Amoureux de…(Seungwan) part 7-18
Mobil sedan berwarna putih yang digunakan untuk menjemput Joohyun, Seungwan, dan Minjeong dari helipad pribadi milik keluarga Bae terlihat memasuki pekarangan rumah mewah kediaman tuan dan nyonya Bae.
Sepanjang perjalanan Joohyun hanya mengulas senyuman dan merespon secara singkat atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh Seungwan atau sesekali menanggapi percakapan yang dibangun oleh Minjeong.
Bukan tanpa alasan Joohyun bertindak demikian.
Dalam pikirannya telah berkecamuk berbagai kemungkinan mengapa kedua orang tuanya sampai bertindak jauh, mulai dari memutus jalur komunikasi untuk mengurus ‘masalah’ berita pagi tadi dan kini ia diminta pulang oleh kedua orang tuanya tanpa membawa Seungwan.
Tentu saja Joohyun tidak akan meninggalkan Seungwan sendirian.
Alhasil, ia tetap nekat membawa Seungwan ke kediaman keluarga Bae tanpa meminta izin kepada orang tuanya terlebih dahulu. Toh menurut Joohyun hanya dirinya yang mengetahui permintaan aneh dari Ayahnya itu.
Sementara itu di lain sisi, Seungwan sebenarnya sudah merasakan ada hal yang sedang ditutupi oleh Joohyun. Namun ia tahu saat ini bukanlah saat yang tepat untuk meminta Joohyun menceritakan kegelisahannya.
Seperti saat ini, Seungwan hanya bisa memastikan bahwa Joohyun tidak terlalu resah dan memastikan bahwa Joohyun tahu ia tidak sendirian. Ia menoleh kesamping dan dapat dilihat jelas olehnya, kini Joohyun sedang terlarut dalam pikirannya.
Sang solois kembali mempererat genggaman tangannya pada tangan Joohyun dan menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun.
“Tangan kamu dingin banget. Kamu kedinginan?” pancing Seungwan yang berusaha membuyarkan lamunan Joohyun.
“Oh… kayaknya dari tadi kena AC terus makanya dingin gini.”
“I see… if you are not feeling well, please do tell me ya. Aku nggak mau kamu sakit, Hyun.”
“Sure. Don’t worry about me.” jawab Joohyun singkat diikuti dengan kecupan di puncak kepala Seungwan.
Mungkin dirinya terlalu tenggelam dalam pemikiran-pemikiran negatifnya hingga Joohyun cukup terkejut ketika ia mendengar ucapan penuh syukur yang datang dari sang asisten pribadi.
“Okay, we are here. Fyuh, thank god nggak ada kendala apapun.” ucap Minjeong, sebenarnya lebih pada dirinya sendiri, saat mobil pribadi milik nyonya Bae telah terparkir dengan sempurna.
Mendengar ucapan Minjeong, Joohyun memejamkan matanya sejenak dan menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur ulang emosinya agar tetap stabil.
Lagi-lagi hal ini membuat Seungwan bertanya-tanya sebenarnya seberapa buruk damage yang diberikan oleh artikel pagi tadi? Baru kali ini Seungwan mendapati Joohyun dengan gesture tubuh yang sangat tegang ketika menjajaki kakinya di rumah keluarga Bae.
Minjeong sudah lebih dahulu turun dari kursi penumpang dan merapikan pakaiannya. Ia membungkukkan badannya saat salah satu pelayan keluar dari pintu depan.
“Hyun? Nggak turun?”
“O-oh… ya. Sorry…” jawab Joohyun kikuk.
Seungwan mengecup singkat pipi Joohyun dan memeluk sang CEO.
“Aku tau ada yang kamu pikirin dan belum mau kamu bagi ke aku but please tell me about it soon, ya? Bagi beban kamu ke aku juga.” bisik Seungwan tepat di telinga Joohyun.
Napas Joohyun sempat tercekat untuk beberapa saat namun tak lama kemudian tubuhnya menjadi lebih rileks saat ia merasakan bahwa Seungwan mempererat pelukannya.
“Yeah…later. Aku harus…..” Joohyun menghela napasnya panjang, kemudian melanjutkan ucapannya, “...isi kepala aku lagi kusut. Aku harus mengurai masalahnya satu per satu. Nanti aku pasti cerita ke kamu.”
“Aku bisa bantu apa?”
“Tetap ada disisiku, jangan pergi. Cuma itu aja udah lebih dari cukup.” ujar Joohyun pelan. Tanpa ia sadari secara otomatis ia pun mempererat pelukannya dengan Seungwan.
“Okay… easy. Emang kamu pikir aku bakal pergi kemana?” canda Seungwan.
Joohyun tersenyum dan menggeleng.
Reaksi canggung dari Joohyun lagi-lagi membuat Seungwan bertanya-tanya. Namun ia tidak ingin menambah beban pikiran Joohyun dan pada akhirnya lebih memilih untuk melepaskan pelukannya dan mencium bibir ranum milik Joohyun.
Mata mereka terpejam selama mereka saling mencurahkan perasaannya.
“I love you.” ujar Seungwan sesaat setelah menyudahi ciuman mereka.
“I love you too. Always.”
Joohyun menarik napasnya panjang satu kali lagi sebelum ia membuka pintu mobil.
Rupanya kini sudah ada beberapa pelayan keluarga Bae serta Yerim yang menyambut Joohyun, Seungwan, dan Minjeong.
“Lama banget lo berdua.”
“Meeting dulu tadi.” jawab Joohyun singkat.
Yerim mengangguk pelan.
‘Rombongan mini’ tersebut berjalan memasuki kediaman keluarga Bae dengan Yerim dan Joohyun berjalan di urutan paling depan dan disusul oleh Seungwan dan Minjeong.
“Kak, lo ditunggu ayah di ruangannya.”
Lagi-lagi Joohyun terlihat gelisah di mata Seungwan. Hal ini pun terbukti saat Seungwan dapat melihat bahu Joohyun yang kembali menegang dan tanpa Joohyun sadari, ia meremas tangannya.
Melihat hal ini Seungwan kemudian berinisiatif untuk menggenggam tangan Joohyun.
“Ketemu Ayahnya mau sambil aku temenin?” tanya Seungwan halus, matanya menatap penuh arti pada Joohyun.
Namun lagi-lagi Joohyun hanya tersenyum simpul dan menggeleng pelan.
“Ayah mau ketemu aku sendiri dulu. Nanti ya…bukan kamu nggak boleh tau…tapi–...”
“It’s okay, Joohyun. Aku cuma nawarin buat nemenin kamu. Kalau memang ada hal personal yang harus kamu omongin sama Ayah, aku nggak akan maksa untuk nemenin kamu.”
“Tapi aku nggak mau–...”
Seungwan mengeratkan genggamannya, ibu jarinya mengelus punggung tangan Joohyun untuk menenangkan sang kekasih.
“It’s okay. It’s okay. Aku paham, okay? Aku bakal nunggu kamu di ruang lain. Lagian ada Minjeong juga yang bisa nemenin aku.”
Melihat asistennya yang mengangguk mantap, Joohyun pun sedikit merasa lebih baik.
“Okay….. Kalau kamu bosan, kamu baking atau masak aja. Bisa ajak bibi atau ajak nih Yerim, biar dia bisa masak dikit-dikit.”
“Lo nyuruh gue masak itu sama aja nyuruh Seungwan ngajarin gue bakar rumah, tau nggak?” potong Yerim cepat.
Kelakar Yerim sukses membawa tawa bagi Joohyun dan Seungwan.
“Santai aja, Hyun. Aku udah berapa kali kesini? Kamu nggak usah khawatir deh.”
“Tau! Adanya gue yang harus khawatir sama lo!”
Mendengar ucapan Yerim, Joohyun langsung mengirim kode agar adiknya itu tidak berbicara lebih lanjut. Namun Seungwan sudah lebih dahulu menangkap sinyal-sinyal tersebut dan membuat dirinya semakin yakin untuk menanyakan hal ini kepada Joohyun nanti.
Untuk saat ini sang solois memilih menarik napasnya dalam-dalam dan memamerkan seulas senyuman bagi Joohyun. Setidaknya ia tidak ingin membuat Joohyun mengkhawatirkan dirinya.
“Aku tinggal dulu ya?”
“Yep, good luck. For whatever it is that you might face but please cerita ya nanti? We are in this together right?”
Minjeong dan Yerim hanya bisa bertukar pandang. Mereka berdua sedikit lebih banyak mengetahui dari apa yang Seungwan ketahui saat ini.
“Yeah, later I will.” ujar Joohyun yang memilih untuk memeluk Seungwan satu kali lagi sebelum ia harus menemui ayahnya.
Sang CEO kemudian melepaskan pelukan singkat tersebut dan mendorong Seungwan serta Minjeong untuk berjalan ke arah ruang keluarga.
“On second thought, kayaknya aku mau di taman aja.” ujar Seungwan.
“Okay, nanti aku kesana setelah selesai sama Ayah.”
Seungwan melambaikan tangannya singkat dan kemudian merangkul Minjeong, berjalan ke arah taman belakang.
Sementara itu, Yerim masih berdiri di ujung anak tangga menuju lantai dua. Ia menunggu kakaknya untuk berjalan bersamanya ke ruang kerja milik ayah mereka.
“Kak, you good?” tanya Yerim saat Joohyun sudah berjalan beriringan dengannya.
“Depends, tapi gue punya lo kan?”
“Of course, you dummy.” ujar Yerim yang menawarkan kepalan tangannya ke arah Joohyun.
Gesture Yerim justru mengundang tawa pelan dari Joohyun yang kini memilih untuk mengacak rambut Yerim pelan.
“Gak usah sok gangster, lo aja dimarahin bokap sering ciut.”
“Ih, nggak ya! Kali ini gue nggak bakal ciut!”
Joohyun kembali tertawa pelan dan menggelengkan kepalanya.
“Wish me luck, mim.”
“Apaan sih? Segitunya banget?”
“I guess so? Ayah udah motong jalur buat langsung hubungin Kak Taeyeon, it says a lot. Plus minggu lalu gue sempet berantem sama ayah juga, he knows mim.”
“Seungwan?”
“Yeah…”
“That bad? Lagian kan Seungwan udah terapi?”
“There is something that you don’t know about her and you might know it later, when we enter this room.”
Yerim mengernyit. “As long as Seungwan bukan kriminal, gue nggak ada alasan buat menilai dia berbeda.”
“Yeah, I wish Ayah dan Bunda juga bakal berpikiran sama.”
Joohyun menarik napasnya satu kali lagi, kemudian ia mengetuk pintu dua kali sebelum ia membuka pintu ruang kerja ayahnya tersebut.
Di dalam sana terlihat tuan Bae yang sedang sibuk dengan gawainya dan nyonya Bae yang sedang duduk sembari memegang remote televisi.
Sontak ketika nyonya Bae melihat putri sulungnya berjalan memasuki ruangan, ia berdiri dan menghampiri Joohyun. Diambilnya kedua tangan Joohyun sembari matanya melihat tubuh putrinya dari ujung kaki hingga ujung kepala, berusaha memastikan jika putrinya dalam keadaan yang baik.
“Joohyun, kamu baik-baik aja kan?”
Joohyun mengangguk pelan. Ia berikan satu senyuman kecil bagi Bundanya.
“I’m good, Bun. Makasih udah bantu aku dan Seungwan.”
“Seungwan disini?” tanya tuan Bae.
“Di taman, lagi sama Minjeong.”
“Yerim, kasih tau Minjeong dan Seungwan untuk tetap di dalam rumah. Jangan di taman.” perintah tuan Bae singkat.
“Kalau aku keluar, jangan dikunciin ya tapi! Aku juga mau tau semuanya.”
Tuan Bae terdiam sejenak, kemudian menatap ke arah Joohyun, “Terserah kakak kamu.”
“It’s okay mim. Nggak akan gue kunci.”
Yerim menatap ke arah kakaknya kemudian ke arah tuan Bae, memberikan peringatan bagi keduanya untuk tidak mengingkari ucapan mereka dan setelah ia yakin pesannya sudah tersampaikan, Yerim pergi meninggalkan ruang kerja tersebut.
“Apa kabar kamu, Joohyun?” tanya tuan Bae berusaha memecah keheningan setelah putri bungsunya meninggalkan ruang kerja miliknya.
“I’m good, before the news. Sekarang, in between.”
Tuan Bae mengangguk pelan. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah meja yang berisikan seperangkat coffee maker dan toples yang Joohyun ketahui berisikan teh-teh favorit ayahnya.
Sang kepala keluarga tetap dalam diamnya, membuat dua cangkir teh hangat yang terlihat dari kepulan asap di atas permukaan cangkir tersebut.
Setelahnya tuan Bae kemudian memberikan salah satu cangkir tersebut kepada nyonya Bae.
“Kalau kamu mau bikin sendiri.” ujar tuan Bae sambil terkekeh pelan.
Joohyun tetap duduk dalam diamnya, berusaha membaca alur percakapan sore hari ini.
Melihat suami dan putri sulungnya masih sama-sama keras kepala, nyonya Bae kini ganti berinisiatif untuk mencairkan suasana. Ia tersenyum ke arah Joohyun yang tentu saja membuat fokus Joohyun cukup buyar.
“Joohyun, gimana Seungwan?”
“Baik, dia justru kelihatan santai kali ini.”
“Tentu dia santai. Berita kali ini responnya positif, kan?”
Joohyun mengernyitkan keningnya, tidak mengira bahwa ayahnya akan memberikan respon yang demikian. Namun ia tetap berusaha untuk menjaga ekspresinya. “Ya, syukurnya gitu.”
“Menurut kamu, memang responnya positif atau ada andil orang lain?”
“Mas…” nyonya Bae membuka suara saat ia merasakan bahwa tensi mulai meningkat.
“Nggak, aku cuma mau buat Joohyun ini paham kalau–...”
Ucapan tuan Bae terpotong ketika Yerim memasuki ruang kerja tersebut dengan cukup gaduh. Terlihat keringat sedikit mengaliri pelipisnya.
“Whoops, gais gak usah pake urat. Ini aja baru mau mulai!” potong Yerim yang langsung mengambil posisi duduk di sebelah Joohyun.
“Tadi ayah mau bilang apa?” tanya Joohyun, matanya menatap lurus ke arah tuan Bae.
“Iya, ayah mau bilang kalau kamu harus tau apa yang kamu lihat di depan mata kamu itu nggak seperti yang kamu bayangkan. Kamu pikir berita tentang kalian berdua saat ini benar-benar dapat respon positif?”
“Cut the case, jadi maksud ayah ada yang udah bantu aku dan Seungwan? Siapa? Biar aku bilang terima kasih.”
Tuan Bae menyesap teh hangat miliknya secara perlahan. Ia sengaja menjeda kalimatnya agar memberikan waktu bagi Joohyun untuk menata ulang emosinya yang mulai terpancing. Tuan Bae sangat memahami anak sulungnya, cukup dapat dimengerti mengingat keduanya memiliki tabiat yang mirip.
“Yerim, tolong ambil kertas-kertas yang ada di meja kerja Ayah. Kamu kasih kakak kamu.”
Yerim menatap tuan Bae dengan kerutan di dahinya, namun ia tentu saja tetap bangkit dari kursinya dan berjalan ke meja kayu yang terletak di belakang sofa yang saat ini ditempati tuan Bae.
Betapa terkejutnya Yerim saat ia melihat banyaknya kertas yang bertumpuk. Beberapa kertas yang ia baca secara sekilas merupakan print-out dari runtutan email. Sang bungsu keluarga Bae merapikan kertas tersebut kemudian segera memberikannya kepada Joohyun walaupun sejujurnya ia pun penasaran dengan informasi-informasi yang ada disana.
Sementara itu, Joohyun pun harus mengakui bahwa ia cukup terkejut. Jauh di dalam lubuk hatinya, ia hanya bisa berdoa bahwa tumpukan kertas yang diserahkan oleh Yerim tidak akan membawa petaka baginya.
Satu per satu kertas ia baca dengan saksama dan betapa terkejutnya Joohyun ketika ia menyadari bahwa kertas-kertas tersebut merupakan chain e-mail antara pihak Ayahnya dan pihak media yang mengatakan akan membeberkan lebih banyak informasi perihal hubungan Joohyun dan Seungwan.
“Kamu terlalu sombong, Joohyun. Ayah rasa baik Ayah maupun Bunda kamu, kami nggak pernah mengajarkan kamu untuk berperilaku sombong. Kamu terlalu yakin bahwa kamu bisa menyelesaikan semuanya seorang diri. Kamu terlalu yakin bahwa semuanya akan berjalan sesuai rencana kamu.” ujar tuan Bae dengan tenang.
“Terlalu banyak masalah yang kamu simpan seorang diri. Kamu dan strategi mu itu, justru sekarang sedang membelit lehermu, kan? Punya rahasia itu wajar, punya masalah apa lagi. Tapi kamu lupa bahwa dari dulu yang Ayah ajarkan ke kamu adalah untuk mampu menyelesaikan permasalahanmu satu per satu. Bukan justru menunda semua penyelesaiannya hingga akhirnya yang terjadi sekarang justru masalahmu lebih banyak daripada jalan keluarnya.”
Joohyun dapat merasakan nyawanya perlahan meninggalkan tubuhnya ketika matanya membaca dengan cepat kertas demi kertas.
Beberapa kertas hanya berisikan paragraf-paragraf yang menggambarkan tentang kencan-kencan yang sudah dilakukan oleh Joohyun dan Seungwan. Beberapa kertas lainnya berisikan kronologi kencan beserta foto, mulai dari yang terlihat buram hingga yang menampilkan dengan jelas sosok Joohyun dan Seungwan.
Bahkan beberapa foto tersebut terlihat sangat intim dimana beberapa diantaranya merupakan foto Joohyun yang sedang mencium Seungwan, atau sebaliknya.
Namun yang membuat Joohyun benar-benar lemas adalah satu bundel kertas yang dapat menceritakan dengan jelas tentang kehidupan pribadi Joohyun dan Seungwan. Tentang malam dimana Seungwan hampir kehilangan nyawanya. Tentang malam dimana Seungwan mengalami episode-episodenya.
Otak Joohyun bekerja dengan sangat cepat dan hanya ada satu kemungkinan yang terlintas di kepalanya.
Apartemen Seungwan sudah diselundupi oleh orang yang memiliki niatan tidak baik.
“I-ini s-semua…”
“Kenapa kak….” tanya Yerim yang kini pun mulai khawatir.
“Sudah sadar sekarang betapa sombongnya kamu sampai kamu kecolongan hal penting seperti ini?” tanya tuan Bae dengan tenang.
“Mas… tadi kamu janji ke aku bukan ini yang mau kita bahas.” potong nyonya Bae.
“Nggak, sayang. Ini harus diselesaikan dulu baru kita bisa bahas Seungwan. Kalau Joohyun masih sesombong ini dan masih belum bisa mencerna niat baik orang-orang yang peduli dengannya, apa kamu rasa dia bisa keluar dari permasalahannya sekarang ini?”
“Wait wait wait, ini tuh apa sih? Adek nggak paham. Kakak sombong gimana? Ayah nolongin kakak apa? Terus ini masalah apa lagi?”
“Minggu lalu, saat ulang tahun Seungwan, ayah ajak kakak kamu bicara. Sebenarnya awalnya ayah dan bunda mau membahas kertas-kertas yang ada di tangan kakak kamu itu. Bedanya, minggu lalu Ayah dan Bunda menyinggung hal lain terlebih dahulu, hal yang nggak kalah penting sama kertas-kertas itu” tunjuk tuan Bae pada kertas yang masih digenggam erat oleh Joohyun.
Rahang Joohyun mengeras saat ia mengingat kejadian minggu lalu.
Flashback
Joohyun masih melangkah dengan ringan, sedikit berjalan melompat-lompat di belakang nyonya Bae yang lebih dahulu meninggalkan dirinya dan Seungwan.
”Kamu tuh kalau lagi seneng kelihatan banget.” goda nyonya Bae.
”Hehe Joohyun emang lagi seneng sekarang. Hari ini hari spesial buat Seungwan dan Joohyun berhasil bikin Seungwan seneng.” jawab Joohyun diiringi dengan senyuman lebar di wajahnya.
Nyonya Bae tersenyum melihat tingkah putrinya. Ia kemudian menyelipkan tangannya dan memeluk lengan Joohyun.
”Kamu cepet banget gede ya? Bunda inget banget dulu setiap hari kamu ngekor di deket Bunda dan selalu nanya ini itu. Bunda ini apa? Bunda itu apa? Terus kamu sering bantu Bunda kerja. Inget nggak?”
Joohyun mengangguk, “Inget sedikit. Aku inget nemenin Bunda cari-cari bahan. Terus kita makan eskrim setelah selesai.”
”Dulu kamu selalu minta bayaran eskrim setelah bantu Bunda.”
”Ya kan kalau bukan aku, terus siapa? Dulu belum ada Yerim, Ayah juga sibuk.”
”Ayah kamu sibuk juga kan cari uang untuk kamu dan Bunda, sayang.” ujar nyonya Bae yang kemudian menyampirkan rambut Joohyun ke belakang telinganya.
”Well, still. Bottom line, there was a time when it was just you and me, against the world.”
”Iya, sayang. Makanya Bunda juga sekarang kadang-kadang keinget masa-masa itu dan sedih karena kamu cepet banget gedenya.”
”Aku masih Joohyun yang sama, Bun. Cuma lebih tinggi aja.”
Nyonya Bae dan Joohyun sama-sama tertawa karena sama-sama tahu bahwa topik tentang tinggi badan adalah topik yang cukup sensitif bagi keduanya.
Kini nyonya Bae dan Joohyun berdiri tepat di samping mobil sedan hitam, dimana tuan Bae nampak masih sibuk dengan gawainya di dalam mobil.
”Ayah dan Bunda mau bicara serius sama kamu sebentar, bisa ya?”
Ucapan nyonya Bae tentu saja menarik perhatian Joohyun. Jarang sekali kedua orang tuanya berbicara serius sampai-sampai harus menjauh dari kerumunan. Memang hal ini pernah dilakukan sebelumnya, namun sangatlah jarang.
”Err… okay. Something bad happened?” tanya Joohyun.
Nyonya Bae hanya tersenyum. Ia kemudian menepuk bahu Joohyun pelan.
”Ayah kamu mau ngomong, tapi kamunya sibuk banget. Bunda juga ingin ngomong penting sama kamu, tapi kamunya nggak ada waktu.”
Mendengar ucapan Bundanya, Joohyun hanya bisa tersenyum getir. Ia pun memilih untuk mengikuti permintaan sang Ibunda dan memilih untuk duduk di kursi penumpang bagian depan, menyadari bahwa tidak mungkin mereka bertiga sama-sama duduk di bangku penumpang bagian belakang.
”Mas, udahan itu handphonenya. Anaknya udah disini sekarang.” tegur nyonya Bae saat melihat bahwa suaminya masih terfokus dengan gawai yang ada digenggamannya.
”Oh, iya iya maaf hehe. Keasikan itu liat video klip.”
”Ayah kamu tuh, sekarang suka ngeliatin grup grup anak muda gitu. Heran deh bisa tau darimana.” terang nyonya Bae.
”Ayah ada yang ngefans? Kalau ada, coba kasih tau namanya. Siapa tahu Seungwan kenal, nanti bisa aku mintain tanda tangannya.” kekeh Joohyun.
”Oh! Ide bagus itu! Nanti deh ayah chat ke kamu nama grupnya. Susah itu ejaannya ayah juga bingung bacanya.”
Joohyun menggelengkan kepalanya, tertawa pelan atas keunikan sang ayah.
”Kata Bunda, Ayah mau ngomong? Ngomong apa sih sampai serius gini?”
Tuan dan Nyonya Bae bertukar pandang sejenak, sebelum pada akhirnya Tuan Bae kembali membuka suara.
”Joohyun, ada hal yang ingin Ayah konfirmasi ke kamu. Ayah punya orang-orang kepercayaan Ayah, tapi Ayah akan jauh lebih percaya kamu sebagai anak Ayah.”
”O…kay?”
”Ayah tahu ada yang kamu sembunyikan dari Ayah dan Bunda, berkaitan dengan hubungan kamu dan Seungwan. Sebelum kamu protes, Ayah nggak akan bicara tentang bagaimana kamu menjalin hubungan dengan Seungwan karena kalian sudah dewasa dan Ayah percaya sama kalian.”
”Terus maksud Ayah apa?”
Tuan Bae mengambil gawai miliknya dan menyerahkannya kepada Joohyun.
”Ayah baru menemukan fakta ini tentang Seungwan. Ini informasi penting bagi Ayah dan Bunda.”
Joohyun mengambil gawai yang diserahkan oleh Tuan Bae dengan perlahan. Matanya menatap gawai itu dengan sangat tajam.
Disingkapnya cover yang menutupi layar gawai tersebut dan seketika ia merasakan emosinya mulai memuncak tatkala matanya membaca baris demi baris yang tersedia di layar gawai tersebut.
“Ini maksudnya apa? Aku sudah tahu ini semua. Terus dengan nunjukin ini ke aku, maksudnya ayah dan bunda ingin dapat reaksi seperti apa dari aku?”
”Jadi informasi ini benar? Bahwa Seungwan bukan anak kandung Do Jin Ae?” tanya tuan Bae dengan hati-hati.
”Kenapa informasi ini jadi penting? Apa bedanya Ayah dan Bunda tahu informasi ini atau nggak?”
”Joohyun, tentu informasi ini penting untuk kami juga. Kami butuh tahu siapa pendamping hidup kamu dan bahkan Yerim nantinya. Tolong jangan salah paham dulu ya, sayang?” ucap nyonya Bae dengan halus.
”Informasi ini penting untuk kami ketahui karena background Seungwan bisa membahayakan kamu, Joohyun. Ayah perlu–....”
”Background lagi, background lagi. Kalau ini semua masih ada sangkut pautnya sama posisi aku di kantor, lebih baik kita berhenti diskusi disini. Alasan Ayah nggak masuk akal.” potong Joohyun dengan cepat.
”Joohyun, bukan begitu maksud Ayah kamu. Kami disini cuma mengkhawatirkan kalian berdua, itu aja.”
”Kalau gitu, kenapa Ayah sama Bunda harus pakai cara kayak gini?”
”Sekarang Ayah balik tanya ke kamu, akan sampai kapan kamu rahasiakan informasi sepenting ini dari kami? Apakah kamu ada niatan untuk kasih tahu ini semua ke Ayah dan Bunda kamu?”
Rahang Joohyun mengeras. Tentu saja ia tidak tahu kapan waktu terbaik untuk memberitahukan informasi sepenting ini kepada kedua orang tuanya. Disisi lain, Joohyun pun selalu merasa khawatir akan respon dari keluarganya jika mereka mengetahui informasi ini.
”Aku pasti akan kasih tahu Ayah dan Bunda, sebelum pernikahan. Aku sendiri masih nunggu kapan waktu terbaik untuk kasih tahu ini semua. Ada perasaan Seungwan yang harus aku jaga. Tapi karena sekarang Ayah dan Bunda sudah tahu lebih dulu, aku harap penilaian Ayah dan Bunda terhadap Seungwan nggak akan berubah. Satu lagi, aku harap Ayah dan Bunda stop kebiasaan untuk ngecek siapa orang yang lagi dekat sama aku atau Yerim. Kami berdua mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang Ayah dan Bunda lakukan selama ini justru buat kami berdua kecewa sama Ayah dan Bunda.”
Setelah ia menyelesaikan kalimatnya, Joohyun segera keluar dari mobil sedan tersebut tanpa mengindahkan panggilan dari nyonya Bae. Sementara itu tuan Bae hanya menghela napasnya, lagi-lagi Joohyun menyalahartikan tindakannya dan tindakan istrinya.
Flashback End
Yerim ternganga saat ia mendengarkan semua penuturan yang keluar dari mulut Ibundanya. Ia melirik ke arah Joohyun kemudian ke arah Ayahnya yang masih sama-sama terlihat keras kepala.
Sang bungsu keluarga Bae menghela napasnya panjang.
“Okay, okay. Ini informasi baru juga untuk aku. No offense kak, bukan gue belain Ayah atau Bunda, tapi informasi sepenting ini lebih baik untuk lo buka ke kami semua. Ini penting buat gue, bukan karena status Seungwan tapi artinya orang yang tahu informasi ini either dia kawan atau lawan. You know that, right?” ujar Yerim sembari menepuk punggung tangan Joohyun dengan pelan.
“Satu lagi, adek setuju sama kakak. Ayah dan Bunda harus stop terlalu ngurusin hal-hal pribadi aku atau kakak. Kami berdua udah gede, udah bisa urus diri kami masing-masing. Lagian ya, Ayah sama Bunda tuh udah tua. Mendingan nih ya waktunya dipake buat seneng-seneng daripada pusing mikirin aku atau kakak.” sambung Yerim.
Mendengar ucapan Yerim, tuan Bae pun memicingkan matanya ke arah anak bungsunya.
“Hey, hey. Walaupun tua begini, Ayah dan Bunda kamu masih sanggup untuk ngurus kalian ya. Coba Ayah dan Bunda nggak background check itu cowok kamu, kalau ternyata dia masih punya utang dan cuma manfaatin kamu gimana?”
“Ih Ayah! Kan udah aku bilang, Seojun nggak gitu!”
“Ya kan pertanyaan Ayah, kalau misal kayak gitu gimana? Kamu aja nggak tau kalau keluarga dia pernah kelilit utang!” dengus tuan Bae.
“Mas…” panggil nyonya Bae pelan sembari menggelengkan kepalanya, berusaha untuk menghentikan suaminya agar tidak terlalu mencampuri kehidupan kedua anak gadis mereka.
“Hargain privasi aku sama Kakak. Lagian selama ini apa kami berdua pernah bahayain keluarga kita? Nggak kan?” omel Yerim.
“Bukan itu intinya Bae Yerim.” ujar tuan Bae dengan nada yang lebih serius, kali ini membuat Yerim cukup bergidik ngeri.
“Ayah dan Bunda sudah susah payah membesarkan kalian, menjaga kalian sampai kalian sebesar ini. Kami hanya nggak ingin melihat kalian kesusahan atau terluka. Tentu Ayah dan Bunda ingin kalian untuk mendapatkan pendamping hidup yang pantas untuk kalian. Mungkin sekarang kalian belum bisa paham dengan ucapan Ayah dan Bunda, tapi suatu saat nanti saat kalian punya anak, kalian pasti akan berpikiran hal yang sama.”
Sementara Yerim dan tuan Bae masih saling berbalas kata, Joohyun hanya terdiam di posisinya dan hal ini tidak luput dari pengamatan nyonya Bae. Sang Ibunda berdeham pelan, memaksa seluruh anggota keluarga untuk berhenti sejenak dan memusatkan perhatian mereka kepadanya.
“Joohyun, Bunda disini cuma khawatir sama kalian semua. Kamu dan Seungwan, juga Yerim dan Seojun. Kalian semua anak-anak Bunda yang harus Bunda jaga semaksimal mungkin.” ujar nyonya Bae lembut.
“...walaupun dengan menjaga kalian terkadang kalian harus membenci kami, Ayah dan Bunda akan tetap lakukan itu.” sambung tuan Bae.
“Ayah tahu masih ada kemarahan yang kamu simpan untuk Ayah dan Bunda kamu perihal kepergian Nana dan terkadang kamu membenci Ayah dan Bunda karena hal itu. Ayah paham betul.” ujar tuan Bae lagi.
Mendengar nama Nana disebut, Yerim melirik ke arah Joohyun. Semua orang pun tahu, Nana merupakan sosok yang tidak bisa asal disebut di hadapan Joohyun.
“Ungkapkan kekesalan kamu, Joohyun. Sudah cukup lama kamu memendam itu semua dan ayah rasa ini sudah saatnya ayah untuk bersikap tegas ke kamu. Sudah cukup lama kami semua berusaha memahami kamu yang sulit dimengerti.”
“Aku sulit dimengerti?” tanya Joohyun dengan nada yang sangat datar.
“Iya, kamu sulit dimengerti. Kamu sadar nggak berapa banyak orang yang selalu berhati-hati di dekat kamu saat harus menyebut nama Nana?” tanya tuan Bae.
“Kamu sadar nggak bahwa kamu sudah berubah jadi orang yang nggak bisa Ayah atau Bunda kenali sejak kejadian itu?”
“Stop…” pinta Joohyun.
“Hari itu, Ayah dan Bunda harus memaksa kamu untuk pulang karena kamu bahkan sudah nggak peduli sama kesehatan diri kamu sendiri. Kamu nggak akan bisa menyelamatkan orang lain kalau kamu sendiri butuh pertolongan. Ironis kan? Sekarang kamu ada diposisi yang sama, Joohyun. Ayah sudah pernah kehilangan kamu satu kali dan kali ini Ayah nggak mau kehilangan kamu lagi. Seungwan dia–....”
“Stop! Stop Ayah! Stop!”
Tubuh Joohyun bergetar hebat. Ia menahan amarah dan tangisnya disaat yang bersamaan.
“Kalau Ayah minta aku untuk pergi lagi untuk ninggalin orang yang aku sayang kayak waktu itu, aku nggak akan ngelakuin hal yang sama! Aku pun nggak mau kehilangan lagi!”
Tuan Bae menarik napasnya.
“Kamu lagi-lagi nggak mau dengar orang lain. Ayah belum selesai berbicara, Joohyun.”
“Apa?! Ayah mau minta aku apa?! Ninggalin Seungwan?!” tanya Joohyun dengan penuh amarah, kali ini ia sudah tidak mampu lagi membendung tangisnya.
“Ayah nggak pernah tahu gimana rasanya duniaku runtuh waktu aku kehilangan Nana! Ayah nggak pernah tahu berapa banyak malam yang aku habisin dengan rasa sesal! Ayah nggak pernah tahu gimana rasanya kesepian, sendirian, sementara disaat yang bersamaan kita tahu bahwa dunia terus berjalan! Ayah nggak pernah tau!”
“Butuh waktu yang lama sampai aku bisa menemukan orang yang aku sayang lagi. Orang yang selalu aku tunggu kehadirannya. Orang yang aku harap bisa nemenin aku sampai aku harus mengkhawatirkan anak-anak aku seperti yang ayah bilang tadi. Aku–...” ucapan Joohyun terhenti sesaat ketika ia menyeka airmatanya.
“...–aku nggak mau kehilangan Seungwan juga. Ayah nggak ada disana saat aku hampir kehilangan Seungwan…. Ayah nggak ada disana….” tangis Joohyun.
“Kak…”
Yerim merangkul tubuh kakaknya. Seumur hidupnya, hanya dua kali ia melihat sosok Joohyun, sosok yang sangat ia hormati, terlihat sangat rapuh. Pertama adalah di hari kepergian Nana dan Kedua adalah saat ini.
“Yerim, I have you right?”
Yerim mengangguk mantap, “Iya kak. Lo tenang dulu ya? Ayah belum selesai ngomong kan tadi?”
“No, please…. Stop this. I know where this is going.”
Melihat putri bungsunya sedang berusaha menenangkan kakaknya, tuan Bae bangkit dari posisinya, berjalan ke arah meja kerja dan berjongkok tepat di belakang kursi kerja miliknya. Sang kepala keluarga memasukkan kombinasi angka-angka untuk membuka brankas miliknya.
Menyadari gelagat suaminya, nyonya Bae pun memilih untuk meninggalkan Joohyun bersama dengan Yerim sementara ia berjalan ke arah suaminya.
“Mas… udah mas. Janji kamu tadi nggak gini!” ujar Nyonya Bae saat menyadari apa yang akan dilakukan oleh suaminya.
“Joohyun harus tahu. Sudah terlalu lama juga dia seperti ini. Kamu dengar sendiri kan ucapan Joohyun tadi? Joohyun harus berhenti dihantui oleh bayang-bayang hari itu. Joohyun harus berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Selama ini Joohyun selalu berusaha untuk menanggung semua beban itu sendirian karena dia nggak bisa percaya sama orang-orang sekitarnya, kepergian Nana yang buat dia seperti itu. Dia harus tahu fakta dibalik kepergian Nana.”
Tuan Bae menatap sepucuk surat di tangannya.
“Percaya sama aku. Kita harus lakukan ini, Joohyun berhak tau. Lagipula dia punya kita semua kan? Ada aku, kamu, Yerim, dan Seungwan.” ujarnya lagi sembari mengelus lengan nyonya Bae untuk menenangkan istrinya.
Nyonya Bae terlihat ragu dengan keputusan suaminya itu. Namun disisi lain ia pun merasa bahwa putrinya harus bisa keluar dari bayang-bayang masa lalunya.
Pada akhirnya nyonya Bae menghela napasnya, menyetujui keputusan suaminya.
“Biarin aku yang kasih ke Joohyun. Dia udah terlalu kesel sama kamu.”
Tuan Bae tertawa pelan lalu mengangguk. “Iya, aku juga nggak mau dia benci aku lebih dari ini.”
“Joohyun nggak benci sama kamu kok, mas.”
Sang kepala rumah tangga hanya bisa berharap bahwa ucapan istrinya adalah benar. Ia pun tidak ingin putri sulungnya membenci kehadirannya. Tuan Bae sudah melihat bagaimana Seungwan dapat membenci papanya dan ia tidak ingin merasakan hal yang sama, walaupun ia tahu ia tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan apa yang sudah dilakukan oleh orang tua Seungwan.
Sementara itu nyonya Bae terdiam sesaat. Berusaha untuk mencari waktu yang tepat baginya untuk menyita perhatian Joohyun.
“Sayang…” panggil nyonya Bae sembari membelai kepala Joohyun yang saat ini masih dipeluk oleh Yerim.
“Bunda dan Ayah nggak pernah mau merenggut kebahagiaan kamu. Kami berdua sangat-sangat menyayangi kalian berdua, maaf jika rasa sayang kami ditangkap berbeda oleh kalian. Tetapi sungguh, Bunda dan Ayah hanya ingin melihat kalian bahagia. Sebelum kamu salah paham lagi, nggak kok Bunda dan Ayah nggak ada yang akan memisahkan kamu dan Seungwan.”
Joohyun menengadahkan kepalanya, matanya menatap lekat mata Sang Ibunda. Dalam tatapannya itu nyonya Bae dapat merasakan bagaimana Joohyun berusaha memohon kepadanya.
“Yang terjadi di hari ulang tahun Seungwan, kamu salah paham, nak. Informasi tentang latar belakang Seungwan nggak akan membuat Bunda atau Ayah memandang dia berbeda. Karena nyatanya, Seungwan adalah sosok yang sangat hebat, kan? Dia bisa tumbuh hingga seperti sekarang dengan usahanya sendiri. Seperti yang Yerim bilang tadi, informasi tentang siapa Seungwan sebenarnya menjadi sangat penting bagi Bunda dan Ayah karena kami ingin melindungi kalian berdua.”
“Bunda…”
Nyonya Bae dengan segera merengkuh tubuh putri sulungnya.
“Pancaran mata kamu saat kamu sedang bersama Seungwan nggak pernah bisa Bunda lupakan. Itu adalah pancaran mata yang sama seperti yang Bunda lihat saat dulu kita pergi berdua bersama-sama. Saat kamu minta eskrim, inget? Kamu bahagia, tulus dari dalam hati kamu, dan Bunda ingin menjaga kebahagiaan kamu, Joohyun.” ujar nyonya Bae kali ini sembari membelai kepala Joohyun.
Kendati ia tidak diikutkan dalam percakapan kali itu, namun hati sang bungsu keluarga Bae pun ikut terenyuh. Tanpa sadar ia pun ikut meneteskan air matanya. Belum sempat ia berlaku demikian, Yerim merasakan kepalanya diacak-acak pelan oleh tuan Bae.
“Tumben bisa nangis, biasanya paling jahil.” goda sang Ayah yang mendapat cubitan kencang dipinggangnya.
“Ada banyak sekali yang mau Bunda dan Ayah bicarakan sama kamu dan Seungwan. Tapi sebelum itu semua, ada satu hal penting yang ingin Bunda kasih ke kamu.” lanjut nyonya Bae, tangannya menyerahkan sepucuk surat yang sudah bertahun-tahun disimpan rapat oleh tuan Bae.
“Maafkan Ayah dan Bunda, serta orang tua Nana yang menyimpan ini semua dari kamu. Saat itu kami merasa kamu belum siap untuk mengetahui ini semua. Kamu terlalu hancur hari itu dan kami nggak ingin kehilangan kamu juga, Joohyun. Tapi nampaknya keputusan kami justru membuat kami kehilangan Joohyun yang dulu kami kenal. Nggak ada yang tahu apa isi amplop ini karena Nana meninggalkan ini khusus untuk kamu dan kami menghargai itu semua. Bunda cuma minta satu hal ke kamu, tolong setelah ini lepas kepergian Nana ya, sayang? Berhenti menyalahkan diri kamu, tolong ingat disini ada kami yang membutuhkan kehadiran kamu juga. Ada Seungwan yang butuh kamu.”