Amoureux de…(Seungwan) part 7-21

Pagi itu suasana rumah keluarga Bae cukup sunyi senyap. Belum tampak satupun anggota keluarga Bae yang beraktivitas seperti biasanya.

Begitu pula dengan Seungwan.

Walau saat ini ia sudah terjaga, namun Seungwan masih enggan bergerak dari posisinya.

Alasan pertama, ia tidak ingin membangunkan Joohyun dari tidurnya. Alasan kedua, jika alasan pertama terjadi, ia tidak tahu bagaimana harus mengawali percakapannya dengan Joohyun.

Dulu ia sempat merasa khawatir harus berkompetisi dengan Nana, yang bahkan tidak ia ketahui sosoknya. Namun Joohyun saat itu berhasil meyakinkan Seungwan bahwa Nana hanyalah masa lalu.

Kini keraguan itu kembali muncul dalam benak Seungwan setelah ia menyaksikan betapa terpukulnya Joohyun “hanya” karena sepucuk surat yang ditinggalkan oleh Nana.

Seungwan menerawang jauh. Matanya menatap kosong ke arah pigura-pigura yang menghiasi dinding serta beberapa perabot yang ada di dalam kamar pribadi Joohyun.

Sejauh matanya memandang, Seungwan hanya mendapati foto-foto Joohyun bersama dengan keluarga dan dengan dirinya. Tidak ada satupun foto sepupu-sepupu Joohyun, tidak ada foto Seulgi, apalagi Nana.

Lantas Seungwan menarik napasnya panjang serta memejamkan matanya sejenak. Perlukah ia meragukan perasaan Joohyun saat ini?

“Kalau Kak Nana memiliki ruang yang begitu besar dan tidak tergantikan bagi Joohyun, lalu bagaimana dengan aku?”

Seungwan kembali menghela napasnya dan berusaha untuk menepis pikiran buruk yang mulai berdatangan. Ia berusaha untuk fokus pada hal-hal baik yang bisa sedikit melegakan perasaannya.

Bukan saat yang tepat baginya untuk membiarkan pikiran-pikiran buruk tersebut menghantuinya.

Saat ini Joohyun sedang membutuhkannya.

Pandangan mata Seungwan beralih pada sosok Joohyun yang masih meringkuk dalam pelukannya.

Bekas jejak air mata masih tertinggal dengan jelas di wajah Joohyun. Guratan kesedihan pun masih nampak kendati saat ini Joohyun masih terlelap.

Jemari Seungwan menyibak rambut yang menutupi wajah Joohyun, dipandanginya wajah sang kekasih.

Ingin rasanya Seungwan masuk dan menjelajahi pikiran Joohyun.

Seungwan tersentak kaget untuk beberapa saat.

Apakah ini yang juga dirasakan oleh Joohyun disaat Seungwan sedang dalam masa-masa sulitnya?

Namun Seungwan tidak mempunyai waktu yang cukup lama untuk memikirkan hal tersebut saat ia merasakan tubuh Joohyun menggeliat pelan.

Joohyun mempererat cengkramannya pada bagian depan kemeja yang dikenakan oleh Seungwan.

Keduanya memang masih mengenakan pakaian yang sama sejak mereka tiba di kediaman keluarga Bae.

Kemarin sore Joohyun mendatangi dirinya yang sedang berbincang ringan dengan Minjeong dan Bibi kepala pelayan keluarga di ruang makan. Awalnya senyuman lebar disajikan oleh Seungwan untuk menyambut kedatangan Joohyun. Namun ketika Seungwan mendapati tatapan sendu yang diberikan oleh Joohyun, disanalah Seungwan merasakan ada hal buruk yang siap kapan pun mengejutkan dirinya.

Joohyun terlihat sangat terdisorientasi kala itu. Bahkan ia hanya mampu mengucap satu kata.

Seungwan.

Suara Joohyun terdengar sangat pelan dan terasa kehilangan kepercayaan dirinya.

Melihat kondisi yang demikian, Seungwan pun memilih untuk berbicara dengan Joohyun di kamar pribadi Joohyun.

Sayangnya saat mereka tiba disana, Joohyun masih terdisorientasi. Joohyun masih dalam diamnya. Tangannya memegang sebuah amplop dengan sangat erat.

Cukup lama Joohyun memandangi amplop yang ada di tangannya sebelum Joohyun menatap Seungwan penuh arti dan mulai menitikan air matanya. Awalnya Seungwan sempat berpikiran untuk memberikan ruang bagi Joohyun namun sang CEO menahan Seungwan dan memintanya untuk tetap bersamanya.

Tentu saja Seungwan memenuhi permintaan tersebut. Namun ia tetap memberikan privasi bagi Joohyun dengan tidak ikut membaca isi surat tersebut walaupun dalam lubuk hatinya ia tahu kalau sejujurnya ia ingin mengetahui setiap detilnya.

Kendati demikian, kiranya Seungwan dapat menebak-nebak. Ia ingat betul bagaimana emosi Joohyun berubah di setiap baris kata yang mereka baca kemarin.

Seungwan dapat merasakan betapa terpukulnya Joohyun saat ia dipaksa untuk kembali membuka luka masa lalunya.

Masih teringat dengan jelas bagaimana suara isak tangis Joohyun dan bagaimana Seungwan hanya dapat menawarkan pelukan hangat dan janji untuk tetap bersama Joohyun hingga pada akhirnya Joohyun kelelahan dan terlelap dalam pelukan Seungwan.

Lagi-lagi lamunan Seungwan buyar, kali ini ia dapat merasakan deru napas Joohyun di lehernya. Sebuah helaan napas panjang terasa menyapa kulit leher Seungwan diikuti dengan tubuh Joohyun yang semakin melesak mendekati tubuh Seungwan.

Kini Joohyun menempelkan dahinya di tulang selangka Seungwan, seakan-akan sedang berusaha menyembunyikan wajahnya.

“Joohyun?” bisik Seungwan pelan.

Tidak ada jawaban yang menyapa Seungwan. Lagi-lagi hanya helaan napas panjang.

Seungwan berusaha untuk menarik dirinya agar dapat melihat wajah Joohyun, memeriksa keadaan sang kekasih, namun gerakannya ditahan oleh tangan Joohyun yang masih menggenggam sisi depan dari kemeja yang Seungwan kenakan.

“D-don’t move…Please stay…” bisik Joohyun dengan suara seraknya. Kemudian ia kembali menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Seungwan.

Sementara itu sang solois terdiam sejenak, ia berusaha berpikir sekiranya kalimat apa yang paling tepat untuk menyapa Joohyun pagi ini setelah apa yang mereka lewati kemarin.

Pada akhirnya Seungwan memilih untuk tidak membahas apa yang terjadi kemarin. Ia tidak ingin memaksa Joohyun dan ia pun tidak tahu apakah ia akan siap menerima respon dari Joohyun yang berkaitan dengan Nana.

“Good morning.” sapa Seungwan pelan.

Joohyun hanya berdeham pelan sebagai balasan.

Seungwan cukup terkejut ketika ia merasakan sebuah kecupan pelan yang ditinggalkan oleh Joohyun tepat di lehernya. Jika saja ia tidak ingat kejadian kemarin, pagi ini rasanya seperti pagi-pagi normal lainnya dimana Joohyun akan menghujaninya dengan morning kisses dan dimana Seungwan akan tertawa dan membalas kecupan-kecupan tersebut.

Sayangnya baik Seungwan maupun Joohyun sama-sama merasakan adanya aura-aura kecanggungan di antara mereka berdua.

Terbukti dengan Joohyun yang lagi-lagi menghela napasnya panjang. Namun kali ini Seungwan tidak hanya tinggal diam, ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Joohyun dan meninggalkan sebuah kecupan pelan di puncak kepala Joohyun.

Sebuah tindakan yang selalu Joohyun lakukan pada dirinya ketika ia sedang merasa hilang arah. Biasanya setelah Joohyun berlaku demikian, Seungwan akan merasa jauh lebih baik karena setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendirian bahwa Joohyun ada disana bersamanya.

Kini saat keadaannya terbalik, Seungwan berharap dengan sebuah gesture sederhana seperti tadi, Joohyun pun dapat merasakan bahwa ia tidak sendirian dan bisa sedikit berbagi cerita pada Seungwan.

Entah sudah berapa kali Joohyun menghela napasnya pagi ini. Lagi-lagi Seungwan dapat merasakan deru hangat napas Joohyun di lehernya.

Seungwan sudah siap untuk membuka mulutnya untuk menanyakan keadaan Joohyun namun tanpa ia duga Joohyun justru sudah terlebih dahulu mengangkat suaranya.

“Maaf…” bisik Joohyun pelan namun masih dapat didengar dengan jelas oleh Seungwan.

“Hm?” tanya Seungwan terkejut sembari berusaha melihat wajah Joohyun.

“No, please just stay like this.”

Sang CEO kembali berusaha menyembunyikan wajahnya. Entah karena tidak ingin wajahnya dilihat oleh Seungwan atau justru karena ia belum sanggup untuk melihat Seungwan dan menemukan tatapan yang meminta penjelasan kepadanya.

“Okay, aku nggak akan maksa lihat wajah kamu. Walaupun aku penasaran dan pengen tau gimana perasaan kamu sekarang.” ujar Seungwan.

“Maaf…”

“Kenapa minta maaf?”

Joohyun memejamkan matanya. Ia berusaha memfokuskan dirinya mendengar detak jantung Seungwan dan elusan tangan Seungwan di punggungnya.

“Maaf karena kamu harus lihat aku kayak kemarin.”

“Hm? Kenapa harus minta maaf? Semua orang punya cerita mereka masing-masing, kan? Dan di setiap cerita hidup tersebut pasti ada cerita yang sedih maupun menggembirakan. Itu wajar, Joohyun.”

Joohyun kembali menghela napasnya, “....but I should be your strong and dependable home. Yesterday is clearly far from that.”

“Joohyun…kamu itu masih manusia tau nggak? Stop membebankan ekspektasi-ekspektasi yang terlalu tinggi sama diri kamu sendiri. Seneng, sedih, bahagia, kecewa, bingung, hilang arah itu wajar banget buat kita rasain. Dokter Tiffany pernah bilang ke aku kalau aku harus bisa memilah dan memisahkan hal apa yang ada dalam kendali aku dan hal mana yang memang di luar kuasaku. After all, we are only human.

Mendengar ucapan Seungwan, Joohyun secara refleks memeluk Seungwan lebih erat lagi.

“Joohyun, kamu dulu pernah bilang ke aku kalau aku nggak akan pernah sendirian. Kalau kamu akan selalu ada untuk aku dan aku boleh kapan aja bersandar di bahu kamu kalau aku lelah dan butuh waktu untuk beristirahat. Kamu juga bilang kalau aku bisa bebas kapan aja minta peluk kalau aku lagi ingin sembunyi dari dunia luar untuk sejenak. Aku harap kamu tahu kalau kondisi-kondisi itu juga berlaku buat kamu. Kamu nggak sendirian, ada aku disini yang juga siap untuk denger cerita kamu. Ada aku disini yang juga bisa kamu jadiin tempat bersandar walau mungkin bahu aku nggak sekokoh bahu kamu.”

“I know…thank you…”

Jawaban singkat yang diberikan Joohyun justru membuat Seungwan frustasi. Ingin rasanya Seungwan berteriak bahwa Joohyun tidak perlu memendam semuanya sendirian.

Pun jika dipikir-pikir, Seungwan tidak mengetahui tentang Joohyun sebanyak apa yang Joohyun ketahui tentang Seungwan. Ia hanya bisa mengetahui cerita-cerita tentang Joohyun ketika ia sedikit memaksa Joohyun untuk menceritakan secuil tentang masa lalunya.

Walau memang semenjak masa break mereka akhir tahun lalu hingga awal tahun ini, Joohyun menjadi sosok yang lebih terbuka dan mampu menceritakan tentang kesehariannya tanpa harus Seungwan minta.

Putus asa rasanya jika Seungwan membayangkan Joohyun akan kembali menjadi Joohyun yang tertutup seperti awal mula mereka saling mengenal satu sama lain.

“Nana…dia bilang kalau ada hal-hal yang dia sembunyiin dari aku. Salah satunya tentang keinginan dia untuk mengakhiri hidupnya. Aku…aku marah. Aku kecewa….sama diri aku sendiri.”

Seungwan terdiam, memberikan ruang bagi Joohyun untuk meluapkan isi hatinya.

“Aku terlalu fokus sama kemarahanku atas kejadian hari itu sampai-sampai aku lupa bahwa ada yang lebih penting dari menghukum orang bejat itu. Ada Nana yang butuh perhatian lebih dan aku harusnya bisa menyadari itu semua.” ucap Joohyun.

Seungwan lagi-lagi masih terdiam. Ia mengelus punggung Joohyun naik dan turun, berusaha untuk menenangkan Joohyun.

“Tapi Nana juga bilang kalau aku udah usaha sekuat tenaga untuk ada buat dia. Aneh nggak kalau aku bilang aku lega?” tanya Joohyun yang kali ini menarik dirinya menjauhi Seungwan sembari berusaha untuk menatap wajah Seungwan.

Mata Joohyun menatap manik mata Seungwan dengan lekat.

Sementara itu Seungwan yang ditatap lekat oleh Joohyun kini mengerti apa yang dibutuhkan oleh Joohyun saat ini. Seulas senyuman ia berikan pada Joohyun, satu senyuman yang tulus yang Seungwan harap dapat menyentuh hati Joohyun.

“Joohyun, when you love someone you always love them hard and we can feel it. Justru kadang aku ngerasa apa aku terlalu banyak mendapatkan dibandingkan dengan memberi balasan ke kamu. Aku rasa Kak Nana juga pasti berpikir demikian. Aku selalu mikir kalau kamu selalu fokus mencintai aku, apa kamu juga punya waktu untuk mencintai diri kamu sendiri? Aku cuma berharap kamu juga bisa bahagia tanpa harus memikirkan kebahagiaan orang lain. Kamu berhak bahagia Joohyun, tanpa adanya embel-embel nama belakang kamu tanpa adanya ekspektasi-ekspektasi yang orang lain maupun yang kamu berikan buat diri kamu sendiri.”

Ucapan Seungwan kembali memantik lonjakan emosi yang dirasakan oleh Joohyun. Ia kembali menangis dalam pelukan Seungwan, namun kali ini untuk alasan yang berbeda.

“I love you and you should love yourself too.” bisik Seungwan.