61. Makan Malam

Rena kembali tertawa saat melihat pelayan menaruh pesanan miliknya dan Sagala di atas meja.

“Selamat makan” ujar Sagala.

“Aku nggak nyangka pesenan kita sama persis. Cuma beda di minuman aja. Sumpah tadi aku kira pas kamu nge-order itu kamu lagi orderin buat aku.”

Sagala tertawa, “Sorry ya Ren, kalau udah urusan perut sih urusan masing-masing ya. Kalau aku salah pesen terus kamu alergi kan bahaya.”

“Ya bener sih. Tapi nggak nyangka aja bahkan pilihan dagingnya sampe sama.”

“Hmm this or that. McD atau A&W?” tanya Sagala sambil mengiris steaknya.

“A&W! Aku suka banget wafflenya! Jangan bilang kamu milih A&W juga?”

Sagala hanya memberikan senyuman dan anggukan yang lagi-lagi membuat Rena tertawa.

“Okay gantian aku, hmm Dunkin atau J.CO?”

“Dunkin. I like it original and simple.” jawab Sagala.

“Ya ampun Sagaaa! Aku juga lebih suka Dunkin. Apalagi browniesnya itu.”

“Curang, ikut-ikutan.” ujar Sagala iseng.

Rena memukul bahu Sagala sebagai bentuk protes.

“Mana ada! Yaudah tes terakhir nih. PH atau Domino? Jawab barengan ya… 1…2…3…”

“PH”

“PH”

Kali ini keduanya tertawa bersama. Sagala meminum milkshake oreo miliknya sejenak. Kemudian ia menaruh pisau dan garpunya, tersenyum ke arah Rena.

“Kamu dikasih contekan sama Kak Teira ya?”

“Nggak lah!” geleng Rena yang kini gantian meminum milkshake strawberry miliknya.

Rena mendesis pelan ketika secara tidak sengaja sedotannya mengenai bekas luka di sudut bibirnya.

“Pelan-pelan Ren…”

“It's okay kok.”

“Sakit banget gak?”

“Sekarang sih nggak terlalu, kemaren ya sakit.”

Sagala terdiam. Ia paham maksud Rena. Sedangkan Rena hanya mengulas senyum singkat.

“Sagala, boleh jawab jujur nggak?” tanya Rena.

“Depends, apa dulu pertanyaannya?”

Rena menggigit bibir bawahnya sejenak sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan rasa penasarannya.

“Tadi kalian lagi bahas kasus aku kan? Sebelum aku masuk ruangan kak Tei.”

Sagala mengangguk.

“Azkan… Kalian udah dapet apa aja tentang dia?”

Sagala menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Menimbang-nimbang sejauh apa ia boleh menjawab pertanyaan Rena.

“Cukup banyak.” ujar Sagala singkat.

“Dia beneran udah punya anak sama orang lain?” tanya Rena.

Kali ini pertanyaan Rena cukup membuat Sagala terkejut. Pasalnya timnya belum berencana untuk membuka informasi ini kepada Rena. Selama ini ia hanya mengira bahwa Rena cuma tahu fakta bahwa Azkan berselingkuh.

Diamnya Sagala dianggap Rena sebagai jawaban afirmatif atas pertanyaannya. Rena mengaduk-ngaduk minumannya dengan ekspresi yang sulit diartikan oleh Sagala.

“Apa dia selingkuh karena aku nggak bisa ngasih keturunan ya, ga?” tanya Rena pada Sagala.

“Nggak pernah ada alasan pembenaran untuk berselingkuh Ren.”

“Tapi mungkin kalau aku dan Azkan punya anak, mungkin dia nggak gini?”

“Ren, coba kita pikir dari sudut lain ya? Gimana misal kamu punya anak dan Azkan tetap selingkuh? I tell you sebagai orang yang ngalamin langsung, nggak enak Ren punya ayah tukang selingkuh.”

Rena terdiam. Ucapan Sagala sangat benar. Tidak ada yang bisa menjamin Azkan tidak berselingkuh walaupun mereka mempunyai momongan. Mungkin Rena justru akan merasa sangat berdosa karena telah membuat anak yang tidak punya salah apapun untuk ikut menanggung beban mental ini.

“Kita nggak pernah bisa memilih untuk lahir dari orang tua yang kayak apa, Ren. Mau denger cerita sedikit nggak?”

“H-huh?”

“Terlahir di keluarga yang nggak utuh itu nggak enak banget. Waktu kecil kadang dapat tatapan iba, kadang dapat tatapan nyinyir. Pas udah dewasa yang ada cuma amarah. Aku hampir kehilangan pekerjaanku karena amarah itu, untung ada kak Teira waktu itu. Walaupun endingnya aku dipindahin sama Pak Ares. Dulu banget aku satu tim sama Sashi.”