidak enak.
“Lagi-lagi saya harus berhutang budi sama keluarga kamu. Dulu belasan tahun Seungwan bertumpu pada Dokter Park, sejak mereka kecil mereka sudah berteman lalu mereka juga sempat menjalin hubungan seperti kamu dan Seungwan walaupun-....”
Pendengaran Irene seakan-akan menghilang begitu saja.
Tiba-tiba potongan demi potongan percakapannya dengan Seungwan selama ini memenuhi kepalanya.
Seungwan yang bercerita tentang cinta pertamanya.
Seungwan yang bercerita bahwa ia memiliki seseorang yang sangat spesial baginya.
Seungwan yang secara tidak langsung mengakui bahwa selama ini Joohyun masih berada di peringkat kedua dan ada sosok lain yang sudah menempati posisi pertama di hati Seungwan.
Lock-screen handphone Seungwan.
“Itu semua…...Ojé?” batin Irene.
Lamunan Irene buyar saat ia mendengar suara Jennie diikuti dengan suara barang terjatuh tepat di depan pintu ruang kerjanya.
“Wendy!! Lo ngapain sih nunggu di depan pintu gini? Masuk langsung aja kali?”
Kepala Irene menoleh dengan cepat dan menyadari bahwa sedari tadi pintu ruang kerjanya itu terbuka sedikit. Kemungkinan besar Wendy sudah berdiri di balik pintu ruang kerjanya dan mendengarkan percakapannya dengan Nyonya Do untuk waktu yang cukup lama.
“Loh? Wen? Kok lo lari? Woy ini rantang lo jatoh??”
Insting Irene menyuruhnya untuk segera berdiri dan mengejar Wendy yang sudah meninggalkan lantai itu dengan lift.
Irene dengan sigap mengambil ponselnya yang saat itu untung saja berada di saku blazernya. Ia menekan nomor Seulgi yang hanya dengan hitungan detik sudah diangkat oleh sang pemilik.
“Yes Ren?”
“Gi, turun ke lobby sekarang. Cegat Seungwan buat gue, please. Nyonya Do ada disini dan tadi Seungwan denger percakapan gue sama Nyonya Do.”
“W-what?”
“Kang Seulgi! Sekarang turun ke lobby, cegat Seungwan!”