Amoureux de…(Seungwan) part 5-1

Seungwan menghentakkan kakinya pelan sembari memandangi lampu indikator penunjuk lantai. Terdapat perasaan yang tidak bisa ia gambarkan saat ini. Seungwan benar-benar tidak tahu bagaimana ia harus mendeskripsikan apa yang ia rasakan sekarang.

Mungkin jika ia boleh membandingkan, jauh lebih mendebarkan dibandingkan saat ia berdiri dibalik tirai sebelum ia ‘beraksi’ di atas panggung.

Seungwan melirik sejenak ke arah layar ponselnya.

Pukul 23.00.

Hari itu ia sengaja mengulur-ulur keputusannya.

Seungwan memilih untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya yang tertunda seperti jadwal latihan vocalnya, jadwal latihan dance, bahkan setelah ia selesai pun, hari itu Seungwan memilih untuk mengurung dirinya di studio musik yang kosong yang terdapat di gedung agensinya karena hari ini ia tidak memiliki jadwal siaran langsung di radio.

Sang solois baru menginjakkan kakinya di kediaman keluarga Do setelah matahari terbenam, itu pun karena Mamanya yang sudah menelpon ponselnya beberapa kali.

Bahkan keputusannya untuk akhirnya pulang pun merupakan dorongan dari Mamanya yang sudah terlampau cerewet padanya. Namun Seungwan bersyukur atas hal itu, karena sesungguhnya ia memang merasakan kebimbangan dan membutuhkan dorongan untuk mengambil satu langkah tersebut.

Lift yang ia tumpangi berdenting dan berhenti tepat di lantai dimana hunian yang selama ini ia tempati berada.

Seungwan menarik napasnya panjang.

Sudah cukup lama juga ia tidak menginjakkan kakinya disini.

Tanpa ia sadari, tubuhnya sudah bergerak secara otomatis, membawanya ke unit apartemen miliknya.

Lagi-lagi ia merasakan kebimbangan tersebut, Seungwan terdiam mematung tepat di depan pintu unit apartemennya.

Apakah hari ini adalah hari yang tepat?

Pertanyaan itu terus muncul sejak ia memulai aktivitasnya hari ini.

Lamunan Seungwan terpecah saat suara notifikasi ponselnya mengejutkan dirinya.

Mama: Kamu sudah sampai ya? Tadi supir mama laporan katanya sudah sampai di apartemen kamu.

Mama: Salam untuk Joohyun ya sayang. Kalau sempet, kalian mampir sini ya temenin Mama.

Mama: Inget ya sayang, pintu rumah mama selalu terbuka buat kamu dan buat Joohyun. Jadi jangan pernah ngerasa kalau kamu ninggalin mama.

Seulas senyuman terpampang di wajah Seungwan. Ia memilih untuk membalas pesan singkat dari Mamanya tersebut dan menarik napasnya sekali lagi sebelum ia memasukkan password unit apartemennya.

Hal pertama yang menyapanya adalah keadaan sunyi senyap. Maklum, ia pun sebenarnya tidak berharap akan menemukan apartemennya dalam kondisi ramai mengingat Joohyun hanya seorang diri tinggal disana dan mengingat sifat dari Joohyun yang cukup pendiam.

Lagi-lagi ia tersenyum saat melihat Joohyun telah sedikit mengubah tampilan apartemen mereka.

Seungwan menemukan satu bingkai foto kecil yang terpampang di atas meja kecil yang terletak di lorong pintu masuk, tempat dimana biasanya para tamu duduk di kursi yang tersedia untuk sekadar melepas atau menggunakan sepatu mereka.

Foto yang terpampang adalah foto dirinya dan seekor anjing putih yang mereka temui di pantai yang terletak tidak jauh dari beach house milik Joohyun.

Seungwan meletakkan bingkai tersebut dan melepaskan sepatunya secara asal. Biar saja apartemennya sedikit berantakan malam itu, besok pagi akan ia benahi.

Sang pemilik apartemen melangkah lebih jauh memasuki rumah-nya.

Sebuah kerutan nampak di dahi Seungwan, ia terkejut mendapati lampu ruang tengah tidak menyala redup seperti kebiasaan yang selalu Joohyun lakukan dulu. Sang pemilik apartemen kemudian menyadari bahwa ia mendengar suara sayup-sayup dari ruang makan.

“Saya kok belum puas ya sama laporan dari timnya Pak Aloysius.” ujar Joohyun.

”Kemarin udah dimintain revisi kan Kak? Yang aku kasih ini revisiannya.”

Seungwan menggelengkan kepalanya. Sepertinya Joohyun masih bekerja malam itu.

“Iya, ini notes yang saya kasih sudah beberapa mereka revisi. Tapi kayak masih ada yang mengganjal aja di saya.”

”Kemarin Kak Jennie nyaranin buat pakai pihak ketiga kalau emang Kakak masih ragu. Mau nyoba itu aja?”

“Menurut kamu gimana, Minjeong?”

”Uhm, tapi waktu kita sempit banget sih kak. Apa keburu ya? Unless, Kakak udah punya saran kantor hukum yang bisa jadi rekomendasi.”

“Ada sih. Coba saya chat dulu teman saya itu ya. Sementara itu, tolong kamu kosongin jadwal saya habis makan siang.”

”Okay kak, on it.”

“By the way Minjeong, saya lapar. Kamu ada saran nggak ya saya enaknya makan apa?”

”Hah?! Kak?! Ini udah jam segini dan belum makan? Wah parah sih.”

“Gak usah cerewet, saya minta saran menu.”

”Uhm, kalo jam segini paling ayam bumbu rasa-rasa gitu kali ya? Ayam fast food?”

“Joohyun nggak bisa makan ayam.” potong Seungwan singkat.

Kini sang pemilik apartemen sudah berdiri tak jauh dari meja makan tempat Joohyun sedang mengerjakan pekerjaannya. Ia dapat melihat bahwa Joohyun sedang sibuk dengan layar laptopnya sementara tablet miliknya ada di sebelah kiri Joohyun dan menampilkan tampilan zoom dengan nama Minjeong yang terpampang besar disana.

“Iya saya nggak bisa makan ayam.” sahut Joohyun.

”Oh iya, lupa kalo kakak nggak makan ayam.” ujar Minjeong membenarkan.

Sebuah keheningan tercipta sejenak sebelum Joohyun secepat kilat menoleh ke arah datangnya suara. Sementara itu Minjeong berteriak kencang saking takutnya ia.

”KAK ITU SUARA SIAPA? KAKAK KAN SENDIRIAN DI APARTEMEN?!”

Namun pekikan Minjeong sama sekali tidak digubris oleh Joohyun yang saat ini sudah terpaku di kursinya. Ia mengerjapkan matanya berkali-kali, seakan-akan tidak yakin dengan apa yang ia lihat malam itu.

“S-seungwan?”

“Surprise?”

“KAK WENDY?!” pekik Minjeong lagi.

Joohyun menoleh ke arah tabletnya dan menekan tombol leave, membiarkan Minjeong untuk bertanya-tanya sendirian malam ini.

Joohyun tidak ingin diganggu.

“S-seungwan? Kamu….”

Joohyun menggantung kalimatnya, ia tidak tahu kalimat apa yang pantas untuk ia utarakan malam itu. Disatu sisi ia berharap bahwa Seungwan memang sudah pulang hari ini namun disisi lain, ia takut kecewa akan harapannya itu.

Bisa saja malam itu Seungwan hanya mampir bukan?

“Halo, Joohyun.” ujar Seungwan canggung namun ia membentangkan tangannya lebar, mengundang Joohyun untuk masuk dalam pelukannya.

Berbanding terbalik dengan apa yang Seungwan bayangkan, Joohyun justru tetap terduduk di kursi yang ia tempati. Namun perlahan tangannya terangkat dan melepaskan kacamata yang ia pakai dan mengusap kedua matanya dengan punggung tangan.

Melihat hal ini, Seungwan menyadari bahwa Joohyun tengah menahan tangisnya dan cukup terkejut melihat Joohyun bereaksi demikian.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Seungwan berjalan mendekati Joohyun dan memeluk Joohyun sembari mengelus punggung Joohyun pelan dengan wajah Joohyun yang terbenam di perut Seungwan.

“Kok nangis sih? Nggak seneng aku pulang?”

Pulang.

Kata-kata itu justru membuat Joohyun semakin tidak bisa menghentikan tangisnya. Bahu Joohyun yang kemarin ia gunakan untuk menangis, kini bergetar sebagai pertanda bahwa Joohyun berusaha keras untuk menghentikan tangisnya.

“Maaf ya aku pergi kelamaan.” ujar Seungwan yang hanya dibalas oleh Joohyun dengan anggukan.

Seungwan dapat merasakan bahwa Joohyun mengeratkan pelukannya untuk sesaat sebelum perlahan ia melonggarkan pelukan tersebut dan mendongakkan kepalanya.

“W-welcome… h-home...” ujar Joohyun sedikit terisak dengan bibir yang terlihat sedikit cemberut.

“I’m home. Aku tepat janji kan? Aku bakal pulang.”

Joohyun mengangguk.

“Kenapa kamu cemberut sih?”

“Ya kamu kenapa tiba-tiba datengnya? Kan saya kaget!”

“Iya sih, saking kagetnya sampe nangis.” goda Seungwan yang hanya mendapatkan tatapan protes dari Joohyun.

“Gak usah pesen makanan, aku masakin ya?”

Joohyun menggeleng, “Nggak mau. Kamu baru dateng masa udah ninggalin saya lagi buat masak?”

Ucapan Joohyun mengundang reaksi dari Seungwan yang memutar kedua bola matanya malas.

“Jangan berlebihan deh Hyun. Lagian ya, aku mau marah dulu nih kamu kok bisa-bisanya belum makan?! Ini udah jam segini loh?! Kamu tuh cerewet ke aku tapi sama diri sendiri nggak tertib!”

“Iya saya salah, maaf ya?”

Seungwan menatap Joohyun terkejut, “Tumben kamu nggak keras kepala? Biasanya kamu membela diri?”

“Kapok. Nggak mau kayak gitu lagi. Saya tau yang kemaren-kemaren saya salah, saya egois dan nggak mau dengerin kamu.”

“Bagus deh insyaf. Sekarang kamu beresin kerjaan kamu itu dan biarin aku masak.”

“Tapi saya boleh ikut kamu masak ya?”

“Emang kamu tau aku mau masak apa?”

Joohyun menggeleng, “Yang penting saya bisa sama kamu.”

“Haduh lupa banget ini orang satu mulutnya manis. Ya, ya cepet sana kamu beresin dulu kerjaan kamu.”

Sang CEO bertepuk tangan puas, kemudian dengan cepat ia merapikan gawai-gawai yang berserakan di meja makan sembari sesekali melirik ke arah Seungwan.

“Barang kamu mana?”

“Di rumah mama.”

Joohyun yang awalnya gembira, tiba-tiba terdiam dan Seungwan menyadari hal ini.

“Tenang aja, aku beneran pulang kok. Kamu jangan khawatir ya? Besok barangku dianterin sama supir mama. Lagian barangku kan semua ada di rumah kita ini?”