306.
Rena menaruh ponselnya setelah ia mengirimkan pesan terakhir kepada Sagala, kemudian ia kembali menyunggingkan senyuman profesionalnya. Berusaha untuk kembali fokus dengan tujuan utamanya siang hari itu.
Hari itu Rena ditemani oleh Mahen.
Setelah hampir satu minggu yang lalu temuan Sagala cukup membuat heboh, akhirnya Rena dan Selene meminta agar lawfirm Teira mengambil-alih beberapa proyek vital yang sedang direncanakan oleh clothing line milik Rena dan Selene.
Kali ini Rena ingin memastikan apakah ide-idenya benar-benar dapat ditampung dengan benar. Sedangkan untuk urusan teknis, ia serahkan sepenuhnya kepada Mahen.
Mata Rena mengerjap beberapa kali saat melihat sosok Acel berjalan mondar-mandir ke arahnya sembari melambai-lambaikan tangannya. Namun tak lama kemudian Acel berlari meninggalkannya ke sisi lain dari cafe tersebut.
Rena berusaha keras untuk tetap fokus pada topik pembicaraan walau saat ini sesungguhnya ia antara ingin tertawa melihat Acel serta ingin mengomeli Sagala yang menggunakan Acel untuk memata-matai dirinya.
“Paling itu aja dari saya. Nanti dari tim kami akan kirim ulang proposalnya ke Ibu Rena dan Bapak Mahendra.”
Rena tersenyum mengiyakan. Ia kemudian menjabat tangan pria yang ada di hadapannya beserta tim kecil yang dibawa oleh pria tersebut.
Tak lama kemudian Acel kembali melesat ke arahnya, kali ini langsung menabrakkan tubuhnya ke arah Rena dan memeluk kaki Rena.
“Anteeeee!”
Melihat hal ini, pria yang tadi dicap ‘genit’ oleh Sagala sedikit mengernyitkan keningnya.
“Oh, bu Rena sudah punya anak? Saya kira masih single.”
Mahen hendak membela Rena namun ia sudah didahului oleh Rena yang tertawa pelan sembari mengelus kepala Acel.
“Iya, ini anak saya.”
“Oh gitu….. Saya nggak lihat ada cincin makanya juga ngira masih single. Awet muda banget sih auranya.”
Rena kembali tersenyum singkat walau dalam hatinya ia berharap bahwa pria ini bisa segera meninggalkan cafe tersebut agar ia tidak perlu berbasa-basi lebih lama lagi.
“Kalau gitu kami permisi ya Bu Rena, Pak Mahendra”.
Kali ini sebuah senyuman tulus penuh kelegaan diberikan oleh Rena yang kembali mengangguk dan mempersilakan pria tersebut pergi meninggalkan dirinya dan Mahen.
“Om gendong!” ucap Acel sembari melompat-lompat meminta digendong oleh Mahen yang tentu saja dipenuhi dengan segera oleh Mahen.
“Wah, kamu habis ngapain sih ini cel? Keringetan banget gini?”
“Main! Sama te aga!”
“Kak Sagala disini?” tanya Mahen.
“Aceeeel!”
Yang dipertanyakan oleh Mahen nyatanya datang dengan sendirinya. Sagala masih dengan tangan kanannya yang perlu dibebat untuk satu minggu dan tangan kirinya yang menjinjing tas sekolah milik Acel.
“Ini lho tas ditinggal-tinggal! Tas mahal ini cel!”
Mahen tertawa mendengar ucapan Sagala. Ia kemudian menatap Acel yang turut tertawa melihat tante Sagalanya mengomeli dirinya.
“Ren, makan ditempat lain yuk? Mahen lo nggak gue ajak.”
“Iya emang kalo lo ajak juga pasti gue tolak. Orang gue mau lunch sama Yesha.” balas Mahen dengan tawa.
“Kasih makan adek gue yang enak-enak. Awas aja lo gak kasih makanan empat sehat lima sempurna!”
Acel kembali rungsing dalam gendongan Mahen, kini ia justru meminta diturunkan karena ingin bersama dengan Rena.
“Anteee! Anteee! Aku lapeeer.”
“Okay… kita makan ya? Kamu mau makan apa? Steak mau?”
Pertanyaan Rena dibalas dengan anggukan mantap dari Acel.
“Gila ini bocah, kecil-kecil tasnya udah mahal gini, makan udah steak? Lo dulu juga gini hen?” bisik Sagala.
Sementara itu Mahen hanya menyengir ke arah Sagala.
“Salah sih gue nanya sama lo.”
“Lho? Ren? Rena! Aku kok ditinggal? Reeen!”
Dengan cepat Sagala menyusul Rena dan Acel yang sudah berjalan meninggalkan dirinya.
“Kak! Tas mahal nya nih!” goda Mahen saat melihat Sagala yang justru kini meninggalkan tas milik Acel.
Tentu saja langkah Sagala terhenti. Ia kembali mendatangi Mahen yang masih terbahak.
“Ah sialan itu bocah, ngerjain gue namanya!” gerutu Sagala.
“Namanya juga nyari restu kak! Jungkir balik kalau perlu!” tawa Mahen.
“Sialan! Lo curhat ke gue ya?!”