306.
(part 1)
Irene menyandarkan tubuhnya pada dinding lift yang sedang membawanya naik menuju lantai apartemennya. Ia memejamkan matanya sembari sesekali menarik napasnya dalam-dalam.
Tangan kanannya masih menggenggam ponsel miliknya dengan layar yang masih menyala terang. Chat terakhirnya dengan Wendy masih menyesakkan hatinya.
“Tell me what should I do Seungwan.” ujar Irene entah pada siapa.
Lift yang digunakan Irene berbunyi dan lampu indikator menandakan bahwa ia telah sampai di tujuan. Irene berbelok ke arah kanan setelah ia keluar dari lift, menuju apartemen milik Wendy.
Ia membuka pintu apartemen dan terkejut saat mendapati keadaan apartemen tersebut gelap gulita. Semua lampu tidak menyala, kecuali lampu yang ada tepat di depan pintu masuk. Itu pun menyala karena Irene baru saja membuka pintu tersebut.
Aneh.
Biasanya kalaupun Wendy sudah tertidur terlebih dahulu, apartemen mereka tidak sesunyi dan segelap ini.
Kecuali kalau Wendy memang sejak awal tidak ada di apartemen.
Baru saja Irene hendak menelepon nomor Wendy, pintu apartemen tersebut kembali terbuka, kali ini dengan cukup kencang dan mengenai tubuh Irene.
“What the f-....” ucapan Wendy terhenti setelah ia sadar bahwa pintu tersebut mengenai Irene.
“W-welcome home…” sapa Irene pelan.
Situasinya menjadi benar-benar awkward. Irene sama sekali tidak mengira bahwa Wendy pergi tanpa mengabarinya dan baru pulang selarut ini.
Sedangkan Wendy tidak mengira bahwa Irene pulang lebih cepat dari dugaannya karena biasanya saat Irene mengatakan ia akan pulang larut malam, artinya ia akan pulang sekitar dini hari, paling cepat jam 2 pagi. Namun saat itu ‘baru’ pukul satu.
Wendy hanya berdeham pelan, tidak menggubris sapaan Irene. Ia berjalan lurus dan menaruh tas miliknya di sofa ruang tengah.
“Kamu habis dari mana Seungwan? Kenapa nggak ngabarin saya? Kita sudah janji kan untuk saling kirim kabar?” tanya Irene walau sebenarnya ia bisa menebak tempat apa yang baru saja Wendy kunjungi dari bau alkohol dan asap rokok yang masih menempel di tubuh Wendy.
Lagi-lagi Wendy hanya mendiamkan ucapan Irene. Kini ia berjalan ke arah dapur, sebisa mungkin ia tidak ingin menatap Irene. Sementara itu sang CEO justru berjalan mengikuti Wendy.
“Kamu udah makan belum?” tanya Irene yang tahu kebiasaan Wendy yang suka lupa makan malam.
“Gatau lupa.”
“Kamu minum lagi ya? Stop ngebahayain diri kamu Seungwan.” ujar Irene lagi, nada bicaranya mulai mengeras.
“Of course? Can’t you see this?”
Wendy menunjukkan gelas yang ia pegang yang berisikan air mineral. Lagi-lagi hanya ada nada dingin yang keluar dari Wendy.
“Bukan itu maksud saya and you know that Seungwan.”
Irene hanya bisa menghela napas panjang. Ia menyadari dengan jelas bahwa Wendy masih tidak ingin berbicara dengannya, bahkan untuk sekedar menatap dirinya pun Wendy enggan.
“Where do you wanna go? Why do you avoid me?” tanya Irene saat melihat gelagat Wendy yang hendak kabur begitu saja dan masuk ke kamar tidurnya.
“Tidur lah, emang kemana lagi. Gak ada yang ngehindar ya, gak usah terlalu pe-de.”
Irene diam untuk beberapa detik, berusaha untuk meredam emosinya.
“We need to talk, Seungwan.”
“No, we’re done talking. I’m tired.”
“We had a lot to talk about, Seungwan! Stop treating me like this!”
Irene yang pada dasarnya sudah lelah dengan pekerjaannya ditambah dengan sikap Wendy yang seperti ini, kali ini kehilangan kesabarannya.
Sementara itu, alih-alih merespon Irene, Wendy justru bersikap seakan-akan tidak ada masalah apapun.
Sebenarnya Wendy hanya takut pada dirinya sendiri, ia takut apabila mereka berbicara lagi seperti kemarin, ia justru akan mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakiti Irene.
Kalau saja saat ini keadaannya lebih tenang, kalau saja Wendy bisa berbicara jujur pada Irene, keadaannya akan jauh lebih baik dari pada ini. Komunikasi keduanya memang sedang ada di ambang paling buruk sejauh mereka mengenal satu sama lain.
“Later Ren, I’m tired.”
“Now I’m Irene to you huh? If you are tired, then saya apa Seungwan? Kamu kira saya juga nggak capek kayak gini terus? Stop being childish for ONCE! JUST ONCE!”
Ucapan Irene justru menyulut emosi Wendy.
“Childish?? Great now I’m childish? Siapa yang dari kemarin suka khawatir gak jelas, jealous gak jelas?! Also I’m not the one who stabbed the person you said you care the most behind her back.”
“Kamu mau berapa kali pakai alasan itu? Lagi pula kalau kamu memang mau bawa pembicaraan ini kesana, kamu juga bohong sama saya, kamu nggak pernah cerita ke saya tentang Chaeyoung. Tapi apa saya mempermasalahkan itu sekarang? Nggak kan?”
Irene diam sejenak.
“Kamu mau apa sih dari saya? What’s the point kamu memperlakukan saya kayak gini?” sambung Irene.
“We’re done talking. I’m tired.” ulang Wendy.
“TIRED? OF WHAT? OF ME? OF THE SITUATION? OF WHAT SEUNGWAN?” Irene kali ini benar-benar berteriak.
Wendy pun terkejut karena ini adalah nada tertinggi yang pernah Irene gunakan padanya. Ia membalikkan badannya menatap Irene dan disana ia melihat tatapan yang tidak pernah ia temukan dalam diri Irene.
Sedih, kecewa, marah.
“TELL ME WHAT SHOULD I DO SEUNGWAN, PLEASE TELL ME.”
“Nggak cuma kamu yang capek, saya juga capek Seungwan! Saya capek diperlakukan seperti ini! Saya capek sama kamu yang kayak gini, selalu kabur. We need to talk Seungwan! Kalau nggak ya kita cuma disini-sini aja. Saya nggak tau apa yang bikin kamu semarah ini sama saya and vice versa. It’s not healthy for us Seungwan!”
“or….do you want me to leave?” ujar Irene lirih.
“Is that what you want?”
“I’m asking you Seungwan. Do you want me to? Are we broken beyond repair?”
Wendy balik menatap Irene tepat di kedua bola matanya.
“It’s okay if you want to leave me, that’s what everyone else does anyway. Maybe this is really our end.” ucap Wendy.
Tangannya mengambil botol wine yang ada di wine cellar kemudian ia berjalan masuk ke kamarnya tanpa menggubris Irene lebih jauh.
Satu kalimat dari Wendy cukup menghancurkan isi hati Irene. Ia tidak mengira akan begini jadinya. Ia masih ingin bersama Wendy, ia masih ingin membantu Wendy dan berjuang bersama dengan sosok yang paling ia kasihi saat ini.
Namun tampaknya Wendy sudah benar-benar merelakan hubungan mereka.