Amoureux de…(Seungwan) part 7-26
Tiada kata lain selain ‘canggung’ yang bisa menggambarkan suasana di ruang makan pada siang hari itu, setidaknya bagi Joohyun.
Sejatinya Joohyun, dan segala hambatan yang ia ciptakan sendiri, yang membuat siang hari itu terasa canggung. Terbukti dengan Yerim yang terlihat santai menyantap hidangannya serta Seungwan yang terlihat sangat akrab berbincang-bincang dengan tuan dan nyonya Bae.
Sang solois memang sempat terlihat kikuk ketika tuan Bae menanyakan perihal berita ‘skandal’ antara putri sulungnya dan Seungwan. Namun hal ini tidak berlangsung lama karena kepala keluarga Bae tersebut langsung menambahi bumbu-bumbu godaan dalam kalimatnya yang secara otomatis disambut dengan godaan lainnya dari Yerim.
Joohyun sesekali tersenyum kecil, berusaha menahan tawanya. Agaknya ia masih sedikit gengsi mengingat kemarin ia baru bertengkar dengan ayahnya yang sebenarnya hanya sebuah kesalahpahaman dan belum lagi ‘masalah’-nya dengan Seungwan yang belum selesai.
“Ketawa tuh jangan ditahan nanti jadi kentut tau kak!” celetuk Yerim.
Mendengar ocehan Yerim barusan, semua mata tertuju pada Joohyun yang kini sudah bersungut kesal ke arah sang adik.
“Gengsi itu kakakmu. Lebih tinggi dari badannya.” goda tuan Bae.
Tentu saja hal ini membuat seisi ruang makan terkekeh, tak terkecuali dengan Seungwan. Namun berbeda dengan yang lainnya, setelah ia tertawa, tangan Seungwan secara otomatis menepuk dan mengelus tangan Joohyun yang ada di atas meja.
“Makanya jangan diem sendirian.” ujar Seungwan disela tawanya.
“Mau nambah, kak?” tawar nyonya Bae untuk mengalihkan perhatian.
Joohyun hanya menggeleng dan memberikan senyuman
“Yaudah kalau nggak mau, tapi nanti kalau lapar lagi kamu minta bibi aja ya?”
Joohyun mengernyitkan keningnya saat melihat sang Ibunda seakan bersiap-siap meninggalkan meja makan.
“Mau kemana?” tanya Joohyun.
“Oh ngurusin bunga-bunganya Bunda. Ada yang baru datang kemarin. Ah iya! Mas, kamu udah janji mau bantuin loh ya, Yerim juga.”
Tuan Bae dan Yerim saling melempar pandang, mereka nampaknya tidak ingat akan janji tersebut namun ketika keduanya melihat sang ibu rumah tangga mendelik kesal, tentu saja baik kepala keluarga maupun anak bungsu tersebut langsung beringsut berdiri dari kursi mereka.
“Adek ganti baju dulu deh. Nanti nyusul ke taman.”
“Ayah mau ganti celana pendek juga deh.”
“Bun, mau aku bantu–...”
Kalimat Seungwan terpotong saat ia merasakan Joohyun menarik tangannya pelan. Otomatis Seungwan menoleh ke arah Joohyun, meminta penjelasan.
“B-bisa disini s-sebentar nggak? Aku…m-mau…”
“Dih dibilang kayak petugas SPBU aja!” potong Yerim yang sudah melarikan diri menghindari amukan sang kakak.
“Kenapa Hyun?”
Tak lama berselang, tuan dan nyonya Bae pun memahami bahwa putri sulung mereka sedang membutuhkan waktu untuk berbicara dengan Seungwan. Keduanya pun ikut meninggalkan ruang makan, membiarkan Joohyun dan Seungwan untuk berbicara empat mata.
Mata Joohyun terus mengikuti pergerakan kedua orang tuanya hingga keluar dari ruang makan baru setelahnya ia kembali menatap Seungwan.
Sementara itu Seungwan masih duduk di kursinya, dengan sabar menunggu Joohyun untuk memulai percakapan. Semua pergerakan Joohyun tak luput dari pengamatan Seungwan.
Bagaimana Joohyun mengetukkan jari-jarinya di atas meja secara pelan namun konstan.
Bagaimana Joohyun mengernyitkan keningnya, membuat guratan-guratan di dahinya.
Bagaimana Joohyun terlihat berusaha mengatur napasnya beberapa kali.
Seungwan menatap Joohyun kebingungan ketika Joohyun tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menggandeng tangan Seungwan dengan erat.
“Kita ke kamar aku aja. Semuanya ada disana.” ujar Joohyun singkat.
Seungwan pun pada akhirnya hanya mengikuti permintaan Joohyun, berjalan ke arah kamar yang mereka tempati semalam dan malam-malam sebelumnya setiap kali mereka menginap di kediaman keluarga Bae.
Sesampainya disana, Joohyun meminta Seungwan untuk duduk di kasur sembari ia mencari-cari box dimana dirinya menyimpan kenangan-kenangan masa kecilnya. Ia sempat tersenyum getir untuk beberapa saat sebelum menghela napasnya dan menarik box tersebut keluar dari lemari pakaiannya.
Sementara itu Seungwan hanya mengamati dalam diam, menunggu Joohyun untuk menjelaskan seluruh sikap dan perbuatannya.
Hal pertama yang Joohyun lakukan adalah mendorong box tersebut hingga berada tepat di depan Seungwan. Kemudian ia buka box tersebut dan barang pertama yang ada di atas sana adalah foto Joohyun bersama dengan sesosok gadis yang jika Seungwan ingat dengan benar adalah sosok Nana.
“Uhh, ini…. Foto di hari pengumuman masuk universitas. Aku, Nana, dan Seulgi pergi ke taman hiburan ini. Yang ngefotoin ini Seulgi.” ujar Joohyun sembari mengambil pigura dan menjelaskan cerita dibalik foto tersebut.
“Seungwan…aku nggak mau bikin salah sangka di antara kita berdua. Aku tau aku belum pernah cerita ke kamu tentang hubungan aku dan Nana. Sejujurnya alasan kenapa selama ini aku nggak cerita karena aku cuma nggak mau bikin kamu kepikiran dan jadi bandingin diri kamu sama Nana. Kalian berdua sama-sama spesial untuk aku tapi di tempat yang berbeda.” lanjut Joohyun menjelaskan.
Seungwan menatap paras Joohyun dan Nana yang terabadikan dalam foto tersebut. Joohyun di foto itu memang terlihat lebih muda, namun bukan hal ini yang menarik perhatian Seungwan. Justru fakta bahwa Joohyun terlihat lebih santai dan carefree membuat Seungwan cukup tertegun.
“Asik banget bisa pergi bareng temen-temen ke taman hiburan kayak gini. Aku sampai sekarang nggak pernah kayak gini.” ucap Seungwan.
“Habis aku selesai sama proyek dengan Mills, kita jalan-jalan ke disneyland mau? Aku janji bakal lowongin waktuku seminggu buat liburan.”
“Jangan bikin janji kalau sulit ditepati. Aku cuma ngomong kayak tadi ya karena memang faktanya aku belum pernah main ke taman hiburan kayak gitu.”
“Iya nanti pertama kali ke taman hiburan sama aku.”
Seungwan mengangkat bahunya, tanda ia tidak mau berbalas kata dengan Joohyun perihal janji tadi. Ia lebih memilih untuk menatap Joohyun dengan lekat.
“Joohyun, jujur aku selama ini memang penasaran sama Kak Nana, sama cerita kalian. Apalagi setelah lihat kamu terpukul banget kayak kemarin. Aku bingung, Aku takut, tapi aku juga tahu kalau aku nggak boleh memaksa kamu untuk cerita kalau kamu memang belum siap. That’s only fair because you did the same to me..”
Tangan Joohyun terjulur, meraih tangan Seungwan.
Kini kedua tangan Seungwan sudah digenggam erat oleh Joohyun, ibu jarinya mengelus punggung tangan Seungwan secara berirama.
“Maaf karena sikapku bikin kamu ragu, ya? Aku nggak tahu harus cerita darimana, aku juga nggak yakin apakah ceritaku bakal bikin kamu ngerti atau justru bikin kamu semakin bertanya-tanya. Tapi Yerim bilang kalau aku harus cerita semuanya, tanpa ada yang aku kurangi atau tambahkan. Sisanya biar kamu yang menilai.”
Seungwan mengangguk setuju.
“Alright then, aku bakal cerita dari awal aku ketemu Nana.”
Flashback
Spring, 2001
“Pak, berhenti disini aja. Aku nanti jalan sendiri ke rumah, janji nggak lama kok pak.” ujar Joohyun ketika mobil sedan yang ia tumpangi semakin mendekati gerbang rumahnya.
Sang pengemudi pun mengangguk mengiyakan perintah dari nona muda yang sudah bertahun-tahun menjadi majikannya. Toh ia pun tahu bahwa Joohyun tidak akan mengingkari janjinya, janji yang sama yang sudah berkali-kali Joohyun ucapkan selama beberapa bulan kebelakang.
Perlahan mobil sedan tersebut menepi dan tak lama setelahnya Joohyun turun dari kursi penumpang, tas sekolahnya ia tinggalkan di dalam mobil.
Setelah pintu mobil tertutup rapat, mobil sedan tersebut kembali melaju menuju gerbang kediaman keluarga Bae.
Sementara itu Joohyun melangkahkan kakinya menyebrang jalan, lalu berusaha mengintip ke dalam rumah Seungwan melalui celah-celah pagar. Betapa terkejutnya ia saat menemukan sosok seorang gadis yang tengah berjongkok di tengah-tengah taman, tempat biasanya ia dan Seulgi bermain bersama Seungwan, membelakangi posisi Joohyun berada saat ini.
Awalnya Joohyun sudah bersorak gembira dalam hatinya, mengira bahwa sosok gadis tersebut adalah Seungwan. Sosok yang sudah tidak ia lihat semenjak musim dingin tahun lalu dan selalu ia cari keberadaannya hingga sekarang. Sosok yang menghilang tanpa jejak, tanpa pemberitahuan.
Joohyun terkejut tatkala ia melihat gadis tersebut bangkit dari posisinya dan menyadari bahwa orang itu bukanlah Seungwan.
“Hei kamu!!!” teriak Joohyun refleks.
Sosok yang diteriaki sontak terlonjak kaget. Ia memalingkan tubuhnya dan mendapati Joohyun sudah berdiri di balik pagar, lagi-lagi berteriak ke arahnya.
“Hei!! Kamu siapa??!!”
Tentu saja sang pemilik rumah kebingungan mendapati seorang gadis asing berteriak ke arahnya masih dengan seragam sekolah lengkap, seakan-akan ia adalah penyusup yang tidak diharapkan kedatangannya padahal properti ini milik keluarganya.
“Kamu yang siapa!”
“Loh? Kok malah nyaut balik sih? Kamu siapa? Seungwan mana?!” tanya Joohyun kesal.
“Ih aneh banget sih?! Aku yang punya rumah! Kalau teriak-teriak terus, mending kamu pergi deh dari pada aku panggilin satpam!”
Belum sempat gadis itu berteriak memanggil satpam rumahnya, seekor anjing penjaga sudah lebih dahulu menyalak ke arah Joohyun, membuatnya lari tunggang langgang.
Jika melihat Amanda saja ia sudah tidak berani mendekat, apalagi anjing penjaga bukan?
Flashback End
Seungwan tertawa mendengar cerita Joohyun. Ia sama sekali tidak menyangka Joohyun bisa bertindak layaknya preman namun lari ketakutan hanya karena seekor anjing penjaga.
“Hey! Kok malah ketawa sih?!” gerutu Joohyun.
“Lucu aja ngebayangin Kak Joohyun yang selalu kelihatan nyeremin tapi ternyata bisa lari ketakutan gara-gara anjing doang.” tawa Seungwan.
“That’s not the point!!! Aku tuh dulu nyariin kamu kemana-mana! Kamu pindah tanpa kasih kabar ke aku.”
“Ooh, jadi dulu kamu nyariin aku nih? Padahal dulu tuh kamu suka sok-sok nggak mau ketemu aku tuh kalau di sekolah?” goda Seungwan.
Joohyun hanya mengerucutkan bibirnya, tanda ia mengaku kalah dalam perdebatannya dengan Seungwan.
“Kamu tuh ya, dari kecil gengsinya udah setinggi gunung everest. Heran banget deh aku. Yaudah terus lanjutin ceritanya, kok bisa jadi deket sama Kak Nana? Kayaknya pertemuan pertama kalian tuh nggak dalam taraf yang baik-baik aja deh?”
Flashback
9 Maret 2001
Hari itu Joohyun melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah dengan wajah yang nampak dipenuhi pikiran. Masalahnya pagi tadi saat ia berangkat sekolah, lagi-lagi Joohyun melihat sosok gadis ‘penyusup’ di rumah Seungwan. Gadis itu terlihat sedang mengelus-elus kepala anjing penjaga yang kemarin menyalak ke arahnya.
Ia berniat mengajak Seulgi untuk mendatangi rumah Seungwan sore hari nanti. Mereka harus mendapatkan identitas gadis tadi secepatnya agar Joohyun bisa segera mencari tahu dimana keberadaan Seungwan saat ini. Pasalnya kedua orang tuanya pun tidak tahu menahu perihal keberadaan teman kecilnya itu.
“Ih Joohyun! Jalan liat-liat dong!” omel salah satu teman sekelasnya yang tidak sengaja ditabrak oleh Joohyun ketika ia berjalan memasuki ruang kelas.
“Ya kamu juga ngapain lari sih!” protes Joohyun.
“Itu ada anak baru! Kita penasaran!”
Joohyun mengernyit heran. Memangnya ada apa dengan anak baru? Joohyun mengangkat bahunya, ia tidak tertarik. Sebaliknya, Joohyun tetap bertingkah seperti hari-hari biasanya, berjalan menuju bangku yang biasanya ia tempati.
Namun ia justru terkejut ketika mendapati bangku yang biasanya ia tempati sudah diisi oleh orang asing yang tidak ia kenali.
Baru saja Joohyun hendak melayangkan protes, anak baru tersebut sudah lebih dulu menunjuk wajahnya dan berteriak heboh.
“KAMU?!”
Merasa dirinya tidak terima diteriaki oleh orang asing, Joohyun pun balas meneriaki ‘teman’ barunya itu.
“Apaan sih nunjuk-nunjuk?! Omong-omong ya, itu kursi aku!”
“Kata siapa?!”
“Ya kata aku lah barusan!”
“Nggak ada namanya tuh disini!”
“Uhh, mending kamu duduk di kursi aku aja deh Hyun.” bisik Seulgi yang tiba-tiba sudah ada di samping Joohyun.
Seulgi baru saja kembali dari toilet dan cukup terkejut mendapati Joohyun sudah beradu argumen dengan teman baru mereka. Ia pun sengaja menawarkan bangkunya karena ia tahu Joohyun tidak suka duduk di area belakang, sahabatnya itu lebih suka duduk di area tengah atau depan.
“Nggak ah! Aku nanti sebelahan sama orang aneh ini! Gak kenal aja udah teriak-teriak!” dengus Joohyun sembari berjalan menghentakkan kakinya, memberi sinyal pada semua orang bahwa moodnya sudah hancur berantakan pagi ini.
“Loh kok aku yang aneh! Kamu tuh yang aneh! Masa kemaren teriak-teriak di pagar rumah orang?!”
Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba Joohyun menyadari siapa sosok yang telah ‘mencuri’ tempat duduknya.
“Kamu siapanya Seungwan!”
“Apaan sih dari kemarin Seungwan mulu! Aku aja gatau siapa Seungwan!”
Mendengar nama salah satu kawannya disebut, Seulgi melihat ke arah Joohyun dan anak baru secara bergantian.
“Dia kenal Seungwan, Hyun?” bisik Seulgi.
“Nggak tau! Tapi dia kemarin ada di rumah Seungwan, pagi ini juga! Aneh kan?” balas Joohyun.
“Saudara kali?” bisik Seulgi lagi.
“Mana mungkin! Seungwan kan anak tunggal!”
Mulut Seulgi membulat membentuk huruf ‘o’ saat ia menyadari bahwa tebakannya sudah pasti salah. Benar juga ucapan Joohyun, Seungwan adalah anak tunggal jadi mana mungkin tiba-tiba ia memiliki saudara yang sebaya dengan dirinya dan Joohyun.
Flashback End
“Ih masih nggak menjawab pertanyaan! Itu kamu belum cerita gimana kamu bisa deket sama Kak Nana.” protes Seungwan pada Joohyun.
Joohyun menggaruk pelipisnya sesaat, berusaha mengingat-ingat kembali.
“Uhh, intinya tuh kami berdua sekelas kan. Terus sejak saat itu aku sering satu kelompok sama dia kalau dapat tugas.” jelas Joohyun.
“Oh jadi maksudnya deket karena terbiasa?”
Joohyun mengangguk, “Bisa dibilang gitu. Kami sekelas terus bahkan sampai masuk SMP. Ya walaupun pas SMP cuma sekelas satu tahun aja sih. Faktor lainnya mungkin juga karena Nana itu tetangga aku, jadi sering banget ketemu.”
“Sengaja apa nggak sengaja tuh?”
Kening Joohyun mengkerut, “Ini kamu lagi cemburu ya?”
“Idih! Aku kan nanya, yaudah kalau nggak mau jawab!”
Joohyun perlahan tersenyum menggoda ke arah Seungwan. Ucapan Yerim ada benarnya juga, memang lebih baik semuanya dimulai dari awal.
“Aku pertama kali deket sama Nana waktu pelajaran olahraga. Sekitar dua bulan setelah kami berkenalan.”
“Emang pas kelas olahraga kalian ngapain?” selidik Seungwan lagi.
Flashback
Suatu hari di jam pelajaran olahraga, 2001
Joohyun menghela napasnya kesal karena hari ini lagi-lagi datang, hari rabu, hari dimana kelasnya mendapatkan jatah untuk kelas olahraga.
Berbeda dengan Seulgi yang selalu bersemangat saat mata pelajaran olahraga, Joohyun justru selalu berusaha menghindari mata pelajaran ini. Namun begitu bukan berarti ia membolos kelas olahraga, hanya saja ia selalu mengeluarkan usaha seminimum mungkin.
“Hari ini kita mau ngapain lagi sih!” dengus Joohyun kesal. Ia menyilangkan tangannya di depan dada.
“Lompat jauh, Hyun! Seenggaknya kita nggak terlalu banyak lari deh hari ini!” sahut salah satu teman satu kelasnya.
Mendengar informasi tersebut, Joohyun memejamkan matanya sebagai bentuk usaha untuk meredam emosinya. Baru mendengar tentang kegiatan mereka hari ini saja sudah membuatnya cukup sakit kepala.
Joohyun mengekor di barisan paling belakang saat guru olahraga sedang memberikan penjelasan tentang teori untuk melakukan lompat jauh. Beberapa orang terlihat antusias dan beberapa orang lainnya nampak mengacuhkan penjelasan sang guru.
Joohyun tidak termasuk dalam kategori keduanya karena ia masih berusaha mendengarkan penjelasan gurunya walaupun ia tidak ada niatan untuk mendapatkan nilai terbaik.
Disela-sela ia mendengarkan penjelasan guru, karena ia berdiri di barisan paling belakang, Joohyun dapat mendengarkan pula bisik-bisik yang dilakukan oleh beberapa teman laki-laki di kelasnya.
Mereka terlihat berbisik-bisik sembari menatap salah satu murid perempuan kelasnya dan ketika Joohyun menelusuri pandangan mereka, nampak bahwa murid laki-laki sedang membicarakan Nana.
Hwang Jin Ah atau yang kerap disapa Nana, gadis yang merupakan murid pindahan yang juga berstatus sebagai tetangga baru keluarga Bae.
Keluarga Hwang merupakan penghuni baru kediaman yang sebelumnya ditempati oleh Seungwan dan keluarganya. Nana merupakan anak tunggal keluarga Hwang, mengetahui hal ini, nyonya Bae pun pernah berujar kepada orang tua Nana agar putri mereka bisa lebih sering bermain dengan Joohyun dan Yerim agar mereka tidak kesepian.
Hubungan Nana dan Joohyun bisa dibilang tidak lah dekat namun juga tidak bermusuhan. Kesalahpahaman mereka sudah diluruskan semenjak keluarga Hwang bertamu ke rumah keluarga Bae untuk menyapa tetangga baru mereka.
Di hari yang sama pula Joohyun mengetahui bahwa keluarga Hwang merupakan keluarga pebisnis seperti keluarganya, hanya saja mereka memiliki bidang yang berbeda.
Keluarga Hwang lebih berfokus di bidang IT, hal ini juga mungkin cukup menjelaskan bagaimana Nana terlihat lebih fasih menggunakan semua gawai-gawai yang tersaji di kelas saat menjalani kelas IT.
Awalnya Joohyun tidak begitu peduli dengan bisik-bisik yang dilakukan oleh teman-temannya, namun lambat laun telinganya dapat mendengar bahwa mereka mulai membicarakan tentang tampilan fisik Nana.
Joohyun memang menyadari bahwa anggota tubuh Nana nampaknya tumbuh dewasa lebih cepat dibanding rata-rata teman sebaya mereka. Nana memiliki postur yang tinggi langsing dengan ukuran dadanya yang mungkin bisa dibilang sedikit di atas rata-rata untuk ukuran anak sebayanya.
Ia memutar kedua bola matanya dengan malas ketika menyadari bahwa Nana kemungkinan sudah menjadi objek pelecehan oleh teman satu kelasnya sendiri. Kini Joohyun berusaha berpikir sekiranya apa yang patut ia lakukan saat ini.
Adu fisik sudah pasti bukan jawabannya, ia pun malas kalau harus baku hantam. Melapor ke guru pun belum tentu akan direspon dengan serius, apalagi ia tidak punya cukup bukti.
Ditengah-tengah waktunya berpikir, Joohyun melihat ada kupu-kupu yang hinggap di dekatnya. Sejujurnya ia tidak takut terhadap kupu-kupu, namun Joohyun merasa bahwa hal ini adalah kesempatan emas mengingat teman-teman satu kelasnya pun sudah tahu bahwa ia seringkali takut pada binatang.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Joohyun berpura-pura terkejut melihat kupu-kupu tersebut dan berteriak kencang. Kemudian ia sengaja berlari ke arah gerombolan anak laki-laki sembari sengaja memukul-mukul tangannya kesembarang arah, seakan-akan ia ingin menghalau kupu-kupu tadi.
Berkat aktingnya tadi, Joohyun berhasil memukul beberapa anak laki-laki serta menendang kaki mereka dengan sangat brutal.
Tentu saja kelas olahraga mereka tiba-tiba menjadi heboh karena ulah Joohyun.
Ia pun berlari ke deretan dimana Nana berada lalu kembali bersandiwara sembari menatap gurunya dengan raut wajah ketakutan.
“A-ada serangga pak!”
Guru olahraga tersebut hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Ya sudah kamu makanya berdiri di depan sini!”
Tentu saja Joohyun mengangguk.
Pelajaran pun kembali dilanjutkan, kini sang guru olahraga memanggil nama muridnya satu per satu.
“Kamu tuh udah tau baju seragam olahraga warnanya putih, kenapa cari ukurannya yang ketat sih? Udah gitu itu undergarment kamu warnanya terlalu mencolok juga.” omel Joohyun sembari melepaskan jaket yang ia gunakan.
“H-hah?”
“Aku tau kamu denger ucapan mereka, kamu nggak nyaman. Kenapa diam aja?”
Nana tersenyum malu, “Aku nggak enak kalau harus minta beli seragam lagi ke Mami aku. Harganya kan nggak murah, Hyunie.”
“Hyunie?” tanya Joohyun.
“Eh, iya aku kemarin denger Bunda kamu manggil kayak gitu dan kedengeran lucu menurutku. Boleh aku panggil kayak gitu juga?”
“Nggak. Cuma keluarga doang yang boleh.” potong Joohyun singkat dan kini telah menyampirkan jaketnya menutupi baju olahraga milik Nana.
“Mendingan kamu minta Mami kamu buat beli baju seragam baru deh, aku yakin beliau nggak masalah. Atau kalau kamu nggak mau, mending kamu pakai jaket. Hari ini aku pinjemin jaket aku, tapi minggu depan gak bakalan.”
“Kamu tuh aslinya perhatian tapi kenapa sih suka sok keren?” dengus Nana
“Udah dibantuin malah cerewet, ih males.”
Joohyun melengos meninggalkan Nana. Ia sedang tidak ingin beradu argumen dengan temannya yang satu ini, sudah cukup energinya terkuras habis untuk berakting tadi dan belum lagi ia masih harus menunggu gilirannya untuk melakukan lompat jauh.
“Hyunie makasih!!” teriak Nana
Flashback End
“Jaket? Kamu olahraga bawa jaket? Aneh banget deh!” ucap Seungwan.
“Ih ya aku nggak mau gosong gara-gara panas-panasan lah!”
“Eh tapi kalau dipikir-pikir ya, pertama kali kita ketemu juga kamu minjemin jaket kamu ke aku, inget nggak?” tanya Seungwan.
“Iya juga ya? Waktu kamu nangis sendirian di taman itu kan?”
Seungwan memukul lengan Joohyun dengan cukup keras saat ia menyadari bahwa kini Joohyun berbalik menggodanya.
“Lucu tau kamu dulu! Nangis dipojokan sendirian! Digodain ada hantu langsung lari.” tawa Joohyun.
“Nggak usah sok keren kalo kamu juga takut hewan!”
Joohyun tertawa lepas. Ternyata berbicara empat mata dengan Seungwan tentang Nana tidak semenakutkan yang ia bayangkan.
“Ini aku lanjut cerita atau kamu masih ada yang mau di tanyain ke aku?”
Seungwan terdiam sejenak, berusaha berpikir apakah ada hal-hal terkait Nana yang ingin ia ketahui saat ini.
“Kak Nana sering main kesini?” tanya Seungwan, merujuk pada kediaman keluarga Bae.
Tangan Joohyun secara otomatis terangkat menuju pipi Seungwan lalu mencubit pipi kesayangannya.
“Kamu tuh kalau mau tanya langsung to the point aja. Mau tanya Nana deket sama keluarga aku atau nggak?”
Seungwan mengangkat bahunya, sedikit malu mengakui bahwa Joohyun sudah menebak dengan tepat.
“Deket. Ya kita tetangga, tuh cuma diseberang situ. Kayak kamu dulu, kalau sore gitu suka main kesini.” ujar Joohyun.
Lagi-lagi Seungwan menemukan kesamaan antara dirinya dan Nana, hal ini mulai membuatnya berpikir terlalu jauh. Namun kali ini Joohyun menangkap kegelisahan Seungwan. Ia mengelus puncak kepala Seungwan dengan lembut.
“Kalian itu sama dan berbeda disaat yang bersamaan. Tapi aku nggak pernah liat kalian sebagai orang yang sama. Kalau kamu kesini kan biasanya ngerecokin aku atau nemenin Bunda kan? Kalau Nana kesini biasanya main sama Yerim dan Seulgi. Mereka sama-sama suka hewan soalnya. Mungkin kalau kita saat ini membandingkan antara kamu dan Nana, siapa yang lebih dekat dengan Ayah dan Bunda, jawabannya Nana. Tapi ini juga karena faktor Nana kenal sama Ayah dan Bunda jauh lebih lama kalau dibandingkan dengan kamu kenal sama Ayah dan Bunda. Tapi nggak usah khawatir you have so many years to come. Lagipula ya, kamu belum ada genap satu tahun kenalan lagi sama Ayah dan Bunda but you already take their hearts.”
Seungwan menyandarkan kepalanya di bahu Joohyun, matanya melihat barang-barang lainnya yang ada di dalam box.
“Sorry, aku cuma….. insecure aja.” bisik Seungwan.
“I know... mau dilanjut lagi atau udahan?”
“Kak Nana juga kenal sama sepupu kamu? Kalian pernah main bareng gitu nggak?”
Joohyun kembali tertawa pelan.
“Kamu lucu deh, lupa ya aku sama Chanyeol pernah suka sama Nana disaat yang bersamaan? Otomatis sepupu aku tahu Nana. Lagian ya, kami semua kan sekolahnya barengan terus dari kecil sampai SMA baru pisah pas masuk kuliah.”
Seungwan tersenyum kikuk, menampilkan deretan gigi putihnya.
“Ya karena kami seumuran jadi sering main. Sebenernya ya bukan main yang gimana banget sih, kayak anak sekolahan pada umumnya aja. Tapi emang jadi agak canggung setelah aku dan Chanyeol sama-sama confess ke Nana.”
“Canggung gara-gara kamu yang terlalu gengsi dan kompetitif?”
Joohyun menggeleng, “Nana yang jadi canggung. Ya gini aja deh, kamu dulu juga canggung kalau ada aku sama Ojé.”
Terdengar pekikan dari mulut Joohyun saat ia merasakan Seungwan mencubit pinggangnya dengan kencang.
“Kok nyubit?!”
“Ya kamu kok malah bahas Chaeyoung sih!”
“Tuh! Canggung kan?”
Seungwan hanya bisa mendengus kesal karena sejujurnya ia paham maksud dari ‘canggung’ yang diutarakan oleh Joohyun.
“By the way, tadi kamu bilang kalau kamu confess?”
Joohyun mengangguk.
“Berarti Kak Nana tau dong kalau kamu suka sama dia?”
“Hmm, sebenernya nggak bisa dibilang confess juga sih. Well, I did tapi indirectly and yes, she knew. Dia bilang sendiri di surat kemarin.”
“Ih aku penasaran deh, pas kamu tau Kak Nana lebih milih Chanyeol, kamu galaunya kayak apa? Next time aku bakal tanya ke adik dan sepupu kamu.”
Joohyun kembali tertawa gemas, ia tidak menyangka respon Seungwan akan sebaik ini. Kalau dipikir-pikir ini lebih tepat dikategorikan menjadi sebuah interogasi dibalut ekspresi imut dan lucu yang ditunjukkan oleh Seungwan.
“Aku nggak galau, kamu mungkin kalau tanya aja sama yang lain mereka bakal ngira aku galau. Memang ada masa dimana aku menjauh dari Nana, tapi itu semua karena aku menghormati Chanyeol. Walaupun aku sahabatnya Nana, tapi dia pacarnya Nana. Aku nggak berada di posisi yang boleh terlalu dekat sama Nana walaupun dia sahabat aku. Lagipula kalau aku memaksakan untuk tetap dekat sama Nana itu sama aja nyakitin semua orang. Nyakitin diri aku sendiri, Nyakitin Nana dan Chanyeol juga. Jadi ya emang aku menjauh sebentar.”
“Aku tebak, pasti ini berhubungan sama prinsip kamu untuk nggak maksain apapun ke orang lain?”
Joohyun mengangguk, “Bisa dibilang gitu.”
“Eh wait, kamu bilang dulu sempet ngira suka sama Kak Seul kan? Itu kapan? Terus suka sama Kak Nana kapan?”
Joohyun terlihat berpikir sejenak, “Seulgi duluan deh. Soalnya aku inget dulu sempet ngeliat Seulgi kayak sosok yang keren banget itu pas ada porseni waktu SMP. Kalau suka Nana tuh baru sadar pas akhir-akhir SMP.”
“Gara-gara apa tuh sadarnya?”
“Kamu nih cocok loh jadi polisi yang interogasi penjahat gitu.” goda Joohyun.
“Nggak usah nyebelin deh, dijawab aja itu pertanyaanku.”
“Aku rasa sih dari dulu aku selalu suka sama orang yang intelek, dalam arti bukan cuma intelek kayak pelajaran gitu ya. Pokoknya yang punya wawasan luas gitu. Aku nggak pernah menilai dari visual, ya maybe iya ngeliat visual juga tapi itu bukan prioritas utama. Tapi yang buat aku sadar kalau aku suka sama Nana, dan ini juga yang bikin aku sadar kalau aku suka sama kamu, karena kalian berdua bukan tipe orang yang nurut gitu aja sama aku. Kalian berdua sama-sama cerdas dan punya pendirian. Apalagi waktu ngelakuin sesuatu yang kalian suka atau bahkan itu passion kalian, kalian semakin keliatan keren di mata aku. Kayak apa ya, cantik luar dan dalam gitu? Itu adalah sifat yang selalu buat aku kagum.”
“Emang aku sama kak Nana segitu samanya ya?”
Joohyun menggeleng, “Kayak yang aku bilang ada sifat kalian yang mirip tapi lebih banyak yang beda. Contoh yang paling mendasar, kamu suka banget sama musik sedangkan Nana was bad at it. Beneran deh, kayaknya dia kalau pelajaran seni musik selalu dapat nilai pas-pasan. Kalian berdua sama-sama keras kepala, tapi kalau kamu itu lebih frontal yang nantangin gitu. Kalau Nana lebih soft. Banyak sih yang lainnya tapi nanti kepanjangan kalau aku sebutin satu per satu. Tapi ada satu fakta yang bener-bener bikin kalian beda.”
“Apa?”
“Nana nggak pernah lihat aku lebih dari seorang sahabat and I can feel it. Cara Nana natap aku beda sama cara kamu natap aku. Semua sentuhan yang Nana lakuin ke aku, nggak pernah lebih dari sekadar teman. Ini juga alasan kenapa aku mundur setelah aku confess ke Nana.”
Joohyun berhenti berbicara sebentar, ia merengkuh tangan Seungwan dan meletakkannya tepat di dadanya sehingga Seungwan bisa merasakan ritme pelan yang berasal dari detak jantung Joohyun.
“Aku pernah suka sama Nana, itu fakta. Aku sayang sama Nana, itu juga fakta. Tapi aku nggak tahu apakah aku sampai benar-benar di tahap cinta sama dia. Kalaupun sekarang Nana masih hidup, aku tahu dia nggak akan pernah memilih aku dan aku pun bukan orang yang akan mengejar sesuatu hal yang aku tahu nggak akan pernah terwujud. Ingat dulu kamu pernah tanya ke aku untuk memilih Seulgi atau kamu?” tanya Joohyun yang disambut dengan anggukan kepala.
“Kalau kamu sekarang tanya apakah aku lebih memilih kamu atau Nana, jawabannya pun sama. Kamu, Son Seungwan. Mungkin kamu nggak percaya waktu aku ngomong sekarang, tapi aku harap suatu saat nanti kamu bisa paham maksud aku. Bukti pertama, bahkan ketika kita nggak ngapa-ngapain, cuma duduk kayak gini, aku tetep aja deg-degan ada di dekat kamu.”
“Tapi kita berawal dari perjodohan, Hyun. Sedangkan kamu sama Kak Nana itu natural?”
Joohyun menggeleng, “Rasa sayang aku ke kamu udah ada dari pertama kali aku lihat kamu nangis sendirian. Aku pernah cerita ini ke Minjeong, awalnya aku sayang ke kamu sebagai sosok kakak yang ingin melindungi kamu dimanapun kamu berada. Tapi aku masih ingat gimana rasa frustasi yang aku rasain dulu waktu kamu hilang gitu aja. Aku khawatir, aku takut, aku marah. Mungkin bagi kamu, kita baru kayak gini setelah tanggal 9 Mei tahun lalu, di glamping site. Tapi bagi aku rasa sayang ini udah ada sejak pertama kali aku lihat kamu nangis sendirian.” ujar Joohyun.
Ia kembali menggenggam kedua tangan Seungwan.
“Memang kita nggak ketemu dan nggak tumbuh bersama selama bertahun-tahun, tapi Seungwan, ada alasan kenapa aku pun dulu menerima perjodohan kita dengan sangat mudah. Because I know it is you. Mungkin kamu bertanya-tanya, memori kamu tentang aku waktu dulu kita masih kecil adalah sosok aku yang kamu rasa selalu menganggap kamu nggak ada, tapi itu karena aku di masa kecil masih merasa kalau aku hanya boleh suka sama laki-laki, That's why I always ignore you as much as I can, which is not that often. I was just afraid, I guess.”
Joohyun menghela napasnya. Entah mengapa dadanya terasa sangat lega setelah ia menyelesaikan kalimatnya barusan.
“Seungwan, kemarin kamu lihat aku benar-benar terpukul karena ada fakta-fakta yang baru aku ketahui bertahun-tahun setelah kepergian Nana. Ada hal-hal yang buat aku lega tapi ada juga hal yang buat aku marah sama diri aku sendiri. Kamu bisa baca surat dari Nana kalau kamu mau dan aku bakal jelasin satu per satu ke kamu. Kehilangan Nana dulu benar-benar pukulan terbesar buat aku karena I was there and I could have prevented what happened to her, If only I pushed her more. Aku….aku dulu nggak pernah mau maksa orang untuk pakai cara berpikirku. Tapi sejak kejadian itu, aku selalu keras kepala untuk memaksakan caraku dengan harapan aku udah meminimalisir hal-hal buruk yang mungkin terjadi.” lanjut Joohyun.
Tepat setelah Joohyun selesai berbicara, Seungwan memeluk tubuh Joohyun dengan erat. Ia mengelus kepala serta punggung Joohyun secara halus.
“Joohyun, you did well. You always did well. Tapi terkadang ada yang namanya takdir Tuhan. Sekuat apapun kamu berusaha, akan ada kemungkinan bahwa hasil akhirnya nggak seperti yang kamu inginkan. Aku mau berterima kasih untuk semua usaha ekstra yang udah kamu lakuin selama ini, untuk aku, Kak Nana, Yerim, Ayah, Bunda, untuk semua orang. Kamu terlalu fokus menjaga kebahagiaan orang lain sampai kadang-kadang kamu lupa kalau kamu juga butuh istirahat dan berbahagia. Jadi mulai sekarang stop menaruh terlalu banyak ekspektasi sama diri kamu sendiri ya? Setiap kamu terlalu khawatir akan sesuatu, please, cerita ke aku. Aku….nggak selemah yang kamu kira, Joohyun.” bisik Seungwan.
Joohyun mengangguk pelan, perlahan ia meneteskan air matanya yang merupakan semua akumulasi dari perasaan yang ia timbun selama ini.
“After the Mills, we will go to that theme park, okay? Kamu butuh refreshing.” ucap Seungwan.
Joohyun kembali mengangguk.
“Oh, by the way, kamu stop gengsi-gengsian ke Ayah dan Bunda deh. Minta maaf duluan sana. Aku denger-denger kemarin kamu berantem ya?”
Lagi-lagi Joohyun hanya mengangguk, masih menikmati pelukan Seungwan dan ia pun takut jika berusaha bersuara justru tangisnya akan semakin menjadi-jadi.
“Joohyun, aku tahu gimana rasanya kehilangan orang tua. Jadi aku harap kamu nggak akan pernah merasakan hal yang sama. Setiap kesalahpahaman kamu sama Ayah dan Bunda, lebih baik segera diselesaikan sebelum semuanya terlambat buat kamu. Janji ke aku ya? Nanti kamu harus lebih duluan minta maaf ke Ayah dan Bunda.”
Sebuah anggukan lainnya diberikan oleh Joohyun.
“Ini kamu diem aja, kamu tidur apa lagi nangis sih?” goda Seungwan.
Kali ini bukan sebuah anggukan melainkan Joohyun mengeratkan pelukannya pada tubuh Seungwan dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang solois. Tak lama kemudian Seungwan perlahan merasakan adanya tetesan-tetesan yang membasahi kulitnya.
Joohyun-nya tengah menangis dalam diam.
“Nangis aja kalau kamu pengen nangis, terkadang nggak ada jalan lain untuk meluapkan kesedihan atau rasa frustasi kita selain dengan nangis. It’s okay, Joohyun. I got you.”