Amoureux de... (Seungwan) part. 2-9
TW : childhood trauma
Joohyun bersumpah ia tidak pernah berkendara secepat saat ini. Entah sudah berapa banyak lampu merah ia terobos untuk mempersingkat waktu tempuh dari apartemen Seungwan menuju kediaman Nyonya Do.
Ia tidak peduli jika besok pagi plat nomor mobilnya masuk di jajaran berita pagi hari karena pelanggaran lalu lintas. Ia juga tidak peduli berapa nominal denda yang harus ia bayar esok pagi.
Saat ini pikirannya hanya satu, tiba di rumah Nyonya Do secepat mungkin.
2 jam sudah berlalu sejak Seungwan meninggalkan pesan untuknya.
1 jam sejak miss call terakhir dari Nyonya Do.
Sekitar 20 menit sejak ia membuka ponselnya.
Sudah puluhan, mungkin ratusan, sumpah serapah ia layangkan untuk dirinya sendiri.
Bagaimana bisa ia terlelap sepulas itu disaat Seungwan sedang kesakitan?
Bagaimana bisa ia tidak mendengar notifikasi ponselnya? Tidak hanya pesan singkat bahkan Nyonya Do sempat menelponnya. Padahal ia bisa dengan sigap membalas pesan, telepon, bahkan email dari rekan bisnisnya.
Pikirannya sangat kalang kabut. Joohyun rasanya ingin menangisi kebodohannya malam itu.
Ia merasa sedikit sesak napas saat mulai melihat plang jalan menuju kawasan elit tempat rumah Nyonya Do berada. Ditekannya lampu dim mobilnya berkali-kali dengan sangat cepat agar petugas keamanan yang menjaga gerbang rumah Nyonya Do menyadari keberadaannya.
Namun nampaknya malam itu kesabaran Joohyun sedang diuji. Ia harus menunggu cukup lama sebelum gerbang megah tersebut dibuka. Rasanya ia sangat ingin memaki petugas keamanan tersebut tetapi Joohyun tahu waktunya sangat berharga.
Joohyun segera mengarahkan mobilnya menuju pintu utama rumah megah tersebut. Mobilnya ia biarkan terparkir secara asal, bahkan ia tidak sempat memikirkan untuk mengunci pintu mobilnya.
Ia berjalan sedikit berlari menuju pintu utama dan langsung mendorong pintu tersebut, yang untungnya memang tidak dikunci.
Joohyun mendapati rumah tersebut sangat sepi, tentu saja karena saat itu pukul setengah tiga pagi. Dengan sedikit frustasi, ia segera berjalan ke arah dapur tempat dimana ia tahu pasti akan menemukan paling tidak satu orang asisten rumah tangga keluarga Do.
“Mama mana bi?” tanya Joohyun tersengal-sengal saat melihat satu perempuan paruh baya yang tengah membelakangi dirinya, tebakan Joohyun tengah menyeduh teh dari aroma yang ia hirup.
Asisten rumah tangga tersebut terkejut dengan kehadiran orang asing, namun ia sedikit mengingat sosok Joohyun. Ia rasa ia sempat melihat wajah nona ini dari potret yang ada di kamar Seungwan serta jika ia tidak salah ingat, nona ini juga sempat bermalam disini beberapa kali bersama dengan anak dari majikannya itu.
“Di kamar Nona Seungwan.”
Secepat kilat Joohyun berlari meninggalkan dapur tersebut, menuju kamar Seungwan.
Tepat pada saat ia membuka pintu kamar Seungwan, mata Joohyun beradu tatap dengan manik milik Nyonya Do yang tengah duduk di tepi kasur yang ditempati oleh Seungwan.
Namun bagaikan magnet, fokus penglihatan Joohyun hanya berada di satu titik, yakni Seungwan yang terlihat terbaring tak sadarkan diri.
Secara reflek Nyonya Do bangkit dan menghentikan Joohyun untuk berjalan mendekat. Ia membawa Joohyun keluar dari kamar tersebut untuk berbicara empat mata sebelum membiarkan Joohyun untuk menemani putrinya.
“M-ma…S-seungwan ke..kenapa?”
Nyonya Do memeluk Joohyun dengan sangat erat.
“Terima kasih sudah datang ya, Joohyun.” bisik Nyonya Do tepat di telinga Joohyun sembari mengusap punggung Joohyun perlahan.
“M-maaf Joohyun baru datang sekarang. T-tadi Joohyun-...”
“H-hush.. udah nggak usah minta maaf. Kamu nggak salah, nggak ada yang salah.” potong Nyonya Do cepat-cepat.
“Mama mau tanya dulu satu hal sama kamu dan tolong dijawab dengan jujur ya?” tambah Nyonya Do yang dibalas dengan anggukan.
“Kamu dan Seungwan lagi ada masalah? Mama bener-bener bingung kenapa Seungwan bisa collapse lagi dan Mama tahu cuma ada dua hal yang bisa bikin Seungwan kayak sekarang.”
Joohyun menggigit bibirnya dengan kencang sembari menganggukkan kepalanya lemah.
“K-kami sempat bertengkar hebat beberapa bulan yang lalu. Kemudian Desember kemarin S-Seungwan minta untuk break sejenak dan saya penuhi permintaan itu. Akhir tahun kemarin saya kira hubungan kami sudah sedikit membaik walaupun memang kami tidak banyak kontak.”
Nyonya Do mengerutkan keningnya, “Tapi terakhir kali kalian komunikasi, apa Seungwan terlihat dalam keadaan buruk?”
Joohyun menggeleng, “Tapi akhir-akhir ini kalau saya lihat memang Seungwan terlihat tidak baik. Masalahnya, Joohyun nggak tau apa permasalahan yang sedang Seungwan hadapi.”
“Aneh juga kalau begitu. Mama kira kalian memang bertengkar akhir-akhir ini, karena Seungwan selalu menghindar saat mama ajak bicara tentang kamu. Tapi kalau kamu bilang sudah lama tidak benar-benar berkomunikasi dengan Seungwan, tandanya bukan pertengkaran kalian yang membuat Seungwan seperti ini.” ujar Nyonya Do sambil menepuk pundak Joohyun pelan.
“Seungwan tadi pingsan. Sejujurnya mama sangat terkejut karena mama sama sekali nggak nyangka kalau Seungwan sangat terguncang. Tapi kamu tenang aja, untuk kondisi fisiknya dia baik-baik aja karena tadi sudah diperiksa sama dokter keluarga. Cuma seperti yang kamu tau, keadaan mental Seungwan masih sangat labil untuk sekarang. Tadi mama juga sudah cek isi kamar dia dan untungnya mama nggak nemuin obat penenang atau yang sejenis, tadi mama udah sempat khawatir kalau Seungwan ketergantungan sama obat-obatan itu.”
“I-iya ma, Yerim sempet cerita kalau sekarang Seungwan juga udah mulai lepas dari obat. D-dia juga sekarang udah lebih sering terapi ke psikolog.”
Nyonya Do mengangguk, “Tolong tanyakan ke adik kamu, barangkali dia punya info lebih. Mama nggak tau ada apa sama kamu dan Seungwan, tapi mama berharap kalian bisa lewatin ini semua ya. Kalau ada satu orang yang mama yakin bisa jaga Seungwan dengan baik, itu kamu Joohyun.”
“M-maafin Joohyun ma…”
“Kamu nggak perlu minta maaf, Joohyun. Ini bukan salah siapapun okay? Termasuk Seungwan sekalipun, dia nggak perlu minta maaf. Mungkin memang keputusan dia banyak yang nggak masuk akal buat kita, tapi itu semua pasti karena Seungwan punya pertimbangan dan kekhawatiran dia sendiri. Kenapa tadi mama telpon kamu, bukan untuk buat kamu merasa bersalah, tapi sebagai sosok yang penting bagi Seungwan kamu berhak untuk tau ini.”
Joohyun kembali mengangguk lemah, “M-malam ini boleh Joohyun tinggal disini? Seenggaknya supaya ada yang nemenin Seungwan sampai pagi nanti.”
“Boleh, pasti boleh. Kamu juga jangan lupa istirahat ya? Mama balik ke kamar mama dulu, kalau kamu butuh apa-apa langsung kesana aja.”
Nyonya Do memeluk Joohyun satu kali lagi sebelum ia kemudian meninggalkan Joohyun yang masih terpaku di depan pintu kamar Seungwan.
Sementara itu, Joohyun menarik napasnya panjang sebelum ia melangkah memasuki kamar Seungwan.
Setibanya di sebelah kasur berukuran queen sized tersebut, Joohyun mendudukan dirinya perlahan. Tangannya terjulur, secara perlahan mengusap kepala Seungwan.
“Istirahat ya, kamu nggak usah takut lagi. Saya bakal nemenin kamu sampai kamu minta saya untuk pergi.”
Joohyun bangkit dari posisinya untuk mengecup singkat kening Seungwan. Ia kemudian berjalan ke arah deretan lemari pakaian dan tersenyum saat ia melihat beberapa sweater, kemeja, bahkan blazer miliknya ada disana.
“Kamu curang, kamu ambil baju saya tapi nggak izin dulu. Tau gitu saya juga culik baju kamu, Seungwan.”
Tangan Joohyun kemudian mengambil satu set piyama dan setelahnya ia segera menuju kamar mandi untuk berganti baju.
Joohyun menempati sisi kasur yang kosong, dengan tetap memberikan jarak antara dirinya dan Seungwan. Ia tahu, walaupun malam ini ia mendapatkan izin untuk menginap namun izin itu bukan datang dari Seungwan. Untuk itu Joohyun tetap berusaha menjaga jaraknya.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi Joohyun untuk turut terlelap bersama dengan Seungwan. Namun tidurnya itu hanya bertahan kurang dari satu jam karena ia mendengar rintihan suara anak kecil yang menangis ketakutan.
Awalnya Joohyun sempat bingung, tetapi ia kemudian menyadari bahwa suara tersebut datang dari Seungwan. Joohyun tiba-tiba teringat akan penjelasan Ojé beberapa bulan lalu bahwa terdapat kemungkinan saat trauma masa kecil Seungwan sedang menghantui dirinya, maka tanpa sadar Seungwan akan bertingkah layaknya anak kecil dan malam itu ucapan Ojé menjadi kenyataan saat Seungwan mengeluarkan suara-suara anak kecil.
Buru-buru Joohyun bangkit dari posisi tidurnya, kemudian mengguncang tubuh Seungwan pelan. “Seungwan, sayang bangun. Itu mimpi, itu mimpi. Itu nggak nyata, sayang.”
”t-takut….mama….”
“Nggak usah takut, sayang. Bangun ya. Ayo bangun sekarang ya, Itu cuma mimpi buruk, okay?”
Joohyun kembali berusaha mengguncang tubuh Seungwan pelan.
Ia bernapas sedikit lega saat mendapati Seungwan perlahan membuka kedua bola matanya.
“J-joohyun?”
“Iya, ini Joohyun.”
“A-aku tadi lihat kam-..”
“Itu mimpi sayang, itu nggak bener. Lupain aja ya. Itu nggak nyata. Yang nyata itu sekarang saya yang ada disini sama kamu.” ujar Joohyun sembari tersenyum ke arah Seungwan dengan tangan kirinya mengusap kepala Seungwan perlahan.
“Tidur lagi ya?” bujuk Joohyun yang langsung dibalas dengan gelengan kepala.
“Sama Saya kok. Kamu nggak perlu takut ya? Kalau mimpi buruk itu datang, saya ada disini buat bantu kamu okay? Kita tidur pelan-pelan ya? Kamu butuh istirahat.”
“Aku nggak mau lihat mimpi itu lagi….”
“Nggak, kamu nggak akan lihat itu lagi. Kita sama-sama bayangin waktu kita senang-senang aja ya? Kita ingat-ingat lagi momen-momen menyenangkan. Kamu mau tidur sambil saya peluk?”
Seungwan mengangguk, kemudian mendekatkan dirinya pada Joohyun.
“Jangan tinggalin aku sendirian….”
Joohyun mengangguk, kemudian mengeratkan pelukannya. “Tidur, saya disini sama kamu.”
Seungwan masih meracau beberapa kali sebelum akhirnya ia kembali terlelap.
Namun satu kata terakhir dari Seungwan membuat Joohyun yang hampir terlelap, tiba-tiba kembali bangun.
”Joohyun jangan marah…Yerim Ojé baik….papa jahat….”