67

Setelah membaca secara singkat file yang dikirimkan oleh Seulgi, Irene justru menjadi lebih penasaran. Ia lalu teringat akan cerita Yerim bagaimana Yerim bahkan tidak pernah tahu seperti apa sosok Ibu dari Wendy, padahal Yerim sempat satu tahun tinggal serumah dengan Wendy.

Irene benar-benar ingin segera pulang dan memahami lebih jauh tentang Philophobia dan Wendy. Sebenarnya bisa saja ia menyuruh orang untuk menyelidiki hal ini untuknya namun entah mengapa Irene ingin mendengar semuanya dari Wendy, bukan dari orang lain.

Karena Irene tahu jika ia melakukan itu semua, maka Wendy akan benar-benar marah dan menjauh darinya dan entah mengapa Irene tidak ingin hal ini terjadi.

Irene menyendok kembali es krim cokelat yang ada di tangannya itu. Di saat seperti ini memakan makanan yang manis selalu menjadi pilihan Irene. Mungkin terdengar aneh tapi Irene selalu merasa lebih tenang ketika ia bisa menyantap es krim cokelat di saat hatinya berdebar tak karuan.

Sejatinya Irene harus bersyukur karena acara malam ini jauh dari kata-kata formal. Ia bisa bernapas sedikit lebih lega dengan hadirnya orang-orang yang ia kenal di antara puluhan orang asing lainnya. Setidaknya dengan kehadiran Yerim, Jennie, dan Seulgi membuat suasana terasa lebih familiar.

Irene tersenyum kecil saat ia melihat Seulgi dan Sooyoung, yang notabene merupakan kekasih Seulgi, sedang asik berbincang, dan Yerim yang terlihat masam karena harus menjadi orang ketiga di antara Seulgi dan Sooyoung.

Mata Irene kemudian mengedar ke seisi ruangan dan pandangannya jatuh pada Wendy yang sedari tadi sibuk mengaduk-aduk minumannya itu.

Irene yang masih memiliki banyak pertanyaan terhadap ucapan Wendy siang tadi, kemudian memilih untuk menyambangi wanita yang lebih muda darinya itu.

“Boleh saya duduk sini lagi ya Wendy?”

Wendy cukup terkejut ketika ia mendengar suara Irene. Walaupun mereka sempat berbagi meja, tetapi mereka sama sekali tidak berbincang sedikit pun. Wendy kira saat Irene meninggalkan meja mereka, artinya Irene sudah lelah dengannya. Namun tampaknya Wendy salah.

Irene tanpa menunggu jawaban Wendy sudah menarik kursi yang ada tepat di sebelah kiri Wendy.

“Apa yang kamu lakukan tadi siang itu benar-benar mengejutkan saya Wen. Sampai sekarang saja saya masih mikir kamu itu serius atau nggak.” ujar Irene membuka perbincangan mereka.

Wendy tetap terdiam dan hanya mengendikan bahunya. Ia tahu Irene saat ini hanya ingin berbicara dengannya tanpa meminta respon balik.

Sementara itu, Irene memutar badannya perlahan sehingga saat ini ia benar-benar menghadap ke arah Wendy.

Sebut ia sombong, tetapi Irene selalu percaya diri dengan kemampuannya membaca gesture tubuh lawan bicaranya. Kemampuan ini pula yang membawanya sampai ke posisinya saat ini, tidak sedikit tender project yang ia menangkan karena ia sanggup membaca gesture dan keinginan dari klien-kliennya.

Irene kini menatap Wendy, berusaha untuk memperhatikan setiap gerak-gerik wanita itu.

“Papa kamu tahu tentang yang kamu ceritakan ke saya tadi siang?”

Napas Wendy sedikit tercekat dan hal ini tidak luput dari pengamatan Irene.

“He....kind of knows it.”

“Kind of?”

“Well he knows it but he thinks gue udah sembuh.”

Jawaban Wendy menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lainnya di benak Irene. Namun Irene tahu ia tidak boleh menekan Wendy jika ia ingin mengumpulkan kepingan demi kepingan puzzle.

“I see.... Maaf kalau saya lancang, tapi kenapa kamu gak jujur ke papa kamu kalau kamu belum sembuh Wen?”

Wendy tersenyum getir. “What for? It's better like this.”

“Sekali lagi maaf kalau saya lancang, tapi menurut saya kamu akan lebih mudah untuk menghindari perjodohan kalau kamu jujur dengan keadaan kamu Wen. I mean....” Irene menghela napasnya “Kalau kamu gak jujur sama papamu sekarang, let's say kamu bisa lepas dari perjodohan dengan saya tapi bukan berarti kamu gak akan dijodohkan dengan orang lain kan?”

Mendengar pernyataan Irene, Wendy kini menengokkan kepalanya dan menatap Irene dengan serius. “Well, thanks for your concern kak but-...”

“Kalian berdua di sini rupanya!”

Irene tidak pernah sekesal ini terhadap ayahnya tapi sungguh kalau bisa Irene ingin berteriak, meminta agar sekali saja ayahnya itu tidak hadir di saat yang tidak tepat.

“Hehe Seungwan maaf ya om ganggu nih waktu kamu sama Joohyun. Om tahu tadi di awal acara kita kan udah perkenalan, tapi ada kolega om yang baru datang nih.”

Mendengar ucapan ayahnya itu, Irene tahu kalau dirinya dan Wendy harus berakting lagi. Melihat Irene yang berdiri dari kursinya, Wendy pun mengikuti Irene. Ia tahu ia harus tetap bersikap sopan saat ini.

“Well, Joohyun kenalkan ya ini Andrew, kamu panggilnya apa ya? Om kali ya soalnya seumuran Ayah. Dia ini CEO dari perusahaan IT.” ujar Ayah Irene sembari memperkenalkan koleganya itu.

“Malam Om, terima kasih sudah datang malam ini.” Irene menjabat tangan laki-laki itu dan menunjukkan senyuman khasnya.

Wendy harus mengakui, aura Irene berubah seratus delapan puluh derajat menjadi sangat profesional. Sosok wanita yang ada di sampingnya ini memang mengagumkan.

“Malam Joohyun atau om panggil Irene? Om udah banyak dengar tentang kamu, bukan dari ayah kamu ini tapi dari sepak terjang kamu.”

“Irene aja biar lebih gampang om. Terima kasih pujiannya.”

“Oh iya Andrew, ini-...”

“Wendy om, teman saya.” Irene buru-buru memotong ucapan ayahnya itu, takut kalau-kalau ayahnya mulai berkata yang aneh-aneh.

“Halo Wendy. Wajah kamu agak familiar ya? Om kayak pernah lihat dimana gitu.” Andrew tersenyum.

“Well, mungkin Om pernah lihat di televisi. Wendy ini penyanyi om, well penyanyi, lyricist, dan music producer.”

Kini Wendy harus terkejut. Ia sama sekali tidak tahu kalau Irene mengetahui sebanyak itu tentang dirinya.

Sementara itu Ayah Irene terlihat sangat senang melihat tingkah Irene, ia berpikir kalau Irene dan Wendy mungkin memang sudah berkenalan lebih jauh lagi. Karena cukup jarang bagi seorang Irene untuk bisa cerewet seperti ini.

Sedangkan Irene? Ia sendiri terkejut dengan dirinya.

“Oh mungkin juga, soalnya istri om suka banget ngikutin acara entertainment gitu dia juga suka musik. Mungkin nanti cocok kalau ngobrol sama Wendy. Oh itu dia disana!” Andrew melambaikan tangannya, berharap agar istrinya itu melihat posisinya.

Entah mengapa gerakan dari laki-laki di depannya itu cukup menyita perhatian Wendy, ia pun turut melihat ke arah sosok sang istri dari Tuan Andrew ini.

Namun saat ia melihat sosok tersebut, Wendy justru merasa nyawanya hilang dari tubuhnya itu. Ia seakan-akan melihat sesosok hantu dari masa lalunya.

Tanpa Wendy sadari, ia menggenggam tangan Irene erat.

Irene yang terkejut dengan perbuatan Wendy langsung menatap ke arah wanita yang berdiri tepat di sebelah kanannya itu. Betapa bingungnya Irene ketika ia mendapati bola mata Wendy mengecil dan napasnya berderu dengan cepat seakan-akan ia memiliki kesulitan untuk bernapas dengan normal. Irene juga merasakan betapa berkeringatnya telapak tangan Wendy.

“Wendy kamu kenapa? Kamu sakit?” bisik Irene.

Wendy yang masih terkejut, sama sekali tidak menggubris ucapan Irene. Justru ia sama sekali tidak mendengarkan ucapan Irene.

“Nah ini dia istri om, kenalin Kathrine. Kath, ini Irene dan Wendy.”

“Halo Irene, selamat ya atas posisi kamu yang baru. Hebat banget udah bisa gantiin posisi papa kamu.” Kathrine mengulurkan tangannya untuk berjabatan dengan Irene.

Irene yang diajak berjabat tangan terpaksa untuk melepaskan tangan kanannya yang tengah dipegang erat oleh Wendy dan terkejut saat Wendy enggan melepaskan genggamannya itu.

“Wen...” bisik Irene sembari berusaha melepas genggaman Wendy.

Lagi-lagi Irene terkejut saat berhasil melepaskan genggaman tangan Wendy, wanita di sebelahnya itu sontak mencengkram ujung dari jaket hitam yang Irene kenakan.

Kathrine tersenyum ke arah Wendy dan Irene saat melihat tingkah dari dua gadis di depannya itu.

“Kalian berdua cocok banget ya. Tante senang lihatnya.” ujar Kathrine sembari menatap Wendy.

Entah apa yang terjadi pada Wendy namun ucapan itu justru membangunkan Wendy dari dunianya.

“Uhm itu tante kami...”

“T-terima kasih t-tante. Om, tante maaf ya Aku dan J-joohyun pamit duluan, aku gak enak badan.” Wendy memotong ucapan Irene dan segera menyeret Irene untuk mengikutinya.

“Permisi om Andrew, tante Kathrine.” ujar Irene terburu-buru. Tangan kanannya sudah ditarik oleh Wendy. Irene benar-benar bingung saat ini.

“Loh, ayah ditinggalin nih? Dasar anak muda!”

Ucapan ayahnya itu mendatangkan gelak tawa dari pasangan yang baru saja diperkenalkan dengan Irene.

Sementara itu, Irene mengikuti Wendy ke arah parkiran mobil dan kini ia baru menyadari bahwa tangan Wendy bergemetar hebat. Mendapati fakta ini Irene buru-buru mempercepat langkahnya dan berhenti tepat di depan Wendy.

“Wen, Wendy! Kamu kenapa Wen?” tanya Irene.

“K-kak please anter aku pulang kak....”

Mendengar suara lirih dari Wendy, Irene lagi-lagi harus terkejut. Sebenarnya apa yang terjadi?

“Wen? Kamu kenapa?” Irene berusaha bertanya lagi.

Sosok yang diajak bicara hanya menundukkan kepalanya dan menggeleng pelan.

“K-kak please?”

Irene benar-benar bingung. Ia hendak melayangkan pertanyaan lainnya namun segera terhenti saat ia menyadari bahwa Wendy menangis dan lagi-lagi terlihat seperti kesulitan untuk bernapas.

“O-okay kita pulang sekarang ya. Tapi kamu tenang dulu okay Wen? Tarik napas yang dalam ya.”

Wendy hanya mengangguk.

Irene berusaha untuk sedikit menunduk, ia ingin melihat ekspresi Wendy namun Wendy terus menyembunyikan wajahnya. Irene menarik napas dalam-dalam, hari ini merupakan hari yang penuh tanda tanya baginya.

“Okay let's go home.”