53. Call a Truce

Dengan adanya insiden kemarin, Sashi berniat untuk mempercepat semua proses pengumpulan bukti. Posisi tim mereka berada di atas angin saat ini.

Walau demikian, Sashi tetap bersikukuh untuk mendapatkan informasi tentang anak di luar nikah hasil perselingkuhan Azkan. Jika ia mendapatkan bukti itu, ia rasa tamat sudah perjuangan musuhnya.

Hari itu Sashi mengadakan meeting lagi dengan timnya, kali ini Teira memimpin langsung.

“Om Anta udah kasih greenlight ke aku. Dia bilang keselamatan Rena nomor satu. Jadi dia udah nggak peduli kalau kasus ini bakal narik perhatian media.” ujar Teira.

“Kasus KDRT-nya gimana? Kita majuin ke polisi juga kan?” tanya Sagala.

“Kita tunggu keputusan Rena. Hari ini dia mau kesini katanya.” jawab Teira.

“Lo approach dia lah kak. Kasih pengertian. Bujuk supaya masukin laporan polisi. Ini nggak main-main lho kak? Azkan gorila itu gila banget.”

“Sabar Wen. Rena juga kan baru terguncang, lo nggak bisa mikir dengan jalan pikir lo sebagai lawyernya. Pikirin Rena yang sekarang posisinya jadi korban.” potong Sashi.

“Bukan gitu Sas. Semakin lama lo ulur, semakin lo ngasih waktu ke timnya Azkan buat cari celah. Kita gempur sekarang biar mereka gak fokus dan kewalahan.”

“Gue setuju, tapi balik lagi Wen. Kita cuma kuasa dari Rena. Kita gak bisa memutuskan sendiri. Kasih saran is one thing, memutuskan is another thing.” balas Sashi.

“Aduh pake segala video kemaren ternyata nggak kekirim ke Yesha lagi.” dengus Sagala.

“Gak ada kak. Suwer gue udah check whatsapp dari lo nggak ada sama sekali.” ujar Yesha.

“Yaudah yang lewat jangan kelamaan dipikirin. Sekarang moving forward, kita ada amunisi apalagi?” tanya Teira pada forum.

“Karin sama Yesha bilang mereka dapet sesuatu. Ale juga.” ujar Sashi.

“Okay? Apa?”

“Jadi kakak gue baru inget kalau anaknya si Azkan ini, ulang tahun kemaren maret. Dirayain, di rumah anaknya. Perayaannya tertutup jadi emang cuma beberapa orang doang yang di undang. Nggak ada terlalu banyak foto, tapi ada satu foto yang nunjukin kalau Azkan dateng kesana.”

“Wah brengsek banget ini orang. Selingkuhnya udah terang-terangan.” ujar Sagala.

Teira mengabaikan sumpah serapah Sagala. Ia menatap foto yang ditampilkan pada layar.

“Nggak cukup kata gue kak. Ini kurang kuat. Azkan bisa berkilah dia dateng kesana karena kenalan salah satu orang yang ada di undangan.” lanjut Sagala.

“Setuju, tapi kita tampung dulu. Yesha lo dapet apa?” tanya Sashi

“Tadaaa! Kejadian semalam. Setelah peristiwa di rumah Rena, kak Sashi minta buat gue coba mantau rumah Azkan. Dia keluar agak malem dan bener kata kak Sashi, dengan emosi dan nalarnya yang gak jalan itu, dia clubbing.” ujar Yesha sembari menunjukkan senyuman bangga

Yesha menunjukkan sebuah video dengan latar belakang sebuah elite night club. Videonya memang agak sedikit goyang dan terlalu bising, namun Sagala sangat mengenali sosok Azkan disana yang sedang bermesraan dengan seorang wanita. Secara tidak sadar ia meremas tangannya kesal.

“Sial banget video gue gak ke kirim. Azkan masih pakai baju yang sama disana! Gila ya ini orang? Abis mukulin istri sendiri terus ke night club? Buat apaan? Unwind? Sinting!” kesal Sagala.

“Nice. Ini bisa kita pakai. Tapi harus ada bukti pendukung lainnya, i mean bisa aja dia berkilah kalau ini baru kejadian satu kali.” ujar Teira.

“Oh tenang kalo itu kak, bukti tambahan kita ada di Ale. Dia kemaren gue suruh ke lokasi syuting, kita dapet info kalau ternyata script writernya having affair sama Azkan. Gue sama Ale bakal coba untuk dapetin info dari script writer itu.” jawab Sashi.

“Gila banget ini si Azkan kayak orang gak bisa jaga hormon. Gue gak heran kalau dia bener-bener punya simpanan sebanyak itu. Anak lo cewek, bego banget Azkan. Semoga anak lo gak kena karma dari bapaknya.” dengus Sagala kesal.

Pembicaraan di ruangan itu terhenti ketika sekretaris Teira mengetuk pintu dan berjalan memasuki ruangan.

“Bu Teira, Bu Rena sudah datang.”

“Okay, tunggu lima menit ya. Saya wrap-up yang disini dulu.” ujar Teira yang dibalas dengan anggukan oleh sekretarisnya.

“Oke jadi buat next-nya adalah Sashi dan Ale kalian yang cari informasi tentang si script writernya. Karin tetap coba pantau anaknya Azkan ya. Buat Gisha, Meira kalian lanjutin laporan sidangnya dulu. Terutama hasil rekaman sidang kemarin juga itu tolong dilihat lagi dan pastiin nggak ada satupun yang kemarin kita kelewatan. Yesha sama Yuki siapin berkas kita untuk sidang selanjutnya, kalau mau nyicil berkas-berkas lain juga boleh.”

“Gue ngapain?” potong Sagala.

“Lo stay dulu di ruangan ini, ada tugas khusus. Yang lain bisa keluar.”

Satu per satu anggota tim merapikan barang-barang mereka dan meninggalkan ruangan. Menyisakan Sagala dan Teira.

“Mau disuruh apa nih gue?”

“Rena mau ngomong sama lo. Gue nggak tau dia mau ngomong apa. Agak heran sih gue, kalian kan bawaannya berantem mulu. Tapi kalau diliat-liat, dia kayaknya paling nyaman sama lo. Jadi mungkin yang bisa bujuk rena buat ngajuin perkara KDRT-nya itu lo, Wen.”

Sagala menyilangkan kedua tangannya di depan dada, memilih untuk mendengarkan Teira terlebih dahulu.

“Now, hal lainnya yang mau gue omongin. Lo udah kan udah terbiasa kerja sama orang pemerintahan dan korporasi. Tadi lo denger kan bokapnya Rena udah gak masalah kalau kasus ini sampai ke media. Tugas khusus dari gue, yang pertama adalah sebisa mungkin kita tetep bawa kasus ini lowkey. But then, the moment ini kasus ke blow up, gue mau kita udah ada plan b.”

“Lo ngomongnya muter-muter deh kak. Jadi lo mau gue handle media nya atau cari info tentang bokapnya si gorila? Cari info tentang bokapnya gorila gue bisa, tapi kalo media gue gak yakin.”

“Terserah lo. Yang penting gue mau kita ada plan B. Sashi biar fokus urus kasus utamanya. Buat yang ini gue serahin ke lo.”

“Aduh ribet banget ini tuhan.”

“Kementerian bokapnya Azkan itu kementerian yang sering kerja bareng lo Wen.”

“I knooow. Lo mau gue cari tau dari bawahan-bawahannya?”

“Terserah, kayak yang gue bilang tadi, gue mau kita ada plan B.”

Sagala menggaruk pelipisnya yang tidak gatal untuk sesaat, “Iya deh ntar gue pikirin. Terus itu media gimana?”

“Hmm, nanti gue diskusiin sama bokap gue deh. Tapi lo coba pikir sesuatu deh. Mantan lo tuh dihubungin lagi, dia kan punya acara debat terkenal itu sama apasih itu podcast dia. Barangkali bisa kita jadiin senjata.”

“Idih ogah banget ngehubungin mantan buat beginian. Harga diri kak!”

Teira tertawa melihat wajah kesal Sagala. “Namanya juga usaha Wen.”

“Gak gak! Harga diri gue!”

Percakapan Teira dan Sagala terhenti ketika lagi-lagi ruangan Teira diketuk. Kali ini oleh Rena yang kemudian terlihat mengintip dari luar ruangan.

“Gue tinggal dulu, katanya Rena mau ngomong sama lo. Jangan berantem ya Wen.”

“Tuh kan gue mulu! Dibilangin gue tuh selalu sabar sama klien!” dengus Sagala yang kesal karena kembali menjadi tertuduh.

Teira hanya tertawa dan melambaikan tangannya. Berjalan ke arah pintu dan mempersilakan Rena untuk masuk.

“Gue ke toilet bentar ya Ren.” ujar Teira sedikit berbohong, ia ingin memberikan privasi pada Rena.

Sagala cukup kikuk saat Rena tersenyum ke arahnya. Pada akhirnya Sagala menganggukkan kepalanya kaku. Hal ini membuat Rena tertawa namun harus meringis kesakitan ketika tawanya terlalu kencang. Sudut bibirnya masih terluka akibat tamparan Azkan kemarin. Sagala pun masih bisa melihat ada sedikit sisa salep di sudut bibir Rena.

“Thank you ya buat yang kemarin.” ujar Rena.

“Oh itu, uhm… iya sama-sama. Sesama perempuan harus saling melindungi aja gak sih?” balas Sagala kikuk.

Rena menggeleng, “Kata kak Teira kamu nggak bisa bela diri, tapi kamu justru ngebahayain diri kamu kayak kemaren. It means a lot.”

Sagala mengendikkan bahunya. Ia pun menyadari hari ini Rena jauh lebih tenang dan ramah dibandingkan biasanya. Ditambah, hari ini Rena menggunakan sebutan formal yang jauh lebih halus.

“Dia kemaren kena tampar itu kepalanya apa ikutan kejedot ya? Kok jadi baik banget gini.” batin Sagala.

Rena kemudian menyodorkan sebuah paper bag ke arah Sagala.

“Uhm, Sagala, ini buat ganti handphone kamu yang kemaren. Jangan ditolak ya.”

Kini kening Sagala mengkerut. Apakah lagi-lagi Teira mengadukan dirinya ke Rena? Karena percakapan tentang ponsel itu hanya ia lakukan dengan Teira.

“Kak Tei yang nyuruh?”

Rena menggeleng. “Aku kan kemaren juga ada disana. Aku liat handphone kamu rusak gara-gara Azkan. Sorry ya gak aku beliin iphone karena kata kak Tei kamu gaptek, nggak kebiasa pake iphone. Terus kemaren juga handphone kamu android nggak sih? Jadi aku beliin yang ini aja. Bukan model flip kayak yang kemarin, biar nggak patah lagi.”

Lagi-lagi Sagala menggaruk pelipisnya. Ucapan Rena terdengar sangat tulus tetapi mengapa harus ada hinaan gaptek disana? Namun Sagala menyadari bahwa Rena tidak ada niatan buruk. Lantas ia ambil paper bag yang disodorkan oleh Rena.

“Okay, saya terima nih ya. Tapi ini beneran?”

“Yes, anggap aja sebagai bentuk terima kasih.”

“Sure, makasih juga ya Rena. Saya emang belum sempat beli handphone, baru mau sore nanti.” ujar Sagala.

Kemudian Sagala menjulurkan tangannya ke arah Rena, “We call a truce ya?”

Rena kembali tersenyum menahan tawa, “Dari awal aku nggak nganggep kamu musuh.”

“Iya tapi sering banget ngehina, barusan aja ngatain gaptek.”

Rena kembali tidak bisa menahan tawanya, ia memalingkan wajahnya karena setelah tertawa ia kembali meringis kesakitan.

“Okay, okay a truce.”

“Sip.”

Rena membalas jabatan tangan Sagala dengan senyuman sementara Sagala sendiri sedikit merasa malu dengan adegan kekanak-kanakan ini.

“Cihuy udah baikan nih!” goda Teira dari ujung pintu.

“Nggak usah mulai deh kak!” sergah Sagala yang kemudian memalingkan pandangan ke arah Rena, “by the way saya pamit ya? Biar kamu bisa lebih enak ngomong sama kak Tei.”

Rena mengangguk.

“Oh Sagala by the way…”

Ucapan Rena sukses membuat Sagala berhenti berjalan, “Yes?”

“Nggak usah terlalu kaku lagi. Mau pake lo-gue boleh, aku-kamu juga boleh.”

Sagala tersenyum, “I’ll remember that. See you later ya Ren.”