306

(part 2)

Wendy menutup pintu kamarnya dengan pelan dan menjatuhkan tas serta botol wine yang ia pegang sebelum akhirnya ia pun ikut terjatuh dan duduk dalam posisi bersandar pada pintu kamar.

Ia mengusap airmatanya yang tadi sudah jatuh terlebih dahulu saat ia berbicara dengan Irene.

“See? When I talk, I only hurt you Joohyun.” bisik Wendy. Ia memeluk kakinya yang terlipat di depan dadanya.

Namun saat Wendy memeluk kakinya, ia justru mencium bau alkohol dan rokok yang menempel pada dirinya yang sontak membuat dirinya jijik. Wendy pun memilih untuk berdiri, tangannya meraih botol wine yang tadi ia taruh kemudian ia berjalan ke arah kamar mandi. She wants to get rid of this smell.

Dengan kasar Wendy membuka botol wine tersebut and then she takes a swig right from the bottle sembari tangan satunya membuka kancing-kancing bajunya dengan tidak kalah kasar.

Ia melepaskan kemeja yang ia kenakan dan membuangnya entah kemana, yang jelas saat itu hanya ada satu tujuan di kepalanya yaitu segera menghilangkan bau tidak sedap dari badannya.

Wendy mengisi bath-tub dengan air hangat sebelum matanya tertuju pada kaca yang menyajikan pantulan dirinya malam itu. Ia melihat kantung mata yang semakin dalam, rambutnya yang cukup berantakan.

Pemandangan di depannya itu membuat ia menertawakan dirinya sendiri.

“No wonder no one stays with you.”

“No wonder Joohyun is tired of you.”

“You’re pathetic Son Seungwan.”


Irene menarik napasnya dalam-dalam sekali lagi. Ia masih berjalan mondar-mandir di depan pintu kamar Wendy. She’s nervous.

Setelah Irene membersihkan dirinya dan menghabiskan waktu hampir satu jam di dalam kamar mandi, ia merasa lebih fresh, figuratively and literally.

Ia juga sadar bahwa ucapannya sempat kelewatan apalagi sampai ia membentak Wendy seperti beberapa jam yang lalu. Terlebih ia sangat menyayangkan kalimat yang ia lontarkan pada Wendy.

“I shouldn’t ask her if she wants me to leave her or not.” rutuk Irene.

Dirinya ingat betul ucapan Ojé that Wendy needs support more than anything, tapi ia justru melakukan yang sebaliknya. Tidak seharusnya ia mempressure Wendy seperti tadi, pikir Irene.

Understandable, they’re both tired but Irene knows she should’ve reacted better.

Irene memeriksa kembali waktu saat itu, pukul tiga lebih tiga puluh dini hari. Bukan waktu yang wajar untuk berbincang namun ia benar-benar ingin meluruskan kesalahpahaman antara dirinya dan Wendy.

Jika untuk kesekian kalinya ia yang harus menurunkan egonya, maka Irene tidak akan keberatan asalkan ia bisa segera menyudahi keributan yang sudah berlangsung dua hari itu.

Irene menggigit bibirnya, ia berniat untuk mengetuk pintu kamar Wendy.

“What if she’s already sleeping?” pikir Irene.

Namun ia segera menggelengkan kepalanya, “It’s okay, mending gue coba dulu sekarang. What if she’s still awake, right? The sooner the better.”

Tentu saja, Irene Bae Joohyun, tidak akan mengingkari janjinya untuk tidak memasuki kamar tidur serta studio milik Wendy tanpa seizin pemiliknya. Perlahan Irene mengepalkan tangannya dan mengetuk pintu kamar Wendy beberapa kali.

”Here we go Joohyun” batin Irene

Lima, sepuluh menit berselang, Irene masih tak kunjung mendapatkan balasan.

”Well maybe she’s already fallen asleep.” ujar Irene dalam hatinya

Irene memejamkan matanya, ia cukup kecewa juga karena lagi-lagi pembicaraan serius mereka harus tertunda. Namun ditengah ia memejamkan matanya, indra pendengarannya justru menjadi lebih tajam.

Ia dapat mendengar suara air yang mengalir dengan samar-samar.

Sang CEO kemudian berpikir sejenak, apakah ada saluran air baik di dapur atau di kamar mandinya yang belum tertutup rapat. Namun Irene yakin bahwa ia sudah mematikan semua saluran air, kecuali yang ada di dalam kamar Wendy.

Entah kenapa tiba-tiba Irene menjadi was-was. Ia mengetuk pintu kamar Wendy sekali lagi.

“Seungwan, saya masuk ya. Sudah berkali-kali saya ketuk tapi nggak ada jawaban, saya bakal langsung keluar kalau kamu memang sudah tidur.” teriak Irene dengan harapan Wendy mendengarkannya dari balik pintu.

Secara hati-hati Irene memutar kenop pintu kemudian mengintip ke dalam kamar. Matanya mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya yang sangat minim di dalam kamar tidur tersebut.

Irene berekspektasi menemukan tubuh Wendy yang tertidur pulas namun nyatanya saat ia mulai beradaptasi dalam kegelapan, Irene tidak menemukan sosok Wendy di kasurnya.

Justru kasur tersebut masih sangat rapi seakan belum tersentuh.

Irene kemudian melihat tas Wendy yang tergeletak tak jauh dari pintu kamar kemudian kemeja dan pakaian-pakaian yang tadi Wendy kenakan berserakan di lantai, mengarah ke kamar mandi.

Ia juga baru menyadari bahwa ia mendengar suara musik dari arah kamar mandi. Lagu jazz, yang Irene kenali sebagai salah satu lagu yang paling sering Wendy putar ketika mereka berkendara.

“Seungwan? Kamu masih di kamar mandi? Saya masuk ya?” teriak Irene lagi sembari melangkah masuk dan tangannya menekan tombol untuk menghidupkan lampu kamar.

Baru saja kakinya melangkah masuk, Irene sudah dengan tidak sengaja menendang botol kaca hingga botol tersebut menggelinding dan berbenturan dengan botol kaca lainnya. Irene yang pada dasarnya mudah terkejut, secara tidak sengaja menjerit.

Kemudian ia menyadari bahwa botol yang ia tendang barusan adalah botol wine. Matanya menghitung ada sekitar tiga botol yang berserakan.

Irene mengambil botol-botol tersebut dengan kesal. Ia masih sangat tidak bisa menerima sifat Wendy yang suka mabuk-mabukan seperti itu, hal ini juga akan ia luruskan nanti.

”You can release your stress all you want but not by getting drunk. Mending kamu saya kenalin sama temen saya yang suka boxing.” gerutu Irene sembari membersihkan kamar tersebut.

Seusai Irene merapikan pakaian serta botol yang berserakan, Irene baru menyadari mengapa kamar mandi Wendy terlampau sunyi? Ia hanya bisa mendengar air yang mengalir dan suara musik. Namun ia sama sekali tidak mendengar suara Wendy atau bahkan suara lainnya.

Hanya air mengalir secara konstan.

Hati Irene tiba-tiba berdebar dengan kencang. Dengan cepat ia mengetuk pintu kamar mandi tersebut, “Seungwan, kamu bisa dengar saya? Kalau kamu baik-baik aja, jawab saya oke? Kalau nggak saya akan maksa masuk.”

Masih tidak ada jawaban.

“Alright Seungwan, it’s not funny. Saya masuk sekarang.”

Untungnya pintu kamar mandi tersebut tidak terkunci. Irene langsung menunduk, takut apabila ia melihat hal-hal yang tidak boleh ia lihat.

Namun jantungnya semakin berdebar tidak karuan saat ia tidak mendapatkan respon apapun dari Wendy.

Irene langsung mendangakan kepalanya dan terkejut saat mendapati beberapa botol wine kosong lainnya yang tergeletak di lantai kamar mandi dan di pinggiran jacuzzi yang ada di dalam kamar mandi tersebut.

Ia bersumpah jantungnya berhenti berdetak saat ia melihat Wendy tidak sadarkan diri dalam posisi yang setengah tenggelam di dalam air.

“OH MY GOD SEUNGWAN!!!” teriak Irene.

Ia langsung melompat masuk ke dalam jacuzzi tersebut dan mengalungkan kedua lengannya di bawah lengan Wendy, melingkarkannya di depan dada Wendy dan menarik tubuh Wendy keluar dari jacuzzi tersebut.

“Fuck Seungwan this is not funny!!!” teriak Irene yang kepanikan.

Ia menarik tubuh Wendy dan berusaha untuk mengeluarkannya dari jacuzzi. Walau ia agak kesusahan, namun Irene berhasil mengeluarkan Wendy dan menyandarkan tubuh Wendy pada tubuhnya. Kemudian Irene merogoh sakunya untuk mengambil ponsel miliknya.

Ia berterima kasih pada Tuhan karena saat itu ia membawa ponselnya, Irene tidak tahu lagi apa jadinya jika tadi ia meninggalkan ponsel tersebut di kamarnya.

“SON SEUNGWAN!!”

Irene menepuk pipi Wendy dengan cepat, berharap Wendy segera sadarkan diri, menggunakan tangan kirinya sementara tangan kanannya berusaha untuk menekan nomor darurat.

“Halo, Rumah Sakit Premiere”

“H-halo, S-saya Joohyun. J-joohyun Bae, keponakan T-tuan Park Kyungwan dan Nyonya B-bae Jinhee. T-tolong datang ke kompleks a-apartemen The Hills Forest. L-lantai 39. God Help, please come here fast!!” teriak Irene, airmatanya mengalir.

Ia benar-benar panik saat itu. Pikiran-pikiran buruk sudah berlalu lalang di dalam kepalanya.

“Nona Bae? Bisa bantu saya untuk memberikan detail pasien yang berada dalam keadaan darurat?”

“S-seungwan. Seungwan Son, she’s….I DON’T KNOW WHAT HAPPENED WITH HER. JUST PLEASE COME HERE ASAP!”

“Satu unit ambulans sudah dikirim ke alamat yang Nona sebutkan barusan. Sementara waktu tolong tenang dan jelaskan kembali keadaan pasien agar bisa kami pandu dari sini.”

“She’s unconscious. Too much alcohol. I don’t know what happened. Just please come here, I beg you.” isak Irene.

“Nona Bae saat ini posisi anda dimana?”

“Kamar mandi di kamar utama. S-saya duduk di lantai. She’s still unconscious.”

“Dari penuturan anda, tadi menyebutkan ada banyak botol alkohol. Bisa anda sebutkan ada berapa?”

“5? I don’t know I can’t count. Stop asking me useless question!”

“Nona Bae, saat ini posisikan pasien dalam keadaan duduk dan tetap berusaha untuk menyadarkan pasien ya. Jangan sampai pasien ada dalam posisi berbaring. Apakah ada air mineral disekitar anda?”

“W-wait lemme sit down properly.” ucap Irene.

Ia berusaha untuk mendekap Wendy. Kemudian menarik tubuh mereka berdua untuk duduk dengan bersandar pada dinding jacuzzi.

“Should I keep her warm? Please I can’t think.”

“Usahakan pasien dalam keadaan hangat Nona Bae.”

“Can I leave for awhile? I need to take the towel. I’m alone, no one can lend me help. I’ll put you on speaker.”

“Silakan nona Bae, saya sarankan untuk segera menghangatkan pasien.”

Mendengar ucapan tersebut, Irene dengan segera berusaha memindahkan tubuh Wendy untuk bersandar pada dinding jacuzzi. Kemudian ia berlari mengambil handuk yang menggantung di pintu kamar mandi namun ia menyadari bahwa handuk tersebut tidak proper untuk menutupi tubuh Wendy ketika petugas rumah sakit datang.

Dengan segera Irene berlari keluar kamar mandi, ia membuka semua pintu lemari pakaian Wendy dan mencari bathrobe milik Wendy. Setelah ia menemukan barang yang ia cari, Irene langsung berlari lagi ke dalam kamar mandi.

Tangannya dengan cepat mengeringkan badan Wendy menggunakan handuk yang semula menggantung di pintu kamar mandi. Setelahnya, ia melempar handuk itu kesembarang arah dan berusaha untuk mengenakan bathrobe yang tadi ia ambil ke tubuh Wendy.

“Seungwan please no, stay with me honey. Please. I’m sorry.”

“Nona Bae? Anda masih disana?”

“Yes! Berapa lama lagi ambulans sampai?”

“Lima menit lagi nona bae. Apakah pasien masih tidak sadarkan diri?”

“She’s still breathing. It’s a good sign right?”

“Tim kami sudah sampai di depan pintu bersama dengan security.”

Mendengar hal tersebut, Irene langsung berteriak untuk mempermudah tim medis menemukan lokasinya dan Wendy.

“HELP!! I’M HERE!! HELP!!”

“Seungwan, please stay with me. They’re here. Please be okay. We’ll be okay right? I love you okay? I’m sorry I didn’t mean what I say, I will stay Seungwan. I will stay with you.” bisik Irene yang masih mendekap tubuh Wendy, berharap ia bisa menyalurkan kehangatan dari tubuhnya ke tubuh Wendy.

Suara Irene bergetar, the reality suddenly hits her. She feels nothing but fear, guilt, deep sadness and frustration. If only she didn’t provoke Wendy earlier, maybe this is all not gonna happen.

Irene mendengar langkah-langkah kaki di luar kamar mandi, ia kembali berteriak.

“HELP!!”

“Help, please help her.” teriakan Irene makin melemah. She keeps hugging Seungwan and trying not to sob.

“Wake up please? Don’t leave me, you can’t leave me Seungwan. I’ve promised you I’ll be with you right? Then you have to be there with me too. Please Seungwan, I love you so much. Don’t do this to me.”