Amoureux de…(Seungwan) part 4-14

Hari itu Joohyun benar-benar menepati janjinya.

Seungwan dibawa untuk mengenal Joohyun “versi muda” oleh sang CEO. Tidak hanya toko alat seni, Joohyun juga membawanya ke kios-kios lokal di sekitar taman tersebut.

Ini adalah kali pertama Seungwan mendapati Joohyun yang sangat cerewet menjelaskan setiap seluk beluk dari daerah tersebut.

Mereka sempat mampir di sebuah toko yang menjual berbagai macam kartu pos dan alat tulis lainnya. Di tempat itu Joohyun memilih untuk singgah sebentar dan membeli kartu ucapan yang ia tulis tangan untuk Seulgi.

Setelahnya Joohyun dan Seungwan hanya keluar-masuk toko yang menurut mereka menarik sembari menunggu lukisan yang mereka buat agar lebih kering dan bisa mereka bawa pulang.

Hari itu Seungwan kembali diingatkan mengapa ia pernah jatuh hati pada Joohyun.

Ia diingatkan kembali pada sosok Joohyun yang sangat perhatian.

Bagaimana Joohyun tanpa perlu ia minta, akan menyodorkan botol air mineral padanya ketika ia mulai merasa haus. Bagaimana Joohyun yang selalu menarik Seungwan agar berjalan di sisi dalam dari trotoar. Bagaimana Joohyun memberikan input kepadanya saat ia bingung memilih kartu ucapan untuk Seulgi, tanpa ia minta.

Seungwan juga diingatkan pada sosok Joohyun yang sabar dan selalu mengalah.

Bagaimana Joohyun dengan telaten mengajarinya untuk melukis. Bagaimana Joohyun hanya tertawa setiap kali Seungwan melayangkan protes karena lukisan mereka tidak memenuhi ekspektasinya. Bagaimana Joohyun dengan sabar mendengarkan omelan Seungwan saat mereka memasuki restoran ini pada saat Seungwan melihat menu-menu makan siang yang terpampang disana.

”Joohyun! Ini semua makanan berat! Aku lagi diet ketat sekarang!”

”Iya sayang, saya tahu. Tapi bukan berarti kamu sampai nggak makan berat dong? Siang ini kita sharing aja ya? Satu menu berdua. Kamu juga gak usah makan satu porsi nasi full, nggak apa-apa asalkan kamu tetap makan berat ya?”

”Nggak bisa Joohyun!”

”Bisa. Harus bisa ya? Saya nggak mau lihat kamu sakit. Sedikit aja ya? Jangan cuma makan buah atau salad aja. Inget kan dulu pas SD diajarin apa? Makan 4 sehat 5 sempurna.”

Kira-kira begitu percakapan yang terjadi dan akhirnya Seungwan luluh juga dengan kesabaran Joohyun. Mereka berdua akhirnya memasuki restoran yang disarankan oleh Joohyun walau dengan keadaan Seungwan yang masih sedikit merajuk.

Joohyun hanya tersenyum dan mencubit pipi Seungwan singkat. Kemudian ia menyuruh Seungwan untuk mencari tempat duduk yang berada di pojok restoran tersebut dan meminta sang solois untuk mencari posisi kursi yang menghadap tembok untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sementara itu sang CEO mendatangi kasir dan memilih menu makan siang mereka hari itu.

Seungwan meletakkan ponselnya di atas meja ketika Joohyun tiba di meja yang mereka tempati dan menaruh nampan berisikan makan siang yang telah dipesan. Sang CEO memindahkan satu per satu piring ke atas meja dan Seungwan dapat melihat senyum lebar dan kepuasan tersendiri yang terpancar di wajah Joohyun.

“Hari ini kita makan yang murah-murah aja. Saya mau ngenalin ke kamu restoran yang sering banget saya datengin dulu habis ngajar. Restoran ini kayak yang kamu lihat, menunya itu udah standar kayak gitu aja. Dulu tiap sore habis ngajar, saya dan Seulgi selalu ajak anak-anak yang ikut belajar untuk makan disini.” ujar Joohyun menerangkan sembari menaruh piring berisikan lauk di tengah-tengah meja, di antara dirinya dan Seungwan.

“Kamu baik banget ya jadi orang?”

Joohyun menggeleng pelan, sembari tetap fokus menyendok porsi nasi untuk Seungwan dan menaruhnya di piring Seungwan.

“Saya cuma berbagi sedikit dari apa yang bisa saya nikmatin setiap hari. Saya beruntung cuma beruntung aja, Seungwan. Ada orang-orang yang nasibnya nggak seberuntung saya. Kita nggak pernah bisa milih untuk lahir dari keluarga dengan latar belakang tertentu dan saya beruntung lahir dari ayah dan bunda Saya. Saya memilih untuk mengikuti ajaran Ayah dan Bunda untuk selalu berbagi.”

Seungwan terdiam sejenak. Mungkin Joohyun tidak sadar, namun ucapannya barusan cukup membuat Seungwan terhenyak.

“Joohyun…” panggil Seungwan singkat.

“Iya?”

Joohyun masih sibuk menaruh lauk-pauk di piring Seungwan sehingga ia tidak terlalu menyadari perubahan mood yang terjadi pada Seungwan. Namun ketika ia merasakan keheningan di antara mereka terlalu lama berlanjut, ia mendongakkan kepalanya dan cukup terkejut ketika melihat ekspresi wajah Seungwan.

“Kenapa, sayang?”

“Kalau aku benci sama orang tuaku. Aku jahat nggak?”

Joohyun tercekat untuk sesaat. Ia berusaha untuk memikirkan jawaban terbaik yang bisa ia berikan kepada Seungwan.

“Aku tahu buat kamu keluarga itu penting banget, Hyun. Tapi maaf, keluarga aku nggak kayak keluarga kamu.” sambung Seungwan.

Joohyun meraih tangan Seungwan yang terkulai tanpa tenaga di atas meja. Ia menangkupkan kedua tangannya dan mengelus punggung tangan Seungwan dengan hangat.

“Kamu benar kok, buat saya keluarga itu penting banget. Saya selalu punya cita-cita kalau sudah tua nanti bisa lihat anak-anak saya main sama sepupu-sepupunya, ya kayak saya dan sepupu-sepupu saya. Tetapi Seungwan, ada banyak cara buat saya untuk bisa mewujudkan impian itu dan kalau pun ternyata impian itu memang hanya akan berakhir sebatas mimpi, saya nggak masalah.” ujar Joohyun sembari mengeratkan genggamannya.

“Kamu nggak akan bisa dapat itu dari aku, Joohyun. Bahkan aku aja nggak tau yang mana yang bisa aku sebut dengan keluarga.”

“Kamu bisa sebut keluarga saya sebagai keluarga kamu. Kamu bisa sebut keluarga mama kamu sebagai keluarga kamu juga. Intinya, keluarga itu nggak terbatas hanya karena berbagi darah. Gini deh, inget acara charity Perusahaan saya waktu hari donor darah sedunia?”

Seungwan mengangguk.

“Nah, saya kan donor darah hari itu. Apa itu bikin saya jadi otomatis bersaudara sama orang yang dapat transfusi darah saya? Kan nggak.”

Seungwan tertawa kecil, “Analogi kamu agak aneh tapi bisa diterima.”

“Ya, tapi kamu dapat intinya?”

Sebuah anggukan diberikan oleh Seungwan.

“Lagian Seungwan, saya yakin saya masih bisa mewujudkan mimpi saya itu kok. Sepupu-sepupu saya itu, paling minimal punya anak satu lah. Yerim bisa lebih malah, dia suka banget sama anak kecil.” tawa Joohyun.

“Setuju sih. Dia kayak magnet buat anak-anak.”

Joohyun mengangguk setuju, “See? Jadi kamu nggak perlu mikir tentang mimpi saya yang itu terlalu jauh ya? We will get there, someday. Tentang pertanyaan kamu tadi, apakah kamu jahat atau nggak.”

Seungwan menatap mata Joohyun dan ia menemukan bahwa Joohyun sempat menarik napasnya panjang sebelum tersenyum ke arahnya.

“Jangan pernah simpan akar kebencian dalam hati kamu, Seungwan. Kebencian cuma akan menggerogoti sisi baik dari diri kamu. Saya tahu kamu orang yang baik, saya sudah merasakan kebaikan kamu. Kalau kamu nggak percaya, kamu bisa tanya ke penggemar kamu. Mungkin menurut kamu, kami bias. Tapi sejujurnya, kami sangat peduli sama kamu sampai-sampai kami bisa melihat hal-hal kecil yang nggak bisa kamu lihat.”

Seungwan mengeraskan rahangnya, ia tidak ingin menangis saat itu.

“Jadi saya mau minta sama kamu, stop benci orang tua kamu ya? Jangan pupuk akar kebencian dalam hati kamu betapapun mereka sudah melukai kamu, setidaknya hargai mereka sebagai orang tua kamu. Saya nggak minta kamu untuk langsung memaafkan mereka, saya nggak punya hak untuk itu. Apapun yang kamu rasakan hingga saat ini, itu valid. Nggak ada satupun orang yang tahu bagaimana rasanya jadi Son Seungwan. Saya cuma mau minta kamu untuk stop benci mereka dan stop menghukum diri kamu sendiri atas apa yang nggak kamu lakuin. Lebih baik waktu yang kamu punya digunakan bersama-sama dengan orang yang kamu sayangin daripada kamu habiskan untuk membenci mereka yang sudah melukai kamu.”

Joohyun bangkit dari posisinya dan mengisi bagian kosong dari sofa yang ditempati oleh Seungwan. Ia sengaja merangkul Seungwan karena ia tahu saat ini Seungwan sudah tidak membutuhkan kata-katanya lagi, namun Seungwan membutuhkan bahu yang bisa ia gunakan untuk bersandar dan beristirahat sejenak.

“Kamu nggak pernah sendirian, Seungwan. Kalau kamu lelah, jangan menyerah ya? Ada saya disini. Kamu bisa pakai bahu saya untuk istirahat sejenak. Kamu bisa minta saya untuk peluk kamu dan ngelindungin kamu dari dunia luar untuk sejenak. Saatnya kamu siap nanti pun, saya akan ada disisimu untuk menyemangati kamu dan membantu kamu menjalani hari-harimu.”