Amoureux de…(Joohyun) part. 4

Irene berjalan bolak-balik mengitari ruangan VIP tempat ia, Minjeong, dan Jennie saat ini sedang menunggu hidangan makan malam mereka. Tanpa ia sadari, Irene menggigit bibir bagian bawahnya saat sambungan teleponnya itu tak kunjung diangkat oleh Wendy.

Jennie yang melihat sepupunya itu cukup gelisah akhirnya melempar pandang pada Minjeong yang dibalas dengan gelengan kepala oleh Minjeong.

“Ren, duduk aja kali? Kenapa sih gelisah banget?” ujar Jennie.

Irene mengangkat tangan kirinya dan memberi isyarat pada Jennie untuk berhenti berbicara.

“Hey, love. Kamu lagi apa?” tanya Irene sembari berjalan ke arah balkon dan menutup pintu balkon saat ia mendapati sambungan teleponnya telah diangkat oleh Wendy.

“Oalah bucin.” ujar Jennie memutar kedua bola matanya. “Jeong, tolong bilangin deh ke waitressnya makanan si Irene minta dikeluarin nanti aja. Paling bakalan lama tuh telponannya.”

Minjeong mengangguk paham dan langsung berjalan keluar dari ruangan VIP tersebut.

Sementara itu Irene langsung mencari posisi yang nyaman baginya untuk berbicara dengan Wendy. Ia tahu bahwa perbincangannya dengan Wendy akan memakan waktu cukup lama.

”Lagi di kamar kamu. So, apa yang harus kamu ceritain ke aku?”

“Kamu udah makan kan? Hari ini jadwal radio kamu banyak ya?”

”Udah kok. Hari ini aku recording lumayan banyak. Ada tiga tamu.”

“Tiga? Itu udah sama yang live hari ini?”

”Nggak. Itu cuma stock aja buat 3 hari ke depan. Aku mau ambil day-off soalnya. I was planning to do something with you but well...”

Irene mendengar suara desahan napas Wendy yang membuat dirinya semakin merasa bersalah.

“I’m so sorry Seungwan… saya bener-bener lupa tentang business trip ini. Saya janji nggak bakal terulang lagi okay? Minjeong udah saya minta buat update jadwal saya di google calendar kita kok.”

”Hmm yeah, aku udah cek tadi. So, yang mau kamu ceritain apa?”

Irene lagi-lagi menggigit bibirnya sebelum ia ikut menghela napas.

“Kamu janji ya sama saya untuk dengar cerita saya sampai selesai? Janji juga kalau kamu nggak boleh marah-marah dulu, cerna dulu cerita saya. Okay love?”

”Hhh ya...tapi tergantung sama cerita kamu.”

“Okay, fair enough. Tapi janji, semarah apapun kamu sama saya nanti, please tetap stay di rumah saya ya? At least sampai besok pagi.”

”Jadi kamu udah yakin aku bakal marah? Apa sih yang kamu tutupin dari aku?”

Nada bicara Wendy perlahan mulai meninggi, hatinya pun ikut berdebar ketika mendengar permintaan Irene. Hal apa yang Irene sembunyikan darinya? Seberapa serius hal itu hingga Irene memberinya peringatan seperti tadi?

Wendy hendak menghentikan Irene untuk berbicara lebih lanjut namun lawan bicaranya itu sudah terlebih dahulu membuka percakapan mereka.

“Selang satu minggu setelah acara charity hari anak, Papa kamu datang ke kantor saya….with Kathrine too.

Flashback

Tok! Tok!

Perlahan pintu ruangan Irene terbuka diiringi dengan wajah Minjeong yang cukup resah. Irene paham betul bahwa kemungkinan besar ia akan mendengar berita yang tidak mengenakkan dari Minjeong. Namun kali ini ia tidak bisa memprediksi berita buruk apa yang dibawa oleh asistennya itu.

“Ada masalah apa?”

Satu kalimat dari Irene namun cukup membuat Minjeong semakin gelisah.

“Kak, ada papanya Kak Wendy di lobby. Katanya mau ngomong sama kakak.”

Ucapan Minjeong sontak membuat Irene melirik ke arah jam dinding. Ia hanya punya waktu sekitar satu jam sebelum Wendy tiba.

“Siapin meeting room 2, saya ketemu sama Papanya Wendy disana aja. Nanti kalau Wendy sudah sampai sini, kamu harus temenin Wendy disini ya, bilang aja saya ada meeting. Jangan sampai Wendy ketemu papanya dulu, saya takut terjadi hal-hal yang nggak diinginkan.”

Minjeong mengangguk dan segera keluar dari ruangan Irene. Sementara itu sang CEO menghela napasnya panjang.

Terakhir kali ia bertemu dengan Tuan Son bukanlah suatu pertemuan yang ideal dan Wendy sudah secara terang-terangan tidak mau bertemu dengan orang tua kandungnya itu. Namun Irene yakin bahwa bertemu dengan Tuan Son hari ini adalah hal yang harus ia lakukan. Apalagi ia dan Wendy akan menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius.

Irene beranjak dari kursinya dan melangkah ke depan cermin full body yang terletak tak jauh dari meja kerjanya. Ia merapikan setelan blazer yang ia kenakan kemudian menyisir rambutnya agar lebih rapi.

First impression matters.

Tepat saat Irene merasa penampilannya sudah cukup rapi, ia merasakan getaran dari ponsel pribadinya yang ia simpan di saku celananya. Dengan segera Irene merogoh kantung celananya dan mendapati tiga notifikasi pesan dari Wendy.

13.08 Mine: Joohyuuunnnnieeeee 💙 Mine: Rekaman hari ini udah selesai!! Aku otw ke kantor kamu yaa! Mine: Kita jadi makan siang bareng kan?

Tanpa sadar senyuman tersungging di bibirnya saat ia membaca pesan dari Wendy.

Hey, be careful on your way here. I can’t wait to see you, love.

Kira-kira begitu balasan yang Irene kirimkan kepada Wendy. Ia langsung mengalkulasi waktu yang tersisa baginya untuk berbincang dengan Tuan Son, maksimal 50 menit.

Segera setelah ia memeriksa penampilannya sekali lagi, Irene melangkah meninggalkan ruang kerja pribadinya.

Perjalanannya menuju ruang meeting terasa cukup lama dan otaknya tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan serta alasan kehadiran Tuan Son saat itu. Namun tak kalah penting, ia sedang memutar otak dan berdoa agar Wendy tidak bertemu dengan Tuan Son.

Irene tahu betul bahwa Wendy masih enggan untuk menemui orang tua kandungnya, apalagi setelah ia mendapati fakta bahwa selama ini Tuan Son sudah menyimpan kebohongan yang sangat fatal.

Saat Irene tiba di meeting room 2, kejutan untuk dirinya bertambah dua kali lipat ketika ia melihat Tuan Son tidak datang sendirian melainkan bersama dengan Kathrine.

”Shit, apa makan siang sama Seungwan dibatalin aja? Tapi Seungwan udah kesini.” batin Irene.

Irene tidak sempat berpikir lebih lama lagi karena Tuan Son sudah berdiri dan menyapa Joohyun ketika laki-laki itu melihat sosok Joohyun memasuki ruang meeting tersebut.

“Tuan Son, Nyonya Kathrine, silakan duduk kembali.”

Irene mengambil posisi duduk tepat di seberang Tuan Son dan Kathrine dengan puluhan pertanyaan yang memenuhi kepalanya.

“Joohyun…gi-gimana kabar kamu dan S-seungwan?” tanya Nyonya Kathrine yang berusaha membuka percakapan dengan hati-hati.

“Kabar kami baik, sama-sama sibuk karena pekerjaan but we will manage it. Seungwan dapat beberapa proyek baru.”

Seusai Irene menyelesaikan kalimatnya, suasana di ruangan tersebut berubah menjadi sangat canggung karena seakan-akan topik pembicaraan mereka habis begitu saja. Menyadari bahwa waktunya terus bergulir, Irene memberanikan dirinya untuk melakukan hal yang sudah seharusnya ia lakukan sejak lama.

“Saya dan Seungwan akan menikah. Kami sudah menentukan tanggalnya dan pembicaraan serius antara keluarga saya dan Ibunya Seungwan juga sudah kami lakukan.”

Irene berhenti berbicara saat ia menyadari kalimatnya barusan dan mendapati raut wajah Nyonya Kathrine berubah sejenak. Namun ia pun tidak tahu bagaimana harus memanggil Nyonya Do dan Kathrine.

Secara biologis memang Kathrine adalah Ibu kandung Wendy namun secara resmi di atas kertas, Nyonya Do lah Ibu dari Wendy. Ditambah fakta bahwa selama ini Nyonya Do bertindak sebagai Ibu dari Wendy, lebih dari apa yang pernah Kathrine lakukan.

“Kami akan menikah di tanggal 9 Mei tahun depan. Saya harap Tuan dan Nyonya bisa memberikan restu bagi kami berdua karena bagaimanapun juga Tuan dan Nyonya adalah orang tua Seungwan.” lanjut Irene.

Tak lama setelah Irene mengakhiri kalimatnya, Kathrine menjulurkan tangannya dan berusaha untuk menggenggam tangan Irene.

“T-tolong izinkan ka-kami untuk bantu persiapan p-pernikahan kalian a-atau kalau permintaan ini terlalu berlebihan, se-setidaknya izinkan kami untuk hadir di pernikahan kalian.” pinta Kathrine.

Kedua bola mata Kathrine menatap manik mata Irene dengan lekat, berusaha untuk menyalurkan pesannya pada Irene. Mendapati dirinya berada dalam posisi canggung, Irene hanya bisa mengerjapkan matanya beberapa kali dan mengulas senyuman. Ia tidak bisa memberikan jawabannya saat itu juga.

“Kalau saya secara pribadi, tentu akan mengabulkan permintaan ini. Tapi saya harus bicarakan permintaan ini dengan Seungwan. Saya tidak mau hari bahagia kami harus ternodai dengan memori buruk bagi Seungwan, karena bagaimanapun juga anda berdua adalah salah satu trigger trauma Seungwan. Jadi tolong pahami kondisi Seungwan.”

Kathrine hanya bisa mengangguk lemah. Sementara itu Irene dapat melihat rahang Tuan Son mengeras.

“Bagaimana kalau saya tidak memberikan restu? Seungwan tidak bisa menikah tanpa wali.”

“Pernikahan kami akan tetap berlangsung, dengan atau tanpa restu anda. Lagi pula, adik dari Nyonya Do sudah bersedia untuk menjadi wali bagi Seungwan.”

Tuan Son menengadahkan kepalanya lalu tertawa.

“Jadi Seungwan sudah benar-benar tidak menganggap saya sebagai orang tuanya?”

Awalnya Irene hampir membalas perkataan Tuan Son dengan ucapan yang tak kalah sinis. Namun saat ia melihat air mata memenuhi pelupuk mata Tuan Son, Irene menyadari bahwa sesungguhnya Tuan Son sedang merasa terpukul.

Sang CEO akhirnya memilih untuk diam, memberikan waktu bagi kedua orang tua kandung Wendy untuk mencerna informasi yang mereka terima hari ini.

“Joohyun, saya titip Seungwan ya. Tolong jaga Seungwan dan buat dia bahagia. Tolong lakukan apa yang tidak pernah bisa saya lakukan.” ujar Kathrine.

“Anda masih bisa melakukan itu semua. Masih ada waktu untuk memperbaiki hubungan anda dengan Seungwan.”

Tuan Son mengangkat suaranya dan menggeleng lemah, “Kami sudah kehabisan kesempatan Joohyun. Kamu pikir kenapa saya sampai harus datang ke kantor kamu?”

“Kami berdua sudah mencoba segala cara untuk berkomunikasi dengan Seungwan, tetapi semuanya gagal. Seungwan sudah benar-benar memutus kontak dengan kami berdua.” ujar Kathrine.

“Jin Ae sudah memblokir semua kontak kami berdua dan menempatkan bodyguard suruhannya di sekitar Seungwan. Orang tua kamu juga sudah menarik diri, terakhir kami berkomunikasi adalah saat Seungwan masuk rumah sakit. Itu pun Ayah kamu hanya memberikan informasi bahwa Seungwan dirawat dan secara halus melarang kami untuk datang menemui Seungwan ketika ia siuman. Cuma kamu satu-satunya jalan yang masih bisa kami usahakan.”

Irene terdiam. Ia tidak mengira bahwa orang tuanya akan ikut campur dalam masalah ini. Saking terhanyutnya ia dalam pikirannya, Irene tidak menyadari bahwa Kathrine mengeluarkan sebuah map dan menaruhnya tepat di hadapan Irene.

“Kami butuh bantuan kamu satu kali lagi Joohyun. Bantu kami untuk memberikan ini pada Seungwan. Setidaknya bantu kami untuk memberikan hadiah terakhir bagi Seungwan dan setelahnya kami akan menghilang dari kehidupannya.”

Irene menarik napasnya. Entah mengapa ia cukup ragu-ragu untuk mengambil map yang ada di depannya. Benar saja, saat ia membaca baris demi baris dari dokumen yang ada disana, Irene terkejut.

“I-ini?”

Tuan Son dan Kathrine mengangguk, “Hadiah terakhir dari kami.”

“T-tapi kalau Seungwan menolak bagaimana?”

“Kami rasa tidak mungkin, apalagi tempat itu adalah tempat yang memiliki memori indah bagi kalian berdua. Tapi kalau memang ia menolak, maka kami serahkan semuanya sama kamu. Terserah mau kamu apakan, di jual lagi atau dibiarkan terbengkalai.”

“Kamu punya waktu sampai ulang tahun Seungwan tahun depan untuk meyakinkan dia. Kalau memang pada akhirnya Seungwan memilih untuk menolak hadiah tersebut, kamu bisa lakukan apapun terhadap tempat itu.”

Kepala Irene tiba-tiba pusing bukan main. Bagaimana bisa dunia sesempit ini? Siapa sangka bahwa glamping site tempat Irene dan Wendy mengukir kenangan indah ternyata milik Tuan Son dan Kathrine? Bagaimana pula Irene harus menyampaikan pada Wendy kalau Tuan Son dan Kathrine ingin menghadiahkan tempat tersebut untuk Wendy?

“Selama kamu berusaha untuk membujuk Seungwan, kami percayakan tempat itu sama kamu. Tolong urus tempat itu buat Seungwan.”

“Kenapa anda menarik diri seperti ini? Bagaimana Seungwan bisa merasakan niat baik anda berdua kalau begini?”

“Bagaimana Seungwan bisa menerima hadiah dari kami kalau tempat itu masih ada hubungannya dengan kami? Sedangkan Seungwan saja sudah membenci kami.” jawab Tuan Son.

“Joohyun, maafkan permintaan kami yang terlalu berat ini. Tapi kamu satu-satunya harapan kami.” tambah Kathrine.

End of Flashback

“Seungwan? Love? Are you still there?”

Irene menjauhkan ponselnya dari telinganya untuk memeriksa apakah sambungan telepon mereka sudah terputus atau belum.

“Seungwan?” panggil Irene sekali lagi setelah ia memastikan bahwa teleponnya masih tersambung dengan Wendy.

“A-aku gak tau harus ngomong apa sama kamu.” jawab Wendy dengan desahan napas yang sangat kentara.

“Look I-...”

“Aku gak tau aku lebih marah karena fakta bahwa kamu gak cerita ke aku kalau kamu ketemu mereka tanpa sepengetahuan aku atau aku marah karena kamu nerima permintaan mereka gitu aja atau aku marah sama diri aku sendiri karena kamu segitu nggak percayanya sama aku buat sekedar cerita?”

“Seungwan... bukan gitu maksud saya.”

“Terus apa Hyun? Dari cerita kamu, kamu tau kalau aku nggak suka kamu ketemu mereka but you still did. Kamu tau kalau aku nggak bakal mau terima apapun dari mereka and you still did. Aku nggak ngerti sama kamu Hyun.”

“Seungwan hear me out okay? Saya selalu percaya sesuatu yang dimulai dengan baik akan berakhir dengan baik pula, saya cuma nggak mau kamu melanjutkan hidup kamu ke jenjang yang lebih serius tanpa restu orang tua kamu. Saya nggak mau kamu menyesal, Seungwan.”

“Bae Joohyun, no offense but it's not your place to tell me. Also they missed out their chance, years ago, when they chose to fed me with lies. Aku marah banget sama kamu, aku nggak tau lagi harus ngomong apa atau ngelakuin apa. It seems kamu lupa kalau nggak semuanya bisa kamu atur, Bae Joohyun.”

“Seung-...”

Irene tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Wendy sudah memutus sambungan telepon mereka. Ia mencoba untuk menelpon Wendy lagi, namun berkali-kali pula Wendy mereject teleponnya.

Irene hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada railing balkon dan memandangi layar ponselnya.