83.

Sebuah ketukan pelan di pintu ruangan Teira menghentikan percakapan di antara Teira, Sashi dan Yesha.

“Sore bu Teira, bu Rena sudah hadir.” ucap sekretaris Teira.

Yesha secara otomatis menengok ke arah jam dinding. Rena datang lebih awal lima belas menit. Seingatnya Rena baru dijadwalkan untuk mengikuti rapat pada pukul empat sore.

“Oh okay, suruh masuk aja.”

Tak lama setelahnya Rena berjalan memasuki ruangan Teira. Ia mengulas senyuman kepada Sashi dan Yesha, lalu memilih untuk duduk tepat di seberang Sashi.

“Di jalan nggak macet Ren?”

Rena menggeleng, “Nebeng papa tadi, jadi pakai patwal makanya nggak macet.”

“Patwal?” celetuk Yesha keheranan.

“Papa kalau kemana-mana sewa jasa polisi pengawal itu. Time is money, katanya. Tadi dia mau berangkat ke embassy, ada undangan dinner atau apalah tadi papa sempet bilang. Mumpung searah, jadinya aku nebeng deh.” tawa Rena sedikit tersipu malu.

Yesha hanya bisa mengangguk pelan meskipun sebenarnya ia ingin menganga tidak percaya.

“Well, okay kalau gitu sekarang kita mulai aja. Lebih cepat mulai, siapa tau jadi lebih cepat selesai.” ujar Teira.

Rena menatap Teira sedikit kebingungan, pasalnya ia hanya melihat Sashi dan Yesha di dalam ruangan ini. Tidak ada kehadiran Sagala disana.

“Sekarang? Timnya udah lengkap? Atau nanti ada yang bakal nyusul lagi?” tanya Rena.

“Sudah. Beberapa anggota tim berhalangan hadir karena ada keperluan untuk kasus lainnya. Don’t worry, Ren. Sekarang ada Yesha dan kak Teira, cukup kok untuk pembahasan hari ini.” terang Sashi.

Rena menerima penjelasan Sashi. Ia paham seorang pengacara pasti sangat sibuk, hanya saja ia sedikit merasa kekosongan dengan tidak hadirnya Sagala pada sore hari itu. Padahal ia sudah sangat menunggu paparan Sagala.

Sashi mengangguk ke arah Yesha, memberikan tanda kepada Yesha.

Yesha menyodorkan sebuah dokumen yang tidak begitu tebal kepada Rena. Sang model hanya menatap ke arah dokumen tersebut dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Pada akhirnya Rena hanya menghela napasnya.

“Well, kalau mau dijelasin sekarang silakan.” ujar Rena

“Secara keseluruhan, bukti-bukti yang kita dapatkan sudah semakin bertambah dan saling melengkapi. Sidang lusa kita bakal kasih jawaban atas sanggahan dari tergugat, timnya Azkan. Dokumen udah ready dan udah dapat approval dari kak Teira. Untuk bukti-bukti lainnya kita buka di sidang lain.”

Rena mengangguk, memberikan tanda bagi Sashi untuk melanjutkan pemaparannya.

“Sebagai lead, aku nggak menyarankan Rena untuk membaca semua isi dokumennya. Walaupun secara teknis, boleh aja kalau Rena mau baca isi dokumennya.”

“Nope, I won’t spend my time reading about his infidelity.”

“Guess so too. Aku dan Sagala juga udah discuss tentang hal ini. Akhirnya kami berdua sepakat untuk bikin summary aja supaya Rena tahu kemana arah yang dituju oleh tim. Semisal ada hal-hal yang kurang dan mau Rena tambahin nantinya, we’ll open to any input.”

“Ini hasil diskusi sama Sagala?” tanya Rena merefer pada dokumen yang ada di tangannya.

Sashi mengangguk, “Itu beberapa saksi kunci yang sudah tim pilah dan pilih. Nggak semua bukti-bukti ada disitu karena dokumen di tangan kamu cuma summary aja.”

Rena menarik napasnya panjang berusaha menenangkan dirinya. Ia kemudian membuka lembar demi lembar. Napasnya sedikit tercekat ketika melihat beberapa foto yang cukup menyakiti hatinya.

Foto Azkan bersama anak perempuan dan seorang wanita yang Rena kenali. Foto di hari ulang tahun anak Azkan.

“I-ini…”

“I’m so sorry Rena…” ucap Teira.

Tangan rena mengepal keras. Sekarang ia paham mengapa Azkan sangat sulit merayakan ulang tahun dirinya selama pernikahan mereka. Usaha yang Azkan berikan hanya sebatas dinner bersama namun selebihnya pria itu selalu menghilang di hari ulang tahun Rena.

Rena dan anak perempuan itu memiliki tanggal ulang tahun yang sama. Azkan lebih memilih keluarga tidak sah nya dibandingkan dengan Rena.

“Kita paham ini berat untuk kamu Ren, kalau kamu mau kamu bisa percayakan semuanya ke tim. Aku yang supervise langsung tim ini dan akan mastiin semua berjalan lancar.” ujar Teira sembari berusaha membaca raut wajah Rena.

Rena menggeleng, ia melanjutkan melihat lembar demi lembar ringkasan yang sudah disiapkan oleh Sagala untuk dirinya.

“Feeling aku bener waktu itu? Azkan beneran selingkuh sama lawan main dia?” sarkas Rena.

“Ini bank statements punya cewek itu?” lanjut Rena.

“Sagala berhasil bujuk aktris ini untuk kasih bukti bahwa Azkan transfer sejumlah uang ke dia. Aku pribadi nggak tahu gimana cara Sagala untuk bujuk, tapi bukti ini cukup untuk menguatkan dalil kita dan nunjukin kalau Azkan memang nggak punya itikad baik.” jawab Sashi.

Rena tertawa, “Kalau dia punya itikad baik, dari awal dia gak bohong kalau dia udah punya anak dan malah nikahin aku. Kalau dia punya itikad baik, dari awal dia nggak bakal selingkuh.”

Yesha hanya bisa melirik ke arah Sashi yang kemudian menggeleng ke arah Yesha. Memberikan tanda untuk tidak berkomentar sedikit pun.

“Azkan kirim uang supaya selingkuhan-selingkuhan dia bungkam?”

“Asumsi ku dan Sagala seperti itu.”

“Who the fuck did I marry?” ujar Rena pada dirinya sendiri. Ia kemudian menatap ke arah Sashi dengan penuh amarah. “Kalian yakin bukti ini bisa dipakai di persidangan?”

Sashi mengangguk mantap, “Bisa. Untuk bank statements itu bahkan Sagala udah buat surat pernyataan kalau aktris itu nggak dalam tekanan apapun dan memberikan copy bank statements secara sukarela. Dia juga bersedia untuk dijadikan saksi di persidangan, i think aktris ini beneran menyesal sekarang. Oh, in fact, ada titipan dari Sagala.”

Sashi menyodorkan secarik kertas ke arah Rena.

“Sagala titip pesan, kemarin waktu dia ketemu aktris itu dia sempat ngobrol cukup banyak kayaknya. In the end, aktris itu mau minta maaf secara personal ke kamu. Ini nomor telepon dia, kalau kamu mau ketemu bisa telepon ke nomor ini.”

Rena merobek-robek kertas yang diberikan oleh Sashi dan menaruh sobekan kertas itu di atas meja.

“Terlambat, aku harap dia bakal merasa menyesal seumur hidupnya.”