318.

Juni, 2029.

Delapan tahun berlalu dan Wendy masih berada di tempat yang sama.

Delapan tahun berlalu dan ia masih mendatangi pantai ini setiap harinya.

Delapan tahun yang lalu, ia ada di sini bersama Joohyun. Pertama kalinya ia dikenalkan pada tempat yang membuatnya jatuh cinta……...pada Joohyun.

Terlambat memang.

Wendy menghela napasnya, ia mengukir pasir yang ada di dekat kakinya yang duduk bersila.

Do you know that I’m still the same? Even after time passes, I still love you

Langit jingga hari itu menemani dirinya mengakhiri penantiannya yang masih sia-sia dan akan selalu menjadi sia-sia.

Baru saja ia hendak bangkit dari posisinya, seorang anak kecil menabrak Wendy hingga ia terjatuh.

“Aduh!”

Wendy yang kaget ditabrak dari arah belakang, sontak langsung memutar tubuhnya.

“Eh, kamu nggak kenapa-kenapa kan?”

“Aduh duh, pantatku sakit.”

Wendy tertawa, bisa-bisanya anak kecil ini yang nabrak tapi dia juga yang jatuh.

“Sini aku liat, luka nggak?” tanya Wendy, ia berjongkok di depan anak perempuan itu. Kini mata mereka sejajar.

Wendy segera menghela napas lega saat melihat anak kecil itu tidak terluka.

“Lain kali kalau lari hati-hati ya, untung kamu gak kenapa-kenapa.”

“Maaf ya kak aku gak liat ada orang disini.”

Wendy mengangguk, “Kamu kesini sendirian?”

“Juni kesini soalnya Juni kangen mama.”

Wendy terdiam sejenak.

Mungkin nasib mereka sama, sama-sama merindukan seseorang dan tempat ini merupakan salah satu tempat yang menyisakan kenangan indah bagi mereka.

“Sama dong. Aku juga kesini karena kangen seseorang.”

“Kalo Juni kangen mama, Juni ke pantai ini. Kakak kesini kalo kangen siapa?”

“Joohyun. Namanya Kak Joohyun.”

Tanpa Wendy sadari air matanya mengalir saat ia mengucapkan nama itu. Nama yang sudah lama tidak ia ucapkan.

Joohyun.

Nama yang orang-orang hindari, karena lebih banyak membuat hati mereka bersedih dan merindukan sosok yang saat ini sudah tidak bersama mereka lagi.

Joohyun.

Nama yang tereduksi menjadi ‘dia’ atau bahkan kadang dalam suatu percakapan dibiarkan mengambang tanpa subjek.

“Kak jangan nangis dong!”

Wendy tertawa pelan, tangannya mengusap air matanya yang masih terus mengalir. Ia sendiri heran kenapa tiba-tiba ia menangis tidak berhenti seperti ini?

You don’t know I try to hold it, but sometimes I think of little things and it reminds me of you

“Hehe maaf ya?”

“Gapapa kak, Juni juga kadang nangis sih pas keinget mama.”

“Udah sore gini kamu nggak dicariin?”

“Juni gak bilang sih kalau Juni kesini. Kak, nama kakak siapa?”

“Seungwan tapi kadang ada yang manggil Wendy juga.”

“Kalau aku panggil kakak pake Seungwan aja boleh nggak? Eh atau kakak lebih suka aku panggil siapa?”

Wendy melihat ke arah Juni dengan tatapan sendu. Hanya sedikit orang yang benar-benar menanyakan kepadanya apakah ia lebih suka dipanggil Seungwan atau Wendy.

Dan Joohyun juga salah satunya.

“It’s okay. Seungwan boleh kok.”

Juni mengangguk mantap, “Oke kak Seungwan!”

“Yes Juni. Kamu umur berapa?”

“Delapan kak! Kemaren aku baru ulang tahun hehe.”

“Oh ya? Selamat ulang tahun Juni!” ujar Wendy. Tangannya membelai rambut Juni dan merapikan poni yang menutupi kening gadis kecil itu.

“Kak, langitnya bagus ya?” Juni menatap jauh ke belakang Wendy, ke arah langit sore itu.

Ucapan Juni membuat Wendy ikut menengadahkan kepalanya menatap langit jingga itu. Juni benar, langit hari itu memang indah.

“Aku paling suka liat langit pas sore gini atau malem-malem, tapi kalau malem aku pasti gak dibolehin kesini.” gerutu Juni

Wendy diam lagi.

Just how many things that come from Juni and will remind her of Joohyun?

My entire world is filled with you.

Wendy memalingkan pandangannya dan kali ini menatap Juni yang masih asik menikmati langit sore.

“Rumah kamu dimana? Lain kali ayo liat langit malam sama kakak.”

Juni menunjuk ke arah perumahan yang tidak jauh dari pantai tersebut.

“Disana.”

“O...kay? Yang mana?”

“Rumah Pelangi kak. Tau nggak?”

Lagi-lagi Wendy terdiam.

Rumah Pelangi.

Itu adalah panti asuhan.

”Jadi Juni?”

“Kok kakak ngeliatin aku kayak gitu? Gak tau Rumah Pelangi ya?”

Wendy menggeleng, “Aku tau kok. Kapan-kapan kakak kesana ya, terus kita liat langit malem bareng-bareng.”

Juni mengangguk cepat, “Mau kak! Eh kak, Juni harus pulang. Kalau nggak nanti aku dicariin, terus ketauan kalo aku kesini.”

“Mau aku temenin pulang?”

“Nggak usah, kakak disini aja. Aku bisa sendiri kok.”

“Beneran?”

“Iya! Ih Juni udah gede!”

Wendy tertawa kencang lalu tangannya mengacak-acak rambut Juni.

“Alright-alright.”

Juni bangkit dari posisi duduk, kemudian tangannya mengibas-ibas celana jeans yang ia kenakan untuk membersihkan pasir-pasir yang menyangkut disana.

“Dah kak Seungwan!! Oiya, omong-omong pipi kakak lucu! Kayak hamster!” ujar Juni yang berlari ke arah jalan menuju Rumah Pelangi.

Untuk kesekian kalinya Wendy harus terkejut dengan ucapan yang sangat simple yang keluar dari mulut Juni. Namun Wendy tidak bisa terlalu lama terlarut dalam pikirannya karena Juni sekali lagi berteriak padanya

“Dah kak Seungwan! You're so pretty!”

Ia melambaikan tangannya ke arah Wendy dan tentu saja dibalas dengan lambaian dari Wendy pula. Mata Wendy mengikuti tubuh mungil Juni hingga ia hilang dari pandangan.

“Lo ngapain buset?”

Mendengar langkah kaki dan suara yang sangat familiar baginya, Wendy menoleh dan perlahan senyumannya merekah.

Bae Yerim. The Next successor of Bae Corp menyempatkan untuk mampir kesini disela-sela kesibukannya.

“Congratulations on your appointment Miss Bae.” ujar Wendy menggoda Yerim.

“Congratulations apanya! Lo aja nggak dateng tadi.” gerutu Yerim. “Lo masih nggak mau kesana ya?”

Memang sejak hari itu, Wendy benar-benar meninggalkan kota yang selalu mengingatkannya pada penyesalan terbesarnya itu dan menetap di beach house milik Joohyun.

Setiap minggu Yerim, Seulgi, Sooyoung, dan Ojé bergantian mengunjunginya di beach house itu dan minggu ini rupanya ‘giliran’ Yerim.

“The company is moving on, I’m trying to, my family too. Everyone is moving on but you Wen.” lanjut Yerim.

Wendy hanya mengangkat bahunya.

“So gimana rasanya jadi part of the board?” tanya Wendy mengalihkan pembicaraan.

“Megap-megap gue. Lo tau nggak lele yang diambil dari baskom terus ditaruh di lantai sebelum akhirnya di goreng? Nah itu gue, the saddest I've ever been.”

Wendy tertawa lepas. Yerim selalu bisa menghibur dirinya disaat seperti ini.

“Anyway, yesterday you didn’t come either. Well like always sih, nggak heran. Masih nggak mau dateng juga lo?”

Wendy paham betul apa yang dimaksud oleh Yerim. Peringatan hari yang sama sekali ia tidak mau ingat, even just to acknowledge that day she won’t.

Pada akhirnya Wendy memilih untuk diam. Matanya kembali melihat ke arah laut lepas dan matahari yang terbenam.

“Lo masih mikir dia bakal pulang Wen?” sambung Yerim, ia tahu Wendy tidak akan menjawab pertanyaan yang sebelumnya.

“She is there, somewhere.”

“I see, kadang gue juga ngerasa like she is there somewhere. Ready to be back and scold me or even tease me.” Yerim tertawa pelan. “But Wen, I know it's just my wishful thinking. So, I hope you will find it in you to slowly let her go ya? It’s been eight years, Wen. You need to be happy too. Kakak gue nggak bakal seneng liat lo kayak gini terus.”

“Lo hari ini sendirian?” tanya Wendy, lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.

Yerim hanya bisa menghela napasnya. Sudah delapan tahun ia mencoba untuk mengingatkan Wendy agar ia bisa membuka lembaran baru, namun hingga saat ini pun Wendy masih bersikeras untuk tinggal di halaman terakhir cerita mereka.

Mungkin ia akan mencoba lagi esok hari, pikir Yerim.

“Hari ini gue sama Kak Taeyeon, dia mau denger lagu yang baru lo kasih snippetnya ke dia semalem. Gue juga penasaran jadinya, she said she’s crying listening to that song.”

“Lebay aja dia.” ujar Wendy.

Ia melangkah menuju jalan setapak ke arah beach house, meninggalkan Yerim yang tidak menyangka bahwa Wendy akan bangkit dari tempatnya duduk.

“Well?! Listen to YOUR OWN SONG okay??? Also the public gives you the title Queen of Ballad not for nothing?? Please Wen gue capek nangis mulu denger lagu lo.” protes Yerim yang mengekor di belakang Wendy, menyesuaikan dengan langkah kaki Wendy.

“Lebay lo berdua.”

“Yee! Serius tau! Eh Wen judulnya apa Wen? Kalo lo belum punya judul, gue ada stock ide nih!”

“Ancur adanya kalo lagu gue lo otak-atik.” goda Wendy.

“Sialan! Serius nih gue! Kemaren baru nonton drama sedih banget Wen!!”

Wendy menggelengkan kepalanya, walaupun kini Yerim sudah menyandang tanggung jawab yang besar, namun tetap saja sifat jenakanya itu tidak pernah hilang.

“Gue bikin lagu baru aja deh buat lo kalo lo emang segitu pengennya nulis lirik lagu.”

“Beneran ya??”

“Iya, tapi yang ini lo jauh-jauh ya. This one is special.”

“Emang lo udah punya judulnya?”

“The song is ready to be honest. It’s called Angel.”


’You’re my angel’ ’Today, let me fall asleep’ ’Don’t run away tonight’ ’I won’t let you go, even in my dreams’