79
Hening.
Irene mengedipkan matanya berusaha mencerna informasi, yang lebih mirip sebagai pengumuman, yang baru saja diutarakan oleh Ayahnya dan diamini oleh orang tua Wendy.
Baru pertama kali seumur hidupnya Irene merasa bahwa ia ditodong oleh kedua orang tuanya itu. Pasalnya sore tadi saat ia belum selesai dengan pekerjaannya yang masih setinggi gundukan kue ulang tahun, tiba-tiba ia mendapatkan perintah dari Ayahnya untuk segera meninggalkan pekerjaannya dan datang ke restoran highclass tempat saat ini ia tengah duduk.
Tepat dua jam yang lalu, Irene cukup terkejut saat ia sampai di restoran ini, mendapati kedua orang tuanya dan Wendy beserta papanya sudah menunggunya. Kalau saja keadaannya berbeda, Irene mungkin sudah tertawa melihat wajah masam Wendy. Wanita yang terpaut 3 tahun lebih muda darinya itu sangat mudah ditebak suasana hatinya. Terlebih lagi, Wendy merupakan sosok yang sangat ekspresif, sehingga apa yang terpampang pada raut wajahnya merupakan tampilan yang paling jujur atas isi hatinya.
Perlahan Irene melirik Wendy yang duduk tepat di sebelah kirinya, berusaha untuk membaca suasana agar ia bisa memberikan jawaban yang paling tepat.
Mungkin kalau Wendy tidak jujur padanya beberapa hari yang lalu dan jika ia tidak meminta Seulgi untuk mengirimkannya satu file tentang penyakit yang diderita oleh Wendy, Irene akan dengan mudah menerima berita yang baru saja diumumkan Ayahnya itu.
Namun saat ini keadaannya berbeda, Irene tidak ingin Wendy untuk terjun dalam keadaan yang sangat memungkinkan untuk memperburuk kondisi kesehatannya saat ini.
“J-jujur...” Irene mengangkat suara, ia berdeham singkat saat mendapati suaranya bergetar.
“Jujur aku sama sekali gak menyangka tentang ini semua, ditambah aku dan Wendy sama sekali gak pernah berpikir untuk berhubungan ke arah sana. Kami pun baru bertemu kurang dari satu minggu. Aku rasa ini semua terlalu terburu-buru dan berlebihan. Apa ini karena aku naik jabatan dan statusku yang masih single di umur 30?” ujar Irene, matanya menatap lekat ke arah kedua orang tuanya itu.
Irene menunggu jawaban dari ayah maupun bundanya, namun ia tidak mendapatkan jawaban apapun. Sedangkan Wendy masih duduk dalam diam di sebelahnya.
“Well, it's not make sense. Whether I'm single or not, it's not going to affects my performance as a CEO, I promise that.” tambah Irene.
“Bukan karena itu Joohyun, Om tahu kalau kamu sangat kompeten untuk menyandang gelar CEO itu. Disini Om dan Orang tua kamu hanya mencemaskan anak kami masing-masing yang masih belum memiliki pasangan saat ini dan merasa kalau kalian berdua sangat cocok. Selain itu, Om yakin dengan hadirnya kamu di kehidupan Seungwan akan membawa kebaikan buat Seungwan dan begitu pula sebaliknya.”
“Joohyun, kehidupan pribadi dan pekerjaan adalah hal yang harus dipisahkan. Tapi ada saat dimana kehidupan pribadimu akan menjadi hal yang menguatkan kamu saat bekerja, contohnya kalau kamu punya pasangan, kamu punya tempat untuk berbagi dan berkeluh kesah. Tidak jarang juga Ayah berbagi dengan Bunda kamu dan kami saling menguatkan bahkan menginspirasi.”
“Okay I get it, but is it necessary? To put us in this......marriage? agreement? or what? Perjodohan? No offense, Wendy would be a great partner to anybody out there but like what I said earlier, aku dan Wendy bahkan gak kenal satu sama lain sedalam itu.”
Irene mulai merasakan frustrasi karena Wendy sama sekali belum membuka suara, bukankah wanita disampingnya ini yang waktu itu pernah secara terang-terangan menunjukan ke-engganan-nya akan perjodohan ini? Tetapi kenapa disaat seperti ini justru ia tetap diam?
“Joohyun, kalian bisa saling mengenal satu sama lain sembari menjalani hubungan kalian.” ujar orang tua Wendy.
“No pa, that's not how you start a relationship. Even when you already build your relationship with someone for years, it still can crumbles down.”
Suasana di meja nomor 39 itu berubah menjadi sangat tidak nyaman setelah Wendy selesai berbicara. Tampak wajah dari papanya mulai mengeras sedangkan orang tua Irene berusaha untuk tetap tenang.
“Satu tahun, papa dan keluarga Bae akan menunda pernikahan kalian satu tahun. Selama satu tahun kalian berdua bisa saling mengenal satu sama lain dan jika ternyata kalian memang tidak cocok maka pernikahan kalian akan dibatalkan. Tapi kalian harus berusaha semaksimal mungkin agar hubungan kalian ini berjalan dengan lancar. Bagaimana?” tawar laki-laki yang memiliki paras yang sangat mirip dengan Wendy itu.
“Well, Ayah setuju dengan ide ini. Ayah tahu pernikahan bukan hal yang bisa dijadikan permainan jadi ide ini cukup masuk akal, kalian juga punya waktu yang cukup untuk saling mengenal.”
“Tapi Bunda rasa akan lebih baik kalau kalian tetap bertunangan terlebih dahulu. Jadi kalian sama-sama berkomitmen dengan hubungan kalian. Ditambah kalian sudah sama-sama besar, sudah bukan saatnya untuk pacaran dan bermain-main dengan hubungan yang serius.”
Irene hendak mengangkat suara lagi namun ia merasakan Wendy menggenggam tangan kirinya yang berada di atas pahanya itu.
“Okay but let us do this in our pace? Terutama papa, aku gak mau ada siapapun itu yang ikut campur dengan hubungan aku dan Irene.”
“Sure. Oiya, tapi ada yang terlewat untuk disampaikan, mulai besok kalian akan tinggal satu atap. Anggap saja ini juga sebagai bentuk kalian mengenal satu sama lain, toh nanti kalau kalian menikah, kalian akan tinggal satu rumah.” ujar Tuan Son.
“Pardon?”
“Iya Joohyun, ayah rasa kalian berdua akan lebih bisa mengenal satu sama lain kalau kalian tinggal bersama. Kalian bisa pilih mau pindah ke apartemen atau rumah di daerah yang kalian suka, kami akan belikan sebagai hadiah untuk kalian.”
Irene memijat pelipisnya. Ia sama sekali tidak mengira akan serumit ini.
“Gak usah om, Irene bisa tinggal di apartemen aku aja. Lagi pula lokasinya juga di tengah kota dan jaraknya masih reasonable banget ke kantornya Irene. Gimana ren?”
“H-huh?” ujar Irene kebingungan.
Sejak kapan Wendy memanggilnya sesantai itu?
“Well kalau Joohyun setuju, kami juga setuju.” jawab Tuan Bae.
“Kamu yakin?” tanya Irene kepada Wendy. Ia sama sekali tidak bisa membaca apa yang ada dipikiran Wendy saat ini, namun jika tinggal di apartemen milik Wendy dapat memberikan Wendy kenyamanan, maka Irene tidak berkeberatan.
“100%.” ujar Wendy sembari menganggukan kepalanya.
“Well karena disini aku dan Irene sudah mengabulkan permintaan papa dan om juga tante, aku rasa it's only fair kalau gantian papa dan om-tante yang mengabulkan permintaan kami berdua.”
Irene menaikan alisnya, tanda ia tidak memahami apa yang Wendy inginkan namun cukup tertarik dengan intrik yang akan Wendy lakukan.
Sementara itu, Tuan dan Nyonya Bae serta Papanya saling melempar pandang sebelum mereka menganggukan kepala masing-masing.
“There is no ceremony for our so called engagement, no news as well. I'm afraid it's not doing any good for Irene and the company, for now. Because well I'm still an entertainer here.”
Irene yang dapat merasakan bahwa Wendy dan papanya itu mungkin akan beradu argumen lagi, dengan cepat menambahkan ucapan Wendy, “But we will still wearing our engagement ring. We only want to do this subtly tanpa ada komentar-komentar dari siapapun. Kami cuma mau menjalani ini tanpa ada campur tangan dari siapapun baik itu keluarga maupun publik. That's it. I think it's fair.”
Tuan Son menarik napas cukup dalam, “Okay, we will do that.”
“Okay, ayah dan bunda setuju. Tapi seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, kalian harus berusaha maksimal untuk saling mengenal satu sama lain lebih dalam lagi.”
Irene mengangguk pelan, toh ia tahu bahwa kedua orang tuanya maupun orang tua Wendy sama-sama sudah bulat dengan keputusan mereka.
Tanpa Irene sadari ia menoleh ke arah Wendy yang masih menampakkan ekspresi tenang.
Apakah ia yang terlalu berlebihan mengkhawatirkan kondisi Wendy?