352. Goodbye, Hello
Suara petikan gitar terdengar di dalam ruang tengah rumah Sagala.
Sang pemilik rumah setengah berbaring di atas sofa panjang tempat favoritnya beristirahat selama ini.
Dahulu biasanya Sagala dan Isaura ada di ruang tengah itu hanya untuk sekadar menemani Isaura menonton acara-acara televisi kesukaannya. Biasanya Sagala akan duduk di lantai beralaskan karpet berbulu sembari mengerjakan kerjaan-kerjaannya di depan televisi sementara Isaura akan duduk di sofa yang kini ditempati Sagala.
Setelah beberapa kali memainkan chord gitar yang sama, Sagala kini sudah menghafalnya di luar kepala. Suara penyanyi asli lagu itu pun terdengar mengalun sembari ia memetik gitarnya.
Sementara itu, tepat di depan pintu rumah Sagala kini Rena tengah berdiri termenung masih dengan pakaiannya yang ia gunakan ke acara wedding anniversary orang tua Selene tadi.
Jarinya mengambang kaku tepat di depan bel rumah Sagala. Secara samar-samar Rena dapat mendengar samar-samar suara gitar yang sedang dipetik oleh Sagala.
Pikirannya kembali berkecamuk.
Apakah keputusannya tengah malam buta itu tepat?
Lalu setelah ini apa? Jika ia mengetuk pintu rumah ini dan berbicara dengan Sagala, lalu apa?
Ia sudah mengatai Sagala egois beberapa hari lalu, namun sekarang apa yang ia lakukan juga sama egoisnya.
Jika Sagala sudah hendak melepaskannya, mengapa kini ia kembali mendatangi Sagala?
Rena terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar suara kunci pintu yang diputar dan tak lama setelahnya ia bertatapan dengan Sagala.
Kondisi Sagala tidak jauh berbeda dengannya. Mata Sagala cukup merah di balik kacamata yang ia gunakan.
“R-Rena?!” ucap Sagala terkejut. Namun tak lama kemudian ia segera menarik Rena memasuki rumahnya.
Mata Rena menangkap dua buah koper yang sudah berjajar rapi di ruang tamu. Seakan-akan mengingatkannya kembali bahwa Sagala akan pergi.
“Kamu ngapain malem-malem kesini?! Sama siapa?!” cecar Sagala.
“S-sendiri….”
“Astaga Rena!! Ini jam berapa Ren?! Bahaya banget Rena! Kamu juga pakai baju kayak gitu! Tunggu disini bentar.” omel Sagala merujuk pada shoulderless dress berwarna hitam yang dikenakan Rena.
Sagala meninggalkan Rena sejenak, memasuki kamar tidurnya. Ia kemudian kembali dengan sebuah hoodie berwarna abu-abu.
“Udah malem, dingin. Kamu nggak tahan dingin kan? Pakai aja dulu ini.” ucap Sagala yang kemudian kembali meninggalkan Rena.
Sang pemilik rumah sengaja menyibukkan dirinya di dapur untuk memberinya jeda waktu berpikir. Ia sama sekali tidak tahu harus berekspektasi apa dengan kehadiran Rena di rumahnya. Ia sendiri mempertanyakan apakah saat ini nyata adanya atau hanya mimpi belaka.
Akhirnya Sagala memilih untuk menyeduh dua cangkir teh hangat, untuknya dan untuk Rena.
Diletakkannya cangkir teh tersebut di depan meja kaca di ruang tengah.
“A-ada apa Ren? Kamu kesini malam-malam gini?” tanya Sagala berusaha membuka percakapan.
Jantung Sagala berdegup kencang, bahkan jika ia boleh sedikit hiperbola, Sagala rasa setiap detiknya berdegup lebih kencang dan lebih kencang lagi. Menerka-nerka jawaban yang akan diberikan oleh Rena.
“Kalau hari itu aku nggak denger ucapan kamu, apa kamu bakal kasih tau aku semua rencana kamu ini?”
Sagala terdiam menatap Rena yang ada di hadapannya yang kini terlihat sangat kecil di balik hoodie yang ia berikan tadi. Apalagi dengan gestur tubuhnya yang terlihat penuh keraguan. Sagala pun menyadari bahwa Rena sebisa mungkin menghindari kontak mata dengannya.
“Please jujur, ga….” ucap Rena yang tiba-tiba menolehkan wajahnya menatap Sagala.
Keduanya kini beradu pandang. Membuat Sagala menyadari bahwa mata Rena terlihat cukup sembab. Pancaran mata Rena pun penuh rasa lelah.
You owe her the truth, Wening…” batin Sagala.
“Nggak, Rena. Aku nggak pernah sekalipun ada rencana untuk kasih tahu kamu semuanya. Hari itu aku cerita ke Sashi karena aku juga tersiksa bohong sama kamu. I just need to let it out, hoping that maybe Sashi bisa bantu aku mengurai jalan pikiran aku yang kusut. Walaupun kamu gak denger ucapan aku hari itu, aku nggak akan cerita ke kamu tentang semua yang udah aku lakuin. Aku juga masih tetap akan pergi kayak sekarang sambil berharap suatu hari nanti kita ketemu lagi di waktu yang tepat.”
Rena kembali memalingkan wajahnya dari Sagala. Setetes air mata kembali terjatuh di pelupuk matanya. Namun tak lama kemudian Rena kembali menatap Sagala saat ia merasa Sagala menarik tangannya dan meletakkannya tepat di dada Sagala.
“Kamu buat aku kayak gini Rena, can you feel that? What we feel are mutuals, Rena. Aku nggak pernah ada niat mainin perasaan kamu, Rena.” ucap Sagala sembari tersenyum walau kini ia pun mulai berkaca-kaca.
“I admit, awalnya aku cuma berusaha deket sama kamu untuk mancing ayah aku. Tapi niat awal aku adalah deket sama kamu sebagai teman but my feeling grows into something more. It terrifies me, a lot. Aku nggak takut kehilangan license aku, I’m afraid I make you into someone I hate. I hate cheaters Rena. What I did, what we did, almost makes you one. I hate myself for that.” lanjut Sagala.
“How you were so sure, Sagala? Kamu bukan Tuhan. Kenapa kamu lakuin itu semua?”
Sagala menangkup tangan Rena di dalam genggamannya. Ia bersyukur setidaknya Rena masih membiarkannya untuk melakukan kontak fisik seperti ini.
“Manusia itu tempatnya memupuk dendam, Rena. Walau aku udah menerima fakta kalau ayah aku tega kayak gitu, bukan berarti aku nggak dendam sama dia. Any slight chance to hurt him, I will take it. Sidang pertama kamu, disana aku baru tahu kalau kantor ayah aku yang ngewakilin Azkan. Disaat itu juga aku berambisi buat ngalahin ayah aku, embarrass him, anything will do. Aku mutar otak aku gimana caranya menangin kasus kamu. Then it happened, inget waktu kita makan steak? Disana aku sadar kalau kita diikutin orang. I know how he works. Tapi setelah beberapa kali aku lihat orang itu, aku sadar kalau yang diikutin bukan kamu tapi aku. My fathers knows my previous ex-es, jadi aku menyimpulkan dia mau pakai cara kotor. I took his bait.”
“Aku nggak tahu harus ngomong apa, kamu gila…”
Keduanya terdiam.
Sagala yang masih menggenggam tangan Rena berusaha membaca mimik muka Rena. Kembali menerka-nerka apa yang harus ia lakukan.
“S-since when?” tanya Rena lagi.
“Apanya? Aku suka sama kamu atau aku sadar perasaan aku ke kamu?”
“Both..”
“Aku nggak tahu kapan aku mulai suka kamu. Tapi yang jelas aku mulai peduli sama kamu, more than I should, waktu aku datang ke apartemen kamu malam-malam. Habis kamu ribut itu. But aku sadar I have this feeling for you at the theater. I almost kissed you.”
“H-huh?”
“Waktu itu kamu udah tidur di bahu aku. It feels nice to have someone to spend my time with dan udah lama banget aku nggak ngerasa kayak gitu. Disitu aku egois. Aku tahu apa yang aku lakuin salah tapi aku selalu bilang ke diri aku sendiri, ‘it’s okay this gonna be the last.’. Gitu terus tiap hari. Then puncak happened, then that day happened. D-do you hate me more now?” tanya Sagala mengakhiri paparannya.
Rena menarik tangannya dari genggaman Sagala. Lalu menangkupkan kedua tangannya menutupi wajahnya.
Ia tertunduk.
“Aku nggak tahu, ga…. Aku bingung sama diri aku sendiri. I hate you but I do miss you. Apa yang aku bilang di balkon kemarin itu yang aku rasain selama ini. Awal aku temenan sama Sashi itu pas di hari ulang tahun kamu, sebelum kamu pergi. Dia lagi beli pastries buat ulang tahun kamu, aku lagi ada di toko yang sama di mall dimana kita nonton. She saw me cry over a croissant. Dia gak dateng ke ulang tahun kamu kan waktu itu?”
Sagala mengangguk.
“Even smallest things reminds me of you but then waktu aku inget kamu, aku keinget hari itu. So if you ask me, do I hate you? I don’t know, ga. Any question about you, I don’t know the answer.”
Kini ganti Sagala yang meneteskan air matanya. Ia sama sekali tidak menyangka sebesar itu dampak perbuatannya terhadap Rena. Ia kemudian berpindah posisi, kini bersimpuh di depan Rena.
“Rena….aku minta maaf buat semuanya. Maaf karena ambisi aku justru kamu yang jadi tersiksa kayak gini. Can I borrow your phone?” tanya Sagala.
“H-huh?”
“Pinjem bentar handphone kamu.”
Rena kebingungan mendengar ucapan Sagala. Namun ia memilih untuk mengabulkan permintaan tersebut.
Gawai pribadinya itu kini berada dalam penguasaan Sagala.
Rena melihat bagaimana Sagala mencari kontak dirinya dan menghapus semua chat mereka. Sagala kemudian menghapus semua riwayat komunikasi mereka, termasuk nomor pribadinya dari ponsel Rena.
“Sagala!” pekik Rena merebut ponselnya ketika ia menyadari apa yang dilakukan Sagala.
“I like you, I do. Aku sayang sama kamu, Rena. Tapi kalau setiap kali kamu lihat aku malah bikin kamu tersiksa, then I choose to let you go. Maybe dengan kamu dengar penjelasan aku kayak gini, kamu bisa sedikit lebih lega dan lebih mudah buat belajar melupakan semuanya. We start it slow, aku hapus kontakku dari handphone kamu.”
“It is not your place to do that, Sagala!”
“Kamu nggak pernah bener-bener berusaha lupain aku, Rena. That way, kamu bakal terus-terusan tersiksa sama memori tentang aku.”
“But we can start it from a clean slate, ga! Nggak harus sedrastis ini!” protes Rena
Sagala tersenyum kemudian kembali duduk di sebelah Rena. Tangannya menangkup wajah Rena.
“Rena, kita nggak akan pernah bisa jadi teman. Aku pengen kita bisa kayak Yesha dan Mahen, kayak Sashi dan Selene. Sedangkan kamu nggak akan pernah bisa siap kalau kamu sendiri masih tersiksa sama semua memori tentang aku. Aku tahu kamu liat story aku kan? Kinda cringe but I meant it. I’m trying to let you go and hoping you’re gonna be happy from now on.”
“Ga…..” ucap Rena pelan. Ia sudah tidak peduli akan air mata yang sudah membasahi wajahnya.
Melihat kondisi Rena seperti itu serta menyadari bahwa dirinya pun sudah tidak sekuat itu, Sagala kemudian memberanikan dirinya untuk memeluk Rena dengan erat.
“Please be happy Rena. Find yourself again, love yourself again. One day kalau kamu rasa kamu bener-bener siap, then I will be there. But even if kamu nggak pernah siap, just know that it’s okay. Jangan paksa diri kamu ya?”
Rena membenamkan wajahnya di ceruk leher Sagala. Ia hanya mampu terisak dalam diam sembari berusaha menarik nafasnya sedalam mungkin ketika dadanya mulai terasa sesak.
Dari sekian banyak skenario yang terbayangkan oleh Rena, tidak satu pun terjadi malam itu. Perasaannya tak keruan. Namun ia tahu apa yang Sagala ucapkan seluruhnya benar.
“Please jangan pernah nangis karena aku lagi ya Rena….”