Amoureux de…(Seungwan) part 6-34

“Minjeong sama Jennie kenapa sih?” tanya Joohyun sembari meletakkan ponselnya.

“Hm?”

“Itu di grup nggak jelas itu. Apa yang saya lewatin selama kamu ngerjain saya?” tanya Joohyun yang telah menjulurkan tangannya dan mencubit hidung Seungwan dengan sengaja.

“Oh itu, adek kamu yang awalnya mulai godain mereka sih. Awalnya karena tiap Kak Jen nanya sesuatu, pasti Minjeong bisa jawab. Terus Yerim bilang kok Minjeong bisa merhatiin Kak Jen segitunya? Dan yaa terus mulai dari sana.”

Seungwan menggelengkan kepalanya untuk melepaskan tangan Joohyun yang kini tengah mencubit hidungnya sebagai bentuk protes kecil.

“Joohyuuun sakit!! Iseng banget sih!” omel Seungwan yang langsung menepis tangan Joohyun.

Yang terkena omelan hanya tertawa kecil. Ia kemudian mengamati Seungwan yang kini sudah bersiap untuk kembali memejamkan matanya untuk kembali menikmati sepoi suasana sore hari itu.

“Seungwan…” panggil Joohyun lembut.

“Hm??”

“Kamu…udah puas belum sore hari ini?”

Perlahan kelopak mata Seungwan terbuka sering dengan keheningan yang tercipta setelah pertanyaan yang dilontarkan Joohyun barusan.

Kini Seungwan menatap ke arah Joohyun yang sedang terduduk di sampingnya sembari memeluk kedua kakinya yang terlipat di depan dada. Angin pantai sore hari itu mengusik rambut hitam legam milik Joohyun namun bagi Seungwan pemandangan di depannya tetaplah indah.

“Kenapa? Mau pulang ya?”

Seungwan menjadi sedikit malu saat Joohyun tidak menjawab pertanyaannya. Sang CEO hanya terdiam menatap dirinya dengan senyuman hangatnya.

Setelah merasa cukup puas menatap Seungwan, Joohyun kemudian menggeleng pelan dengan senyuman yang masih terpatri di wajahnya.

“Bukan pulang tapi pergi ke tempat kita malam ini menginap. Kalau kamu masih belum puas, masih pengen disini, yaudah saya tungguin.”

Raut wajah Seungwan sedikit berubah ketika ia mendengar ucapan Joohyun. Nampaknya ia bisa menebak kemana arah mereka akan menghabiskan malam mereka hari itu.

“Kita mau ke glamping site?”

Joohyun tidak langsung menjawab. Ia hanya memperhatikan Seungwan yang terlihat sedikit gelisah dan kemudian memilih untuk bangkit dari posisi tidurnya.

Sang solois kini duduk bersila di atas tikar yang disewa oleh Joohyun. Ia membuat gambaran-gambaran abstrak di atas pasir.

“Kamu gelisah.” ucap Joohyun singkat.

Pernyataan tersebut tidak disambut dengan reaksi apapun dari Seungwan. Sang solois hanya menarik dan menghela napasnya berkali-kali.

Setelah merasa cukup memberikan waktu bagi Seungwan, Joohyun kemudian menghentikan tangan Seungwan yang masih mengukir pasir di hadapannya.

“Seungwan, ada apa? Cerita sama saya. Setiap kamu gelisah kayak gini, artinya ada yang bikin kamu sangat kepikiran dan kamu cuma gelisah kayak gini untuk hal-hal tertentu, ya kan?”

Seungwan menggeleng pelan.

“Nothing…Kamu belum jawab pertanyaan aku tadi, by the way.” ujar Seungwan yang merujuk pada pertanyaan awalnya kepada Joohyun.

“It’s not nothing kalau buat kamu gelisah kayak gini. Cerita ya sama saya? Mungkin saya bisa menebak apa isi kepala kamu, tapi tebakan saya belum tentu tepat kan?”

Seungwan lagi-lagi menghela napasnya dan kembali mencoba menatap Joohyun. Lagi-lagi ia hanya menemukan Joohyun tersenyum ke arahnya, namun kali ini ditemani dengan pandangan teduh yang disajikan oleh Joohyun hanya untuknya.

Perlahan Seungwan balas menggenggam tangan Joohyun, berusaha mengumpulkan keberaniannya.

“Aku gak mau spoils the supposed happy days. Aku tahu kalian semua sebenernya udah nyiapin banyak untuk rayain hari ulang tahun aku tapi jujur sebenernya waktu aku harus kembali ke sini, ada perasaan senang dan takut di dalam diri aku. Senang karena this is our happy place, hyun.” bisik Seungwan lirih.

Joohyun mengusap punggung tangan Seungwan dan kembali mengencangkan genggamannya, seakan-akan ingin memberikan kekuatan bagi Seungwan untuk melanjutkan kalimatnya.

“Tapi aku juga takut untuk kesini lagi. Terutama ke glamping site, knowing who owns it.”

Joohyun mengangguk paham.

“Jadi dari tadi kamu maksain diri kamu buat kelihatan senang ada disini?” tanya Joohyun berhati-hati.

Mata Seungwan membulat besar, ia buru-buru menggelengkan kepalanya. Satu-satunya yang tidak ia inginkan adalah membuat Joohyun merasa bahwa apa yang sedari tadi ia tampilkan hanyalah kebohongan.

“N-nggak! Apa yang aku rasain dari tadi, that’s true and sincere! Aku seneng bisa ada disini sama kamu but I can’t help it to think about the bad things.”

Tepat setelah ia menyelesaikan penjelasannya, Seungwan dapat melihat Joohyun bernapas sedikit lega.

“Saya kira dari tadi kamu tertekan.” tawa Joohyun.

“Seungwan, yang paling penting buat saya itu kebahagiaan kamu. Lain kali kalau kamu merasa nggak akan enjoy untuk berada di suatu tempat, kasih tahu saya ya? Jangan mikir nggak enak sama saya. Kamu ngerasa nggak sih ini semua akan jadi efek domino, because like what I said I am happy whenever you are happy.

“Tapi hyun… Aku tau kalau aku bilang, pasti kamu langsung batalin. Jadi aku gak mungkin bilang aku nggak mau kesini setelah aku tahu usaha kamu dan usaha orang-orang. Aku harus ngehargain waktu dan tenaga kalian.” ujar Seungwan dengan suaranya yang kian mengecil.

Joohyun menarik Seungwan ke dalam pelukannya. Ia tidak peduli jika saat ini mereka berada di tempat umum karena yang ia tahu instingnya berkata demikian. Tangan Joohyun bergerak naik-turun, mengusap punggung Seungwan.

“Okay, okay. Kamu benar, saya pasti batalin kalau saya tau dari kemarin.”

Sang CEO tertawa ketika ia mendengar erangan protes dari Seungwan.

“Hyuuun! Tuh kan!”

“Dengerin dulu, sayang. Tapi kita berdua sekarang sudah sama-sama belajar kan? Saya belajar dengerin kamu dan kamu sekarang juga lebih terbuka sama perasaan kamu. Kayak sekarang ini contohnya.”

“Ya tapi kan!” protes Seungwan yang sedikit teredam oleh bahu Joohyun.

Sang CEO mendorong tubuh Seungwan pelan, melepaskan pelukan mereka. Kedua tangannya berada di bahu Seungwan.

“Kita bisa buat memori baru yang lebih indah, Seungwan. Kamu percaya sama saya kan?”

Seungwan mengangguk. “Tapi please jangan ke glamping site?”

“Kalau kamu nggak mau, kita nggak akan kesana. Walaupun jujur, tempat itu udah jadi salah satu rencana awal saya.”

“Tuh kan… pasti kamu udah nyiapin yang aneh-aneh deh.” gerutu Seungwan dengan bibirnya yang mengerucut kesal.

“Nggak kok. Kamu bisa telepon Minjeong kalau nggak percaya. Tanya ke dia, apa yang saya siapin buat kamu.”

“Ih curang bawa-bawa Minjeong. Dia kan bisa aja bohong, soalnya dia nurut banget sama kamu!”

Joohyun lagi-lagi tertawa saat ia melihat ekspresi Seungwan. Ia sendiri tidak tahu sudah berapa kali ia tertawa semenjak ia bersama Seungwan hari ini.

“Nggak, ngapain saya bohong? Lagian setelah dulu saya cerita tentang….papa kamu…” Joohyun berhenti bicara sebentar untuk melihat ekspresi Seungwan dan kembali melanjutkan kalimatnya saat ia merasa bahwa Seungwan baik-baik saja.

“Waktu beliau datang ke kantor saya itu dan saya lihat betapa marahnya kamu, saya juga yakin kamu pasti akan pikir-pikir ulang untuk pergi ke glamping site lagi. Jadi sebenarnya walau glamping site ada di list saya, tapi itu ada di urutan terbawah.” jelas Joohyun.

“Terus ini kita mau nginep dimana? Kenapa gak pulang aja ke rumah kamu sih?”

Joohyun berdiri dari posisi duduknya dan merapikan serpihan-serpihan pasir yang kentara menempel pada celana jeans hitam yang ia kenakan. Tak lama kemudian ia mengulurkan tangannya pada Seungwan ditemani dengan senyuman khas miliknya.

“Saya mau waktu kamu untuk saya sepenuhnya, seperti waktu saya yang sepenuhnya saya kasih untuk kamu sekarang dan seminggu ke depan. Kalau kamu terima tawaran saya, genggam tangan saya dan kita akan pergi ke tempat selanjutnya. Tapi kalau kamu lebih ingin pulang dan menghabiskan waktu dengan teman-teman kita…. Kamu boleh cium saya deh.”

“Ih! Itu mah kamu yang cari kesempatan!” protes Seungwan sambil tertawa.

Senyuman di wajah Joohyun merekah saat ia merasakan uluran tangannya disambut oleh Seungwan.

“Nggak usah nyebelin mukanya.” ujar Seungwan sembari memutar kedua bola matanya seolah-olah ia merasa malas dengan Joohyun. Padahal di dalam hatinya ia sedang berusaha keras menyembunyikan rasa malu dan gembira.

“Jadi kamu lebih milih saya nih ya dibanding temen-temen kita?”

“Pikir sendiri aja deh jawaban dari pertanyaan konyol kamu itu. Udah buruan ini mau kemanaaaaa!”

Untuk kesekian kalinya Joohyun kembali tertawa lepas saat melihat tingkah Seungwan yang menghentak-hentakkan kakinya merengek pada Joohyun. Ia hanya menggelengkan kepalanya kemudian berjalan ke tempat dirinya memarkirkan kendaraan mereka untuk sejenak.

Sementara itu Seungwan melirik ke arah tangannya yang digenggam erat oleh Joohyun lalu melirik ke arah Joohyun yang bersenandung kecil sembari berjalan di atas setapak menuju mobil mereka.

“Jangan diliatin terus, nanti tambah suka.” goda Joohyun.

“Kamu bisa gak sih balik kayak Joohyun yang pas pertama kali aku kenal? Joohyun yang diem aja gitu loh. Capek aku tuh digodain gini terus!” omel Seungwan yang tersipu malu karena ketahuan mengamati sang kekasih.

Sang CEO menoleh sejenak ke arah Seungwan dan secepat kilat ia mengecup singkat pipi Seungwan.

“Kalau saya cerewet tandanya saya sudah super duper nyaman sama orang itu.”

Lagi-lagi Seungwan dibuat mati kata oleh Joohyun. Ia pun memilih untuk menolehkan wajahnya ke arah pantai, menikmati pemandangan sunset dimana langit perlahan berubah warna dari jingga menjadi lebih gelap.

Pemandangan tersebut entah kenapa membuat Seungwan sedikit merasa melankolis. Namun kehangatan yang ia rasakan dari genggaman tangan Joohyun seakan menyadarkannya bahwa ia tidak sendirian saat itu.

Joohyun ada disana bersama dengannya.

Joohyun ada disana menawarkan bahunya sebagai tempatnya untuk beristirahat sejenak.

”Akan ada hari-hari dimana kita nggak bisa kayak gini, akan ada hari dimana kita pasti akan bertengkar, akan ada hari dimana aku bahkan benci untuk sekedar hidup but if it’s with you, I think I can handle it, Joohyun. I trust you.”