70. Sagala dan Rena

Entah apa yang ada dipikiran Sagala.

Ia pun berkendara sambil terheran-heran. Kenapa juga ia keluar rumah malam-malam hanya untuk memastikan bahwa Rena baik-baik saja?

Dengan pakaian seadanya Sagala keluar rumah dan melajukan Evy ke arah apartemen Rena. Ia melirik ke arah bangku penumpang dimana ia menaruh asal satu kantung plastik milkita miliknya.

“Sagala Wening lo kenapa deh?” gerutu Sagala.

Namun tetap saja Sagala melaju dengan kecepatan konstan.

Setelah beberapa kali terlihat mengunjungi tower apartemen yang dihuni Rena, kini satpam pun sudah mengenali mobil listrik milik Sagala.

Ia melambaikan tangannya pada satpam yang sedang berjaga lalu mencari tempat parkir yang kosong di dekat tower yang dihuni Rena.

Keuntungan mobil mini, ia lebih mudah mendapatkan slot parkir. Seusai memastikan bahwa mobilnya terparkir dengan rapi, Sagala berlari kecil ke arah lobby tower hunian Rena.

Tak lupa tangan kirinya membawa kantung milkita yang ia bawa dari rumah sedangkan tangan kanannya menelpon Sashi.

“Halo Sas? Udah sampe?”

“Sampe mana sih Wen maksudnya?”

“Apart Rena?”

“Udah daritadi. Rena udah gue drop tadi. Sekarang gue balik apart gue.”

“Okay. Hati-hati di jalan ya. Besok lo selesaiin yang sama Kak Teira aja. Gue yang di assign sama Ale.”

“Iya, tadi gue udah di infoin kak Tei. Gue tutup ya telponnya. Bye Wen.”

Setelah sambungan teleponnya terputus, Sagala menatap layar ponselnya yang menunjukkan ruang chat pribadi antara dirinya dan Rena.

Sekarang dirinya merasa konyol sendiri, berdiri di taman yang ada di dekat tower yang dihuni Rena dengan satu kantung plastik milkita yang ia bawa.

Sagala mengurungkan niatnya untuk menelpon Rena. Besok hari senin, walaupun ia tidak mengetahui jadwal kerja Rena tetapi Sagala berasumsi bahwa semua orang benci hari senin. Jadi lebih baik ia membiarkan Rena beristirahat karena dirinya pun butuh istirahat.

“Sagala?”

Sagala memutar tubuhnya ke arah sumber suara. Ia cukup terkejut saat melihat bahwa tak jauh dari tempatnya berdiri, ada Rena yang masih dengan balutan setelan dress berwarna hitam dan pouch bag berwarna senada.

“Kamu nggak langsung naik ke atas?”

Sebuah pertanyaan konyol karena nyatanya Rena berada di taman bersama dirinya.

Rena menggeleng. Tangan kirinya perlahan disembunyikan di belakang tubuhnya.

Gerak gerik Rena ditangkap oleh Sagala. Ia sudah dapat memprediksi apa yang Rena sembunyikan di tangan kirinya.

Sang pengacara menghela napasnya. Tangan kirinya ia sodorkan ke arah Rena.

“Barter sama yang ada di tangan kiri kamu.”

“H-huh”

“Pilih baik-baik apa aku ambil paksa? Berapa kali aku bilang sih Ren? Gak baik buat kesehatan kamu.”

“Iya kan buat aku aja? Gak ada hubungannya sama orang lain, Sagala. Let me have this one. I don't have anyone to share my burden with. Seenggaknya barang yang kamu benci ini bantu aku sesaat.”

Sagala terdiam. Ia sangat risih dengan jawaban Rena barusan.

“Tawarannya aku naikin kalau gitu. Barter pods kamu sama permen aku, plus aku janji bakal dengerin keluh kesah kamu. Anytime. Ya, kecuali kalau aku meeting sama klien.” tawar Sagala lagi.

Kening Rena mengerut. Ia sudah lupa kapan terakhir kali ada orang yang peduli akan dirinya. Kini seorang Sagala, sosok orang asing yang notabenenya 'hanya' pengacaranya, tiba-tiba datang dan memperlihatkan bahwa ia peduli.

Rasanya aneh.

Moodnya sudah acak-acakan sejak insiden tadi. Tanpa perlu dibuat kebingungan oleh sikap Sagala, mentalnya sudah sangat lelah.

Perlahan ia dapat merasakan pelupuk matanya memanas.

Akhirnya Rena melakukan satu-satunya hal yang bisa ia lakukan sekarang untuk menutupi tangisannya.

Ia berjongkok, memeluk dirinya sendiri. Menutupi wajahnya agak tidak bisa dilihat oleh Sagala.

Sagala sendiri cukup terkejut dengan tindakan Rena. Ia ikut berjongkok dan berusaha mengguncang tubuh Rena pelan.

“Ren…. Jangan nangis Ren… Sumpah aku bingung banget cara nenangin orang nangis gimana...”

“Stop Sagala… Aku capek. Stop… Just stop showing your fake sympathy. Kamu nggak perlu segininya banget untuk nge treat klien kamu…”

Sagala terdiam.

Ia kembali merasa tertuduh. Namun ia tahu, saat ini Rena sedang dalam kondisi kelelahan. Apa yang keluar dari mulut Rena kemungkinan besar tidak bermaksud untuk diutarakan.

“Es krim yuk Ren. Aku kalau badmood biasanya makan eskrim. Aku traktir deh. Mcflurry?” ujar Sagala yang masih berusaha membujuk Rena.

Usaha Sagala nampaknya masih belum berbuah apapun karena Rena masih tidak bergeming. Sagala pun akhirnya memilih untuk duduk di jalan setapak, tetap menemani Rena.

Sagala membiarkan Rena untuk menangis sejenak, sementara ia hanya melirik sesekali untuk memastikan bahwa Rena masih ada didekatnya.

“Kalau lagi kayak gini ya Ren, aku selalu keinget nasihat bundaku. Sakit hati itu wajar, yang gak wajar kalau kita terlalu lama ngebiarin sakit hati itu menggerogoti diri kita. Sampai kita lupa diri. Sebagai perempuan, emang kita lebih sering pakai perasaan. Tapi, ada adagium Cogito Ergo Sum. Aku berpikir, maka aku ada. Yang bedain manusia sama makhluk ciptaan tuhan yang lainnya ya karena manusia punya akal pikiran.” ujar Sagala sembari menepuk-nepuk bahu Rena yang masih bergetar.

“Sorry kalau keliatannya aku noisy banget. Aku juga gak paham kenapa. Oh, tapi-tapi, ada satu adagium lagi yang cukup penting. Opto Ergo Sum.”

“Aku memilih maka aku ada.” potong Rena yang perlahan mengangkat wajahnya.

Mata Sagala membulat mendengar jawaban Rena. Namun tak lama kemudian Sagala tersenyum lebar.

“Gak salah kamu jadi sepuluh besar Miss Universe. Pinter juga.” ledek Sagala.

Rena mendorong bahu Sagala dengan kesal.

“Jadi selama ini kamu mikir aku bodoh?”

“Bodoh sih nggak, nyebelin aja. Eh tapi bener jawaban tadi! Manusia gak akan pernah lepas dari pilihan yang ada dan kewajiban untuk memilih. Tinggal gimana kamu mau ambil pilihan yang baik diantara yang buruk. Contohnya, vape sama permen sama-sama buruk kan? Tapi masih lebih mending permen.” bujuk Sagala.

Rena menyeka sudut matanya yang masih basah. Sementara Sagala sengaja memalingkan wajahnya. Ia rasa Rena akan lebih senang jika diberikan sedikit privasi.

Mata Sagala kembali membulat ketika ia mendapati Rena menarik plastik berisikan permen milkita yang tadi ia tawari. Kemudian Rena menarik tangan Sagala dan memberikan podsnya.

“Kamu tadi janji barter dan dengerin keluh kesah aku. Gak boleh bail.”

Sagala tersenyum lebar. Misinya berhasil!

“Mau eskrim nggak?”