Amoureux de…(Seungwan) part 5-6
Selepas Seungwan menemani Joohyun menyantap makan malamnya, yang sangat terlambat itu, Seungwan melemparkan pertanyaan-pertanyaan kepada Joohyun setelah Seungwan melihat bahwa apartemen mereka terlihat sedikit berbeda dengan apa yang ia ingat terakhir kali.
”Iya, ruang tengah jadi lebih padat ya? Saya udah gak pernah tidur di kamar lagi soalnya. Kalau disana saya kangen kamu terus. Jadi saya selalu tidur di sofa ini, kalau kerja juga di ruang makan kayak tadi.” ujar Joohyun menjelaskan secara singkat.
Keduanya kini tengah duduk dengan nyaman di sofa ruang tengah. Mungkin lebih tepat disebut dengan cuddling karena posisi Seungwan yang memeluk Joohyun dari belakang, bertindak sebagai big spoon saat itu.
Mata keduanya hanya menerawang jauh ke depan sembari menikmati kehangatan dan keberadaan pasangan mereka.
Tak henti-hentinya Seungwan mencium harum rambut Joohyun, sedangkan Joohyun memilih untuk melesakkan tubuhnya agar lebih dekat dengan Seungwan.
Kendati Joohyun tidak benar-benar memeluk Seungwan, namun ia memanfaatkan tangan Seungwan yang melingkari tubuhnya untuk menjadi target afeksinya malam itu. Joohyun belum berhenti mengelus lengan Seungwan dan ia pun berusaha untuk sedapat mungkin menggunakan lengan kiri Seungwan sebagai bantalan kepalanya.
“Kamu sama Minjeong sekarang deket ya?” tanya Seungwan, membuka percakapan.
“Hmm, iya. Sejak kita break, dia yang selalu nemenin saya dan seperti yang pernah saya bilang, Minjeong mengajarkan banyak nilai-nilai kehidupan ke saya.”
“Glad to hear that you have someone that you can trust.” bisik Seungwan.
“Selama beberapa bulan ini kamu ngapain aja?” kini ganti Joohyun yang bertanya.
“Banyak banget, sampe bingung mau mulai dari mana.”
“Mulai dari hari pertama aja, saya mau dengar semuanya.”
“Hari pertama…. Well aku nggak terlalu inget deh. Tapi Joohyun, ada satu hal yang harus kamu tahu, sebelumnya janji dulu ya kamu dengerin aku sampai selesai?” pinta Seungwan.
Joohyun menolehkan kepalanya agar ia bisa menatap manik mata Seungwan dengan lekat. Malam itu ia hanya bisa melihat senyuman di wajah Seungwan beserta pandangan matanya yang jauh lebih tenang dan teduh.
“Okay, janji.”
“Inget kan kemarin aku menang penghargaan itu? Aku…..ketemu Papa disana.”
Seungwan dapat merasakan bahwa napas Joohyun sedikit tercekat. Benar saja, tak lama kemudian ia mendapati Joohyun sudah memutar tubuhnya dan mengubah posisinya menjadi duduk menghadap ke arah Seungwan.
“Kamu…gimana? Apa kamu….”
“Papa jahat banget Joohyun. Papa sengaja dateng kesana karena dia tahu aku nggak mungkin nolak dia di hadapan orang banyak kayak gitu. Papa juga bawa dia. Mereka ngomong banyak ke aku, terutama Papa. Papa masih keras kepala, nggak berubah masih egois. Terus kamu tau nggak? Dia juga ada disana dan sempet berlutut di depan aku. Dia bilang mau memperbaiki kesalahan mereka di masa lampau.” cerita Seungwan.
Joohyun menggenggam tangan Seungwan erat. Mengelus punggung tangan Seungwan dengan ibu jarinya dan Seungwan sangat menghargai gestur ini.
“Dia bilang mereka mau minta kesempatan satu kali lagi ke aku karena mereka nggak mau kehilangan aku kayak mereka kehilangan adik aku. Aku punya adik, Joohyun.” sambung Seungwan yang berusaha menahan tangisnya.
Tiap kali Seungwan teringat akan percakapannya dengan Papanya dan Kathrine, Seungwan selalu teringat akan fakta bahwa ia pernah memiliki seorang adik yang bahkan hingga akhir hayatnya tidak pernah bertemu dengan Seungwan.
Joohyun yang sedang mendengarkan cerita Seungwan pun turut terkejut dengan fakta yang dibeberkan oleh Seungwan. Namun ia tahu bahwa Seungwan belum selesai dengan ceritanya, maka Joohyun memilih untuk tetap diam dan memberikan waktu pada Seungwan untuk melanjutkan ceritanya.
“Maaf, aku waktu itu hampir melakukan kebodohan lagi. Tapi….ada Taeyeon, Yerim, Sam dan Ojé disana, I owe them. Setelah aku ketemu Papa, aku marah banget. Aku gak bisa mikir apapun kecuali keinginan aku untuk pulang kesini dan tidur di kasur kita. Aku sempet mikir jalan pintas supaya aku bisa tidur tapi nggak bisa. Aku malah semakin panik malam itu, aku berusaha telpon kamu karena aku kangen kamu banget dan satu-satunya yang bisa aku lakuin cuma usaha untuk menuhin indra aku dengan kamu supaya bisa ngerasa kehadiran kamu. Tapi waktu aku telpon ke ponsel kamu, yang angkat orang lain. Itu bikin aku makin mikir yang aneh-aneh.” lanjut Seungwan.
“M-maksud kamu? Kamu mikir saya kayak Papa kamu?”
Seungwan mengangguk. “Itu bikin aku mual dan pusing banget. Hal terakhir yang aku inget adalah aku pergi ke kamar mandi dan setelahnya aku gak inget lagi. Tau-tau aku udah bangun di kasur.”
“Seungwan, kamu tau kan saya nggak mungkin melakukan apa yang Papa kamu lakukan?”
“Nggak ada yang gak mungkin, Joohyun. Aku akan terus kayak gini dan ada kemungkinan kamu akan lelah suatu saat nanti.”
“Saya nggak-...”
“Dengerin dulu, dengerin aku dulu. Itu yang ada dipikiran aku di hari itu. Tapi aku inget janji aku ke kamu kalau aku mau usaha untuk bisa jadi your strong and dependable home juga. Waktu itu, waktu kamu pulang kesini, aku memutuskan untuk pulang ke rumah mama karena aku belum siap ketemu kamu, tapi itu juga sebagai salah satu akibat karena aku mau usaha untuk bisa sembuh. Aku….. harus bisa berdiri sendiri. Aku nggak mau selalu berlindung di balik kamu, Joohyun.”
Joohyun menarik napasnya. Ia menarik Seungwan ke dalam pelukannya.
“You’re doing great, sayang. Saya bangga sama kamu.”
Seungwan tersenyum lega saat mendengar ucapan Joohyun. Ia pun membalas pelukan tersebut tak kalah erat.
“Mama yang bikin aku yakin untuk pulang kesini hari ini. Awalnya aku masih ragu untuk pulang, aku belum ngerasa pantas buat sama kamu. Tapi terus mama bilang yang bisa menilai aku pantas atau nggak buat kamu, ya cuma kamu aja-..”
“Saya setuju sama mama kamu.”
“Dengerin dulu!!” protes Seungwan saat Joohyun menyela dirinya.
Seungwan melepaskan pelukan mereka, ia merasa bahwa ia harus menatap Joohyun saat melanjutkan ucapannya.
“Terus mama juga bilang, nggak baik buat kamu nunggu kelamaan. Mama ngasih saran ke aku untuk tanya ke kamu, apa kamu mau tunggu sampai aku siap atau kamu lebih milih untuk jalan bareng aku dan bantu aku untuk siap.” ujar Seungwan memberi jeda bagi dirinya sendiri.
“Sekarang, semuanya terserah kamu, Joohyun. Apa kamu mau terima aku yang masih banyak cacatnya gini? Atau kamu…. mau kita udahan aja? Aku mikir nggak adil buat kamu untuk punya pasangan kayak aku. Kamu bisa dapat orang yang jauh lebih sempurna.”
Joohyun mengerutkan keningnya. Cerita yang Seungwan beritahukan padanya saat ini justru membuat dirinya ingin marah. Namun Joohyun tahu ini semua bukan salah Seungwan dan Seungwan bukanlah sosok yang tepat untuk merasakan amarahnya malam itu.
“Stop sebut diri kamu cacat. Kamu nggak cacat, kamu….Kalau kamu butuh ribuan kali untuk saya yakinin bahwa saya cuma mau untuk menghabiskan masa hidup saya sama kamu, then I will do it. Saya akan ingetin kamu alasan kenapa saya memilih dan akan selalu memilih kamu, setiap hari saya akan lakukan itu.”
“Tapi Joo–...”
“Nggak, Seungwan. Jawaban saya sudah final dari berbulan-bulan lalu saat saya melamar kamu dan saya bukan orang yang suka meragukan keputusan yang sudah saya yakini benar. Satu lagi, saya sangat menghargai kamu mau berbagi cerita ke saya seperti sekarang ini. Tapi boleh saya mohon ke kamu untuk langsung ceritakan ke saya apapun itu, terutama hal yang penting yang menyangkut keselamatan kamu.”
“Terus janji janji yang dulu kamu minta aku janji ke kamu itu gimana?” ujar Seungwan mengingatkan.
“Anggap itu gak ada, saya egois sama kamu kemarin-kemarin.”
“Jadi aku boleh nih ya pergi sendiri?”
Joohyun terlihat berat untuk mengabulkan permintaan tersebut namun ia menganggukkan kepalanya.
“Dengan catatan kamu tolong kabarin saya ya kalau pergi kemana-mana. Nggak harus kasih kabar yang gimana-gimana banget, just let me know that you’re okay.”
Seungwan tertawa saat ia memahami maksud dari perkataan Joohyun.
“Termasuk aku boleh naik taksi sekarang?”
“Boleh, tapi kayak yang saya bilang tadi. Kasih tau saya keadaan kamu. Intinya, kalau kamu ngerasa kamu dalam bahaya atau kamu butuh saya, tolong langsung telpon saya.”
“Wow, Minjeong ngapain kamu sih kemarin di Paris?”
“Ngajak saya ke gereja.”
Seungwan tertawa kencang, “Serius? Minjeong?”
“Iya, awalnya dia minta buat foto di pohon natal yang tinggi. Terus kami sekalian ke gereja pas sore sebelum malam natal.”
“Joohyun…”
“Iya?”
“Aku boleh minta sesuatu dari kamu? Kali ini aku bukan minta jarak, tapi aku minta waktu kamu dan kesabaran kamu. Well, aku mau minta maaf juga karena aku selalu ngerepotin kamu.”
“Tanpa kamu minta pun, bukannya saya selama ini udah kasih kamu itu? Apa itu kurang? Ini saya beneran tanya, karena kalau kurang saya akan berusaha lebih untuk memenuhi permintaan kamu.”
Seungwan menggeleng, “Nope, nggak kurang. But I want to remind you again.”
“Okay, thank you for that but actually you need to remind me about lots of things, by the way. This is one of them.”
Joohyun menarik tubuh Seungwan untuk kembali mendekat kepadanya. Kali ini tangan Joohyun menangkup sisi wajah Seungwan dan kemudian ia mencium bibir Seungwan dengan perlahan. Berusaha untuk memberitahukan betapa rindunya ia pada sosok tunangannya itu.
”One step at a time, Seungwan. We will get there.”