320.
Nothing made sense. She was totally confused.
Well nothing made sense for her either when she lost her so Wendy didn’t know which one is the reality.
Her head was hurting, her throat felt dry.
Wendy hanya bisa mengikuti instruksi dokter residen yang saat ini memeriksa keadaannya. Tangannya masih menggenggam tangan Irene dengan erat. Sementara itu Irene berbicara dengan kepala tim dokter yang selama beberapa hari ini memantau status kesehatan Wendy.
Sesekali Irene menatap Wendy dengan lekat dan mengelus punggung tangan Wendy, memberikan sinyal pada Wendy bahwa ia tidak perlu takut.
Kepala tim dokter memperhatikan dengan seksama pertanyaan yang diajukan oleh dokter residen kepada Wendy. Ia terlihat mengangguk beberapa kali saat mendengar jawaban Wendy.
Dokter Im tersenyum ramah pada Wendy dan Irene kemudian mengambil-alih posisi dokter residen. Wanita itu menjelaskan dengan singkat apa yang terjadi pada Wendy, namun baik Irene dan Wendy nampaknya sama-sama belum bisa mencerna kalimatnya saat itu yang terlihat dari raut wajah mereka.
Too much alcohol in the system
Slow heart rate
Internal organ function is slowing down
It takes a few seconds before Irene can process everything. Dunianya serasa berputar dan terbalik setiap kali ia mendengarkan penjelasan yang keluar dari mulut dokter spesialis yang menangani Wendy.
Kepala tim dokter tersebut kemudian menyampaikan beberapa pesan lagi untuk Irene sebagai panduan apa saja yang harus Irene perhatikan hingga besok pagi sebelum Wendy akan menjalani serangkaian tes lainnya.
Irene mengangguk dan mendengarkan setiap detil serta mengingatnya dengan terperinci. Ia sudah membuat rencana di dalam kepalanya itu.
First of all she will take a whole week off from work.
“Ms. Son, right?” Dokter Im tersenyum ke arah Wendy.
Wendy yang dipanggil namanya menoleh dan mengangguk pelan.
“We’re glad you’re here with us. You are well loved.” ujar Dokter Im sambil melirik ke arah Irene. “Sampai bertemu besok pagi.”
Wendy nampaknya masih terlalu bingung untuk merespon sehingga Irene-lah yang akhirnya berinisiatif untuk menjawab dan mengucapkan terima kasih pada tim dokter yang satu per satu pamit dan meninggalkan ruangan tersebut.
Seusai ia mengantarkan tim dokter keluar dari kamar rawat yang ditempati oleh Wendy, Irene langsung kembali duduk di sisi Wendy. Sedangkan sang pasien hanya bisa mengikuti setiap gerak-gerik Irene melalui pandangannya.
“Hey love, how are you feeling?” tanya Irene pada Wendy. Ia mengusap punggung tangan Wendy dengan ibu jarinya lalu merapikan poni yang menutupi manik mata hitam kecoklatan milik Wendy.
“Tell me this is real, because I can’t believe you are here.” bisik Wendy, perlahan air matanya mengalir.
“Seungwan, kamu bikin saya takut. Kamu kenapa dari tadi nanya kayak gitu?” tanya Joohyun pelan. Ia mengusap air mata yang mengalir di pipi Wendy kemudian membelai kepalanya lagi.
Wendy sama sekali tidak menjawab, ia hanya menghabiskan waktunya detik demi detik untuk memandangi wajah yang sangat ia rindukan, bahkan kantung mata dan garis-garis kerutan di dahi Irene yang saat ini mengernyitkan alisnya tidak luput dari perhatian Wendy.
Keheningan perlahan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama hanya saling melempar pandang, memandangi paras yang saling mereka rindukan.
Akhirnya setelah hampir lima menit saling menunggu dalam diam, menikmati suasana yang masing-masing ciptakan dalam pikiran mereka, Irene kembali membuka suaranya.
“I miss you.” ujar Irene singkat.
“Me too, you can’t imagine.”
“You do?” ucap Irene dengan terkejut, nada bicaranya menipis dan meninggi. Seakan-akan ia tidak percaya bahwa Wendy akan mengatakan hal tersebut padanya.
Reaksi Irene membuat Wendy merasa bersalah, apalagi saat ia melihat raut wajah Irene yang terkejut mendengar pernyataannya barusan. Apakah Irene sebegitu tidak percaya bahwa ia pun merindukan Irene? Atau justru karena sikapnya selama ini membuat Irene sebegitu tidak percaya diri?
Ucapan Irene barusan malah membuat keduanya kembali terdiam. Irene masih dengan keterkejutannya dan Wendy dengan rasa bersalah serta penyesalannya.
“Tegang banget deh kita haha. Kenapa ya?” tanya Irene mencoba untuk mencairkan suasana.
Irene yang tak kunjung mendapatkan jawaban dari Wendy menjadi kikuk, ia tidak tahu harus berbuat apa, ia pun bertanya-tanya tentang apa yang ada dalam pikiran Wendy. Terakhir kali mereka bertemu dalam keadaan wajar adalah saat dimana mereka bertengkar dan kini saat Irene menatap Wendy, ia sendiri bertanya-tanya mengapa mereka kemarin harus bertengkar seperti itu.
Tiba-tiba sekelebatan pemikiran dan penyesalan lewat di kepala Irene.
’Kalau saja kemarin ia bisa lebih bersabar, Wendy pasti tidak akan berada di atas ranjang rumah sakit dengan infus yang terpasang di tangannya dan selang oksigen yang terhubung untuk membantunya bernapas lebih lancar. Kalau saja Irene kemarin tidak mengatakan hal yang membuat Wendy meragukan dirinya, kalau saja Irene bisa menahan emosinya, mungkin sekarang mereka tidak akan berada di rumah sakit ini.’
Sebut itu telepati, insting, apapun, tak hanya Irene, Wendy pun memikirkan hal yang sama.
’Kalau saja kalau saja Wendy memilih jalan yang lebih dewasa dan mengkonfrontir Irene secara langsung saat itu. Kalau saja Wendy tidak kabur dari permasalahannya, kalau saja ia lebih memilih untuk mendengarkan Irene, kalau saja Wendy tidak mendengarkan ketakutannya dan menyalurkan rasa frustrasinya dengan alkohol, pasti semuanya berbeda.’
Sayangnya semua hanya, perandaian.
Nyatanya saat ini mereka berdua harus berada dalam situasi awkward di dalam ruang rumah sakit dengan Wendy yang terbaring lemah di hadapannya.
Wendy berusaha untuk bangkit dari kasurnya, ia ingin sekali memeluk tubuh Irene dengan erat. Sayangnya ia sendiri masih merasa pusing dan melayang, seakan-akan jiwanya bisa lepas dari tubuhnya.
Erangan keluar dari mulut Wendy saat ia berusaha menopang tubuhnya untuk sedikit bangkit dari posisi tidurnya. Sontak Irene bangkit dari kursinya dan memegang bahu Wendy.
“Hey, hey easy. Kamu mau apa? Saya aja yang bantu kamu Seungwan.” Irene lagi-lagi bergerak, berusaha membantu Wendy.
Wendy menggelengkan kepalanya, menolak bantuan Irene. Ia masih berusaha untuk menopang tubuhnya dengan usahanya sendiri sampai akhirnya berhasil berada dalam posisi yang ia inginkan. Wendy mendongak dan sekali lagi memperhatikan setiap lekuk wajah Irene. Kini gantian Wendy yang menangkupkan tangannya pada wajah Irene dan mengelus pipi Irene.
Dalam jarak yang sedekat ini, Wendy baru menyadari betapa dalamnya kantung mata Irene dan rahangnya yang terlihat sangat tajam. Irene benar-benar terlihat lelah walaupun ia saat ini tersenyum padanya.
“I can’t believe it’s real. Tell me this is real Hyun.”
Lagi-lagi Wendy merasakan air matanya mulai memenuhi pelupuk matanya. Entah apa yang ia pikirkan, Wendy kemudian memutus jarak mereka dan mencium bibir Irene singkat.
“I missed you so much Hyun, you don’t know how I feel.” ujar Wendy pelan setelah ia menyudahi ciumannya dengan air mata yang mengalir pelan.
Irene tersenyum, “I know. Me too.”
They both missed each other, they both could see tears in each other's eyes. Irene pun tak kalah rindu pada sosok Wendy. Ia sudah menghabiskan beberapa malam di ruangan ini bersama dengan Wendy yang unresponsive. Sehingga bisa dibayangkan betapa overwhelmingnya perasaan ia saat ini.
Perasaan bahagianya membuat Irene ganti mencium bibir Wendy untuk waktu yang lebih lama.
A soft but meaningful peck.
Usai Irene menyudahi ciuman mereka, Wendy kembali berbaring di kasurnya dan Irene juga kembali duduk di kursinya. Mereka seperti menemukan kebahagiaan mereka masing-masing.
Irene hanya bisa senyum-senyum, ia sangat bahagia saat ini. Tangan kanannya mengelus rambut Wendy sedangkan tangan kirinya mengusap punggung tangan Wendy dengan lembut. Sesekali Irene mencium punggung tangan Wendy.
Touchy Irene is back.
”I miss you so bad Hyun. The past eight years have been the worst ever.” batin Wendy.
Wait, eight years?
“Berapa lama aku….” Wendy menggantung kalimatnya.
Wendy’s eyes met with Irene’s sad gaze. She could see the guilt, sadness, and fear in Irene’s eyes.
“This is your fourth day. So three day you were unconscious, you were having trouble breathing. You were almost…..” Irene berhenti berbicara. Ia menggigit bibirnya sejenak.
“Well it doesn’t matter now. You’re here and recovering. I’m here and not gonna leave you. That's what's important right?” lanjut Irene sembari memberikan senyuman pada Wendy.
“Four day??”
“Iya, ini hari keempat kamu di rumah sakit. Saya udah disini empat hari juga. Beberapa hari yang lalu saya harusnya ke Jepang, but then on the day I should take my flight you were collapsing. Jadi saya langsung mutusin untuk cancel flight saya dan nyuruh Minjeong dan Jennie yang gantiin saya.”
Mata Wendy membelalak. Ia tiba-tiba merasa panik saat mendengar ucapan Irene.
Baru saja ia akan menanyakan keberadaan Jennie dan Minjeong, keduanya mendengar pintu kamar yang terbuka beserta dengan langkah kaki yang sedikit dihentakkan.
“Rene, gila ya sumpah itu shareholder lo kayak-...” Jennie mengomel kesal, kalimatnya terhenti saat ia melihat Wendy menatap ke arahnya.
“WENDY!! OMG PRETTY YOU’RE AWAKE!!” teriak Jennie yang langsung berlari kecil ke arah Irene dan Wendy.
Irene langsung mengernyit dan menggerutu saat mendengar ucapan Jennie. “Oy, what’s with that ’pretty’?!”
Jennie hanya menjulurkan lidahnya. Ia berdiri tepat di ujung kasur Wendy, di sebelah Irene.
’Tok Tok’
“Aku boleh masuk gak kak? Atau aku tunggu di depan aja?” tanya Minjeong dengan agak takut-takut. Ia masih berada di pintu masuk setelah membukakan pintu untuk Jennie.
Wendy yang melihat Minjeong cukup canggung, kemudian tersenyum dan memberikan aba-aba agar Minjeong masuk.
“Minjeong ya?”
Minjeong mengangguk cepat.
“Makasih ya udah bantuin Joohyun selama ini.”
Minjeong terkejut dengan ucapan Wendy.
Pertama, saat itu adalah kali pertama ia berada dalam jarak sedekat ini dengan Wendy dan Irene.
Kedua, bagaimana bisa Wendy mengenal dirinya? Ia belum pernah sekalipun memperkenalkan dirinya pada Wendy.
Ketiga, holy shit. Ia baru sadar saat ini semua ‘boss’-nya ada di dalam ruangan tersebut, well kurang Seulgi but still.
“Eh, oh iya kak Wen… Eh! Bukan bukan maksudnya Miss Son? Or Mrs. Boss? Mrs. Bae?” Minjeong langsung menutup mulutnya, ia panik.
Wendy tertawa namun setelahnya ia terbatuk sebentar. “It’s okay, just call me anything you want, but for that Mrs. Bae has to wait, okay?”
Jawaban Wendy membuat Irene menoleh ke arah Wendy dengan cepat. Jennie pun menatap Wendy dengan terkejut.
“What? I’m your fianceé, that’s only normal right?” ujar Wendy dengan santai pada Irene.
“Hoho! The wedding is on the way, I see.” ledek Jennie. “I’m gonna be the bridesmaid who steals the brides.”
“Jen, mulut lo ya.”
Lagi-lagi Jennie hanya menjulurkan lidahnya.
“Kak Jennie, itu kak Irene serem banget ngeliatinnya.” bisik Minjeong.
“Minjeong, daripada kamu ngegosip sama Jennie mendingan kamu jelasin hasil dari Jepang.” potong Irene.
“Oh my god, the scary boss is back.” bisik Minjeong sembari membuka tas yang ia bawa. Mencari map yang hendak ia serahkan pada Irene.
“Heh, saya denger ya yang kamu bilang barusan.”
“Well you’re indeed scary.” ujar Wendy.
Irene cemberut mendengar jawaban Wendy, ia menyilangkan tangannya di depan dada. “So now you all taking one side against me huh?”
“Aku nggak! Aku nggak!” ujar Minjeong cepat sambil mengibas-ngibaskan tangannya. “Aku cuma mau nyampein ini boss. That’s the summary of the shareholders meeting.”
Irene menerima map yang diberikan Minjeong dan membaca dengan cepat isi summary yang dibuat oleh Minjeong. Sementara itu Wendy dan Jennie berbincang singkat, dengan Minjeong yang juga sesekali diikutkan dalam pembicaraan oleh Wendy.
“Okay, kamu kirim file lengkapnya ke email saya ya by tonight. Terus semua meeting saya kamu delegasiin ke Seulgi atau Jennie, depends on the meeting. Arrange semua kerjaan saya untuk bisa saya kerjain dari sini.”
Minjeong mengangguk, ia menuliskan ucapan Irene dalam notepad di ponselnya.
“Okay, so remote working ya. Berapa lama kak?”
“Sebulan.”
“HAH?!” teriak Jennie.
Wendy dan Minjeong pun tidak kalah kaget dengan ucapan Irene.
“Kenapa? Mau protes kalian?”
Minjeong menggeleng. “O-okay sebulan.”
“Wah gila lo?! Gue lagi?!”
“Iya, lo lagi. Kenapa? Gue mau ngurus Seungwan. She needs to recover well.”
“Hyun, kamu gak usah sampe segitunya. I can do it by myself too, no offense ya Hyun. I mean kamu udah korbanin banyak banget buat aku, I can’t take another one.”
“No, it’s final. Kalau kalian mau protes silakan, but I won’t listen to any of you.”
“Ren, kalo gini terus gue kapan dapet pasangan ren. Sadis banget lo sama gue.” rengek Jennie.
Irene hanya mengangkat bahunya, mengabaikan rengekan Jennie, dan kembali membaca summary yang dibuat oleh Minjeong.
“Eh kak, itu bulan depan kan harus terbang kita ke Paris. Dapet disana kali kak.” bisik Minjeong.
“Reeeen! Ini bocah kenapa gilanya kayak Yerim sih buset!” protes Jennie yang mengundang tawa dari Wendy dan Irene.
Wendy melirik ke arah Irene yang tertawa lepas kemudian melirik ke arah Jennie yang masih mengajukan protesnya dan Minjeong yang berusaha menahan tawanya. Ia merasa akar kepahitan yang selama ini ada dalam dirinya hilang begitu saja.
If this is the reality and what she’s been going through previously was just a dream, then it was her worst dream ever.
Wendy masih belum bisa mencerna segalanya seratus persen, namun ia yakin ia masih punya waktu untuk memahami ini semua. Yang jelas, baginya saat ini dengan adanya Joohyun di sisinya sudah lebih dari cukup.
”Thank God you give me back my Joohyun and everyone else here with me. I’ll start to count on my blessing.”