324.

“Lo kenapa sih dari tadi kayak orang bisulan?”

Suara Yerim menghentikan tingkah Wendy yang sedari tadi resah dan gelisah karena chatnya yang tak kunjung dibalas oleh Irene.

Sementara itu, Yerim yang tadinya duduk di sofa panjang, tempat Irene selama ini tidur saat menjaga Wendy, kini beranjak dari sofanya dan berjalan ke arah Wendy.

Ia pun penasaran dengan tingkah Wendy yang sedikit-sedikit menatap layar ponselnya lalu melempar ponsel tersebut ke kasur, which Wendy already did on repeat for several times.

Yerim menaikan alisnya, memberikan sinyal bahwa ia bertanya akan keanehan yang ditunjukkan oleh Wendy.

“Kakak lo kalo bales chat lama nggak sih?” tanya Wendy ragu-ragu.

“Ya Tuhan, gue kira apaan. Ga jadi nanya deh gue.”

“Yeriiim!! Kasih tau gueee!”

Yang dipanggil hanya senyum-senyum meledek, namun tidak menggubris lebih jauh lagi.

Wendy melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 21.03. Sudah dua jam lebih sejak ia bertukar pesan dengan Irene namun yang ditunggu pun tak kunjung datang.

Detik berikutnya, Wendy memutuskan untuk menelpon Irene. Biar saja, ia sudah tidak tahan menunggu tunangannya itu.

”Halo? Ada apa Seungwan?”

Untuk beberapa saat Wendy tidak berbicara, ia bingung harus berbicara apa dan juga ia merasa sedikit kecewa karena Irene nampaknya tidak membaca pesan terakhir darinya. Buktinya Irene terdengar tenang seperti biasanya.

“Dimana?” tanya Wendy pelan. Ia memutuskan untuk tidak menggubris rasa kecewanya.

”Masih di jalan. Kenapa? Kamu butuh sesuatu?”

“Masih lama?”

”Hmm, not really. Ini saya udah bisa lihat logo rumah sakit. Kenapa telpon?”

“Gapapa, just…..wanna check on you.”

”I see. Kangen saya ya?”

Suara Irene sangat tenang seperti biasanya. Tidak ada nada godaan dari sana, hanya murni pertanyaan.

“Iya. I’m afraid you won’t come back.” bisik Wendy.

”Hey, what was that negativity?”

“Nothing. Just please cepet kesini.”

”Yes, love. Tunggu ya, saya cari parkiran dulu. I’ll get back to you in no time.”

“Sure. Can’t wait.”

”See you soon! Bye, Love you Seungwan!”

Belum sempat Wendy membalas ucapan Irene, sambungan telepon mereka sudah terputus.

“Tunggu aja Wen, kakak gue pasti langsung kesini kok.” ujar Yerim yang sedikit banyak mendengar percakapan barusan.

“But why does it take her so long?”

“Kalo kakak gue udah janji, pasti ditepatin. Paling nih ya gue tebak, dia balik sini telat gara-gara dititipin sesuatu sama nyokap gue.”

Wendy menghela napas. Sesungguhnya kalau ia boleh jujur, saat Irene berkata bahwa ia akan pulang sejenak ke rumah keluarganya untuk mengambil beberapa barang dan beristirahat, Wendy hampir saja berkata tidak.

Ia benar-benar takut untuk melepas Irene hilang dari pandangannya. Teringat bagaimana perasaan yang sangat menyiksa baginya saat ia ’kehilangan’ Irene dalam mimpi buruknya itu, jelas ia tidak mau hal tersebut terulang kembali.

Wendy pun ingat bahwa terakhir kali mereka ada dalam keadaan normal, baik dirinya maupun Irene justru saling meneriaki satu sama lain. Ia pun sadar bahwa ia belum sempat meminta maaf pada Irene yang sering ia buat sakit hati hanya dengan ucapan-ucapannya saja.

Sang pasien terdiam beberapa saat, ia membuat list di kepalanya hal apa saja yang harus ia sampaikan pada Irene.

“What’s with the long face?”

Mungkin Wendy terlalu lama melamun hingga ia tidak sadar bahwa saat ini Irene sudah ada disampingnya dan mendaratkan ciuman singkat di keningnya.

“That’s the sign for me to leave, I guess.” ujar Yerim dibarengi dengan tawa Irene.

Suara Yerim-lah yang akhirnya membawa Wendy balik dari lamunannya itu.

“You’re here?”

“Yup, with your favorite tea. Well saya baru tau kalo kamu suka teh ini, tadi bunda yang bawain.”

Perlahan tangan kiri Irene meraih telapak tangan Wendy dan menggenggam tangan Wendy dengan lembut. Buku-buku jari mereka saling bertautan. Sedangkan tangan kanannya membelai kepala Wendy dengan lembut.

“Istirahat, jangan nungguin saya.”

“How can I?” kata Wendy pelan tanpa benar-benar menatap Irene. Suddenly she feels anxious.

Tiba-tiba Wendy mengangkat tangan Irene yang semula membelai rambutnya dan mengarahkannya ke pipinya. She missed Irene’s touch on her.

“Kak, don’t do what you wanna do with Wendy when I’M STILL HERE.” potong Yerim padahal Irene belum berbuat apa-apa, hanya menggenggam tangan Wendy.

“I do nothing.” jawab Irene singkat. Punggungnya membelakangi Yerim.

“Yaudah deh ah gue balik aja.”

“Be careful on your way home. Thanks for today mim.”

Yerim hanya menggumam. Well, she’s glad to see her sister and her fiancée doing great.

’especially after that night’

Selepas keduanya mendengar suara pintu tertutup, tanpa menunggu lama Irene langsung duduk di ranjang yang Wendy tempati. Kedua tangannya menangkup wajah Wendy.

Hening.

Manik coklat gelap milik Irene bertemu dengan milik Wendy. No one is talking, just them drowning in each others’ eyes.

Wendy pun ikut memegang tangan Irene dan mengelusnya.

“Maaf ya saya terlalu lama perginya, maaf ya bikin kamu khawatir. Tadi saya pulang ke apart sebentar nyari sesuatu.”

“It’s okay, aku aja yang terlalu uring-uringan hari ini.”

“I know that. Gak biasanya kamu semanja ini, well it’s the first to be honest. Ada apa sih?”

Wendy menggeleng. Gengsi juga rasanya untuk mengakui bahwa ia cukup kecewa saat tidak mendapat respon dari Irene setelah ia mengatakan kalimat penting seperti itu.

“Ini lagi ngambek ya sama saya?” tanya Irene yang tertawa pelan.

“Nggak.”

“Okay fix, ngambek. Saya salah apa? Atau apa yang saya lakuin yang bikin kamu sebel?”

“Gapapa, kayaknya kamu juga nggak sadar. Beneran deh ini aku aja yang lagi sensitif.”

Irene diam sejenak.

Tangannya kini turun, menggenggam tangan Wendy.

“I thought I should wait further, especially when you’re still recovering but I don’t think I can wait Seungwan, moreover after I heard what you said before. Please allow me to be selfish this time.” ujar Irene.

Wendy bingung bukan kepalang dengan ucapan Irene.

“Look, I’m not someone poetic. Kamu juga tau kan saya suka canggung, apalagi sama kamu. If you can feel it, bahkan sekarang saya jauh lebih deg-degan ketimbang waktu saya gantiin ayah saya kemarin.” kata Irene sambil memegang tangan Wendy.

“Remember that I said I only tell you the truth?” lanjut Irene yang kemudian menyambung ucapannya setelah melihat anggukan dari Wendy.

“Well, I lied to you once.”

Detak jantung Wendy meningkat drastis saat mendengar ucapan Irene.

“M-maksud kamu?”

Tangan Irene merogoh saku celana bagian belakang yang ia kenakan dan Wendy sadar ia melihat ada sesuatu di tangan Irene yang ia tutupi.

“Damn, this is so lame I know but please bear in mind that this is my first and last time I will do this.” ujar Irene sembari menarik napas panjang.

Melihat tingkah Irene, Wendy menjadi semakin bingung. Apalagi setelah melihat adanya rona merah di wajah dan telinga Irene.

“Hyun?”

“I went home, to our apartment I mean, to take something that I need the most. Please hear me out first okay?”

Wendy mengangguk.

“Remember when I gave you something before my company’s anniversary? I lied to you, I said that I gave you the ring just for the sake of building a sincere relationship. I didn’t tell you that I actually already fell for you.”

Irene merasa jantungnya sudah hampir copot. Ia benar-benar deg-degan bukan main.

“Son Seungwan, bolehkah saya jadi pendamping hidup kamu?”

Tipikal Bae Joohyun. Bahkan disaat seperti ini pun, ia tidak menggunakan kalimat 'will you marry me'.

No.

Bahkan disaat seperti ini pun, Irene masih seperti Irene yang biasanya. Irene yang sangat menghargai Wendy.

“Saya masih akan tetap pada pendirian saya, saya nggak akan maksa kamu, saya nggak mau bikin kamu-...”

Belum sempat Irene menyelesaikan kalimatnya, Wendy sudah mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Irene dengan lembut. Ciuman kali ini terasa sangat berbeda bagi keduanya, it’s not just a kiss.

Perlahan Wendy mulai melumat bibir Irene, masih dengan tempo yang lembut. Ia menyalurkan seluruh perasaannya disana. Wendy benar-benar berusaha untuk menyalurkan apa yang tidak bisa ia sampaikan lewat kata-kata.

Karena Irene memang spesial, tidak ada kalimat yang bisa menyampaikan betapa berterima kasihnya Son Seungwan yang bisa memiliki seorang Bae Joohyun.

Her Martabak Spesial

Tempo tautan keduanya sedikit demi sedikit berubah menjadi lebih cepat dan lebih dalam. Tangan Irene perlahan menarik Wendy agar lebih mendekat ke tubuhnya, ia pun mengimbangi lumatan-lumatan yang Wendy lakukan terhadapnya.

Setelah lama bertautan, napas mereka mulai terengah tak beraturan. Irene yang mengingat kondisi Wendy saat ini akhirnya berinisiatif memberi jeda dan melepas ciuman mereka lalu melihat Wendy tepat di matanya.

Tangannya mengusap pipi Wendy lembut. “So, does that mean?”

“Masih harus dikonfirmasi?” tanya Wendy. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca, airmata bahagia.

“Yes please?”

“Of course it's a yes, I want that forever with you. I love you Bae Joohyun. I do love you, please remember that. ”

Irene mengerjapkan matanya masih tidak percaya namun kemudian ia segera memasang cincin yang dulu sempat ia berikan pada Wendy ke jari manis tangan kiri Wendy. Setelah cincin tersebut bertengger dengan manis di jari Wendy, Irene tidak bisa berhenti tersenyum.

“So pretty.” bisik Irene.

“Kamu lucu ya? Kenapa masih harus ngelamar aku kayak gini? I thought we both know that we will pushing through?”

Irene menggeleng, “Saya nggak pernah secara official dan personal ngelamar kamu. First of all, kita dijodohin and then well emang sih abis itu we were doing what couples did. All the ups and down. Tapi saya mau kayak pasangan-pasangan lainnya, I don’t want any regrets in the future. Saya yakin kalau saya harus ngelakuin ini, sorry for the late proposal though.” ujar Irene sambil menggenggam tangan Wendy.

Wendy mengangguk, semakin tersipu malu mendengarkan penjabaran Irene.

“I know you are still healing Seungwan. I will let you decide our wedding date. It can be next month, next year, even tomorrow. Kapan pun saya siap.”

Wendy tertawa lepas.

“You are really my martabak special.” ujar Wendy yang langsung memeluk Irene dengan erat. “Also, aku bener-bener heran kalau mulut kamu semanis ini, masa iya sih kamu belum pernah pacaran?”

“You’re my first.”

“Relationship?”

“No, love.”

Wendy semakin mengeratkan pelukannya. Ia menenggelamkan wajahnya di lekukan leher Irene.

“How about Kak Nana?”

“I fell for you even before I met Nana, Seungwan. This is a secret by the way.” tawa Irene.

“Hah???”

Irene hanya membalas dengan tawa.

“Thank you for staying with me. I love you Joohyun, please remember that. I will tell you this everyday.”

“I love you too. Maaf ya tadi saya sengaja nggak balas chat kamu, itu saya shock soalnya.”

Suara Irene menggema tepat di telinga Wendy. Entah kenapa rasanya suara Irene sangat berbeda baginya.

“Kamu tau nggak sih? Itu aku kira kamu gak baca chatnya!!” protes Wendy dengan manja.

“Maaf ya. Tapi setelah saya lihat chat itu, saya langsung mutusin untuk balik ke apart dan cari cincin kamu. I can’t wait for another day.”

Irene hendak melonggarkan pelukannya namun Wendy justru mengeratkan pelukan mereka.

“No, diem dulu kayak gini. I miss you so much….. fiancée.” bisik Wendy, terutama saat ia melafalkan fiancée.

Irene tertawa, ternyata bukan cuma dirinya saja yang saat ini malu. Well it’s okay, she loves this.

Well lebih tepatnya she loves Seungwan.

“I miss you too, fiancée.”