41. Sidang Pertama
Sudah lebih dari lima belas menit ia tiba di parkiran gedung pengadilan. Rena cukup nervous untuk turun dari mobilnya dan menghampiri lokasi yang tadi sudah disebutkan oleh Sashi.
Rena tidak pernah membayangkan bahwa hari ini akhirnya datang juga. Setelah hampir tiga tahun berusaha untuk mempertahankan pernikahannya, akhirnya ia menyerah.
Pikirannya melompat jauh ke awal-awal masa pernikahannya. Dimana letak kesalahan dirinya? Azkan adalah pacar pertamanya, mungkin cinta pertamanya juga tetapi Rena kini tidak yakin akan hal ini.
Awal pernikahannya dengan Azkan diselimuti dengan penuh kasih sayang, romantisme, kehangatan. Bahkan mereka digadang sebagai pasangan idaman.
Rena tidak paham mengapa semuanya bisa berubah drastis. Memasuki tahun kedua pernikahan, Azkan berubah. Tidak ada lagi peluk hangat, perhatian, kasih yang selama ini ia dapatkan.
Perlahan Azkan juga mulai menunjukkan sisi yang selama ini tidak Rena ketahui. Azkan mulai pulang mabuk, beberapa kali Rena mencium bau parfum wanita yang bukan miliknya. Ketika ia menanyakan hal itu, Azkan akan mengamuk. Pria itu juga mulai main tangan.
Hampir tiga tahun hidup dalam kebohongan dan diikat dalam pernikahan yang penuh sandiwara serta tekanan. Rasanya ia hampir gila.
Rena kembali menghisap vape yang dua tahun belakangan ini selalu ada di dalam tasnya. Alasannya simple, ia butuh pelarian sesaat. Walau sudah berkali-kali diperingatkan oleh orang terdekatnya, Rena tidak peduli. Toh pelariannya ini hanya akan merugikan dirinya saja, ia tidak memakai narkoba atau gonta ganti pasangan.
Awalnya ia sempat mencoba rokok. Namun asapnya terlalu pekat dan baunya menempel pada tubuh. Ia tidak ingin keluarganya tahu kalau dirinya sudah ketagihan menghirup nikotin, akhirnya Rena mencari alternatif lainnya yang tidak meninggalkan jejak.
Ingin rasanya ia mengambil jalan kekerasan. Entah menyewa preman atau pembunuh bayaran untuk membalaskan sakit hatinya.
Namun seorang Justicia Renata memiliki harga diri dan nama baik dirinya serta keluarga yang harus ia jaga.
Mata Rena tertuju pada hilir mudik orang-orang yang berada di kawasan pengadilan. Ia mulai merasakan keringat dingin. Dipejamkan matanya sesaat lalu ditariknya napas dalam-dalam.
Bahkan rasanya hari ini lebih mendebarkan ketimbang waktu ia ikut kontes kecantikan.
Tepat pada saat ia membuka matanya, Rena disajikan pemandangan sebuah mobil listrik berwarna galaxy blue terparkir di sebelah mobilnya. Mengokupasi ruang sempit yang tidak bisa diisi oleh mobil normal.
Alisnya mengernyit, mobil ini cukup ia kenal.
Benar saja karena tak lama kemudian sosok Sagala turun dari mobil tersebut.
Rena tertawa saat melihat Sagala berkaca pada pantulan kaca mobilnya. Pengacaranya itu juga terlihat sedikit nervous. Ia melihat bagaimana Sagala menarik napasnya dan merapikan setelan blazer yang ia pakai. Sagala bahkan juga merapikan rambutnya dan memeriksa riasan tipis di wajahnya.
Rupanya seorang pengacara juga bisa merasakan nervous menjalani pengadilan.
Rena akhirnya memilih untuk turun dari mobilnya. Mungkin memasuki gedung pengadilan bersama Sagala bisa membuatnya lebih tenang.
Sementara itu, Sagala justru mendapatkan kejutan saat ia mendengar pintu mobil di sebelahnya terbuka.
Kejutan itu berlanjut ketika ia mendapati mobil disebelahnya adalah milik Rena.
“Pak Gusti, saya turun ya pak. Bapak tunggu disini aja.” ujar Rena pada supirnya yang menunggu tidak jauh dari lokasi mobilnya terparkir.
Selalu demikian, Rena selalu meminta drivernya untuk menunggu di luar ketika ia sedang resah dan butuh untuk menghirup vapenya.
Kejadian dengan Sagala di luar kebiasaannya. Mungkin karena ia resah ketika menyadari bahwa tekadnya untuk bercerai sudah bulat. Mungkin juga karena ia khawatir mengetahui bagaimana respon Azkan.
“Kok telat sih? Masa duluan klien daripada pengacaranya.”
Tuhan….
Sagala memejamkan matanya.
Belum ada 5 menit dan Rena sudah memancing emosinya.
“Maaf ya Rena, saya nggak telat. Sidang kamu masih nunggu antrian. Lagipula, klien saya nggak cuma kamu. Terakhir, lead kasus ini Sashi bukan saya. Jadi yang harus standby buat kamu itu Sashi.”
Rena hanya mengendikkan bahunya.
Khawatir keributan akan terjadi, Sagala buru-buru meninggalkan Rena. Ia berjalan ke arah ruang tunggu sidang yang tadi sudah diinformasikan oleh Sashi.
Sayangnya Rena justru mengekor dibelakangnya.
“Hari ini kita ngapain? Gue harus apa?” tanya Rena yang berlari kecil berusaha mengejar Sagala.
“Sidang pertama, kamu duduk diem manis aja. Kalau ada hal-hal yang mau disampaikan, bisa bisikin ke Yesha atau Sashi. Jangan gegabah ngeluarin statement apapun. Semua bisa dicatat dan dijadiin amunisi sama lawan.”
Rena mengangguk paham.
“Nggak bisikin ke lo juga?”
“Boleh ke saya juga.”
“Terus apa lagi yang gue gak boleh lakuin?“
“Bukannya kemaren udah di briefing Sashi ya?”
“Udah tapi lupa. Nervous soalnya. Jadi gak boleh apa lagi?” tanya Rena lagi.
Sagala berhenti berjalan sejenak. Ia memandang Rena beberapa saat. Cukup membuat Rena terkejut karena ia hampir menabrak Sagala.
“Ngevape di dalam Ruang Sidang. Saya lihat tadi kamu ngevape. Segitu ketagihan?”
Rena memutar kedua bola matanya malas.
Tangan Sagala merogoh kantung blazer yang ia kenakan. Kemudian ia meraih tangan Rena dan membuka telapak tangan kliennya itu.
“Permen karet, jangan ditelen. Nanti bukan kena kanker atau sakit gigi tapi malah usus buntu. Hari ini Milkita saya udah mau habis jadi nggak bakal saya kasih Milkita.”
Sagala kemudian melenggang pergi meninggalkan Rena yang masih terbengong melihat tingkahnya.
Sementara itu Rena masih memandangi permen karet big babol stroberi yang ada di tangannya. Sebuah tawa terlontar dari sosok seorang Justicia Renata.
“Sagala…. Sagala.. selain cepu ternyata lo suka makan permen ya? Kak Tei kok bisa hire bocil kematian kayak lo sih?” tawa Rena.
Tanpa Rena sadari, keunikan Sagala pagi itu sukses mengurangi rasa khawatir dalam dirinya.