ASA

Winara Salim, seorang gadis muda berparas cantik nan imut dengan tubuh mungil, kembali menghela napasnya ketika ia harus mengekor di belakang kakaknya yang sibuk keluar-masuk toko-toko bunga di pagi hari itu.

Sementara itu Thalia Salim sempat melirik sekilas untuk memastikan keadaan adik bungsunya dan tertawa kecil ketika ia mendapati ekspresi kesal di wajah Winara.

“Udah capek kamu?” tanya Thalia.

Winara hanya menggeleng sembari menarik bibirnya sehingga kini wajahnya menimbulkan satu ekspresi malas.

“Ya menurut kakak aja deh, ini udah toko ke berapa yang kita masukin? Mau ngapain sih sebenernya?”

“Cari bunga lah! Orang ini udah jelas-jelas di pasar bunga.”

“Jawaban bodoh. Semua orang juga tau kalau mau cari bunga karena kita ada di pasar bunga. Maksud aku bunga apa yang mau kakak cari sih?” dengus Winara.

Mendengar adiknya yang melayangkan protes, Thalia justru kembali tertawa. Tangannya mengacak-acak rambut Winara, sedikit menghancurkan ikatan rambut Winara yang sebenarnya sudah cukup berantakan.

“Mau cari bunga yang kualitasnya bagus. Daritadi kakak belum nemu yang cocok. Coba kamu saranin ke kakak dong kira-kira yang kamu suka yang mana?”

“Nggak ada. Aku kan nggak suka bunga, kak.” jawab Winara malas sembari memutar kedua bola matanya.

Winara hanya menunjuk asal, mengisyaratkan kepada kakaknya untuk terus berjalan dan kali ini Thalia memilih untuk mengikuti saran adiknya itu. Kedua kakak beradik tersebut kembali menelusuri sepanjang jalan raya yang terkenal sebagai ‘Pasar Bunga’ di kota mereka.

Winara dengan ekspresi malasnya dan Thalia yang sesekali berhenti di depan toko bunga untuk sekadar menanyakan stok bunga dan harganya kepada sang penjual.

“Kak, sebenernya kakak tuh nyari bunga yang bagus terus murah kan?” cecar Winara ketika ia menyadari toko yang baru saja didatanginya memiliki koleksi bunga yang cukup banyak dan terlihat menjanjikan, namun Thalia kembari mengurungkan niatnya untuk membeli bunga.

Thalia hanya tertawa dan mengangkat jari telunjuk serta jari tengahnya membentuk huruf ‘v’ ke arah Winara.

“Nggak usah kayak orang susah deh kak. Kalau memang udah ketemu bunga yang kakak suka, kenapa sih masih harus cari yang murah lagi di tempat lain?”

“Kepuasan. Kakak belum puas kalau belum nemu bunga yang kakak suka dengan harga yang menurut kakak worth it. Kamu juga gitu kan kalau lagi cari alat tulis?” jawab Thalia sembari mencium bunga baby breath yang ada di etalase salah satu toko.

Mendengar jawaban kakaknya, Winara kembali menghela napasnya.

“Ya terserah.”

Tak lama kemudian Winara merasakan sebuah tepukan keras di bahunya yang berasal dari Thalia. “Tck! Kamu nih nggak ada romantis-romantisnya deh, kakak heran! Kok bisa ya kamu nulis novel sampe selaris itu!”

Winara kembali memutar kedua bola matanya.

“Kalimat yang tidak ada korelasinya. Lagian ya kak, aku bukan penulis novel romantis. Sure, di novelku ada selipan bagian yang romantis tapi aku nggak pernah nulis novel yang ide utamanya tentang romansa-romansa kayak yang kakak suka baca itu.”

Mendengarkan jawaban Winara, Thalia menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia kemudian menatap adik bungsunya itu.

“Kamu belum aja ketemu sama seseorang yang buat kamu merasakan indahnya jatuh cinta. Being romantic to someone is not a crime, jangan terlalu skeptis sama sesuatu nanti kamu kena karmanya. Kakak udah nemuin yang kakak mau, kamu tunggu sini aja deh. Mood bunga-bunga ini bakalan jadi jelek kalo kena hawa negatif kamu.” ujar Thalia sembari menyentil dahi Winara.

“Aduh! Kak!”

Winara kembali mendengus kesal namun setidaknya kini ia bisa sedikit bernapas lega karena kakaknya telah menjatuhkan pilihan.

Secara otomatis, tangan kanannya merogoh saku celana yang ia kenakan dan mengambil ponselnya yang ia simpan disana.

Jemarinya menavigasikan dirinya menyelami media sosial miliknya untuk memeriksa reaksi dari para pembaca setianya atas berita acara fansign novel terbaru yang ia keluarkan satu bulan yang lalu.

Setelahnya Winara memeriksa kotak masuk e-mail miliknya, barangkali ada balasan dari editor sekaligus sahabatnya itu.

Lima menit berubah menjadi lima belas menit, Winara masih berdiri di depan toko bunga bernama “Summer Love” menunggu kehadiran kakaknya yang masih sibuk berkutat dengan bunga-bunga pilihannya. Namun tiba-tiba ia terlonjak kaget saat mendengar teriakan kakaknya yang memanggil dirinya.

“Win!!” panggil Thalia.

“Apa?”

“Bantuin kakak sini, kamu angkat ini vas bunga soalnya kakak mau ukur seberapa panjang tangkai yang harus dipotong.” ujar Thalia yang tanpa basa-basi langsung memberikan sebuah vas bunga kaca kepada Winara.

Winara kembali menghela napasnya, ia memeluk vas bunga yang menurutnya lebih mirip sebagai akuarium ikan hias. Sesekali ia memalingkan wajahnya akibat tangkai bunga yang mengenai kepalanya.

“Ah, okay. Mas ini dipotong segini aja ya. Jangan kelebihan loh!” ujar Thalia kepada salah satu petugas toko bunga yang sedari tadi melayani dirinya.

Tak lama kemudian Thalia kembali masuk ke dalam toko, kembali meninggalkan Winara di depan toko bunga.

Belum lama ia menikmati keheningan, lagi-lagi Winara menghela napasnya saat merasa sebuah tepukan di pundaknnya.

“Ap-...”

“Mbak, ini harga bunganya berapa ya?” tanya seorang gadis berambut hitam legam yang berdiri tepat di hadapannya.

“Saya bukan penjualnya.” jawab Winara singkat.

“Eh?! Ya ampun maaf ya mbak!!”

Gadis tadi melayangkan permintaan maaf beberapa kali sembari membungkukan badannya, cukup membuat Winara merasa terganggu karena ia menjadi pusat perhatian beberapa orang asing yang melintas disana.

“I-iya, nggak apa-apa. Yang punya toko di dalam.” ujar Winara lagi.

Sang novelis berdoa agar gadis asing di depannya itu menyadari bahwa kalimat barusan merupakan sebuah usiran halus yang dilayangkan oleh Winara kepadanya. Sayangnya gadis tersebut tidak menangkap sinyal tersebut, ia justru kembali mengajak Winara berbicara.

“Ih vasnya lucu banget mbak! Beli dimana ini?”

“Nggak tau, punya kakak saya.”

“Oh gitu. Eh ini bunganya masih seger-seger ya mbak? Cantik-cantik banget!”

Winara mengerutkan dahinya. Sejujurnya ia hanya melihat semua bunga tersebut sebagai ‘tanaman’, tidak lebih. Winara bahkan tidak bisa membedakan mana bunga daisy, bunga baby breath, sedap malam, dan apalah itu semua yang sedari tadi keluar dari mulut sang gadis yang berdiri di sampingnya.

“Sama aja.”

“Hah?”

“Semuanya sama aja.” ulang Winara.

“Ih nggak!! Ini semua tuh beda-beda! Masih keliatan seger banget juga! Coba deh dicium baunya, beda-beda kan mbak?”

“Iya kali ya? Lagian mereka juga beberapa hari bakalan layu, jadi sama aja.” jawab Winara yang semakin enggan menanggapi.

Gadis disebelahnya kini menghela napasnya pelan, namun masih sangat kentara bagi Winara. Gadis tersebut kemudian menatap Winara tepat di kedua manik matanya, membuat Winara mau tidak mau turut memperhatikan iris cokelat milik sang gadis asing.

“Mbak, semua makhluk hidup punya perasaan. Bunga-bunga ini juga. Mereka semua itu beda-beda, dengan makna mereka sendiri. Walaupun pada akhirnya mereka layu, tapi mereka itu udah usaha untuk mengeluarkan bau khas mereka untuk meninggalkan kenangan baik bagi orang-orang yang suka sama mereka. Lagian ya mbak, bunga itu melambangkan kebahagiaan. Seenggaknya, mbaknya juga pasti sadar kan kalau setiap ada kejadian bahagia pasti ada kiriman bunga.”

Kali ini Winara mengangguk pelan.

“Nah itu! Bunga itu datang bersama dengan kebahagiaan!”

“Terus kalau bunga buat nyekar ke makam orang?” celetuk Winara.

“Sama aja! Itu pesan bahwa orang-orang yang sudah pergi nggak akan dilupain sama mereka yang masih disini. Bunga itu lambang asa! Ada harapan yang terselip dari setiap karangan bunga yang dikirimkan. Saya nggak tau kenapa mbaknya segitunya banget sama bunga-bunga yang nggak bersalah ini, tapi saya harap kedepannya kalau mbak nggak suka sama mereka, jangan ditunjukin kayak gini. Tanaman juga punya perasaan.”

Winara berkedip beberapa kali ketika mendapati orang asing yang ada dihadapannya mendengus kesal satu kali sebelum ia meninggalkan Winara dan memasuki toko bunga tersebut.

Baru kali ini ia bertemu dengan seseorang yang berani menceramahi dirinya panjang lebar seperti tadi. Biasanya jika ia bertemu orang asing dan menunjukkan gestur tidak bersahabat, orang-orang tersebut akan dengan sendirinya meninggalkan dirinya.

Mungkin hari ini berbeda.

Patut diakui, ucapan gadis asing tadi cukup membekas bagi Winara. Secara otomatis ia mendangakkan kepalanya, menatap bunga sedap malam yang berada di dalam vas bunga yang ia peluk.

“Maaf ya kalau ucapanku daritadi bikin kamu sedih, tapi wangi kamu enak kok. Uhm, aku suka. Jangan sedih lagi ya. Omong-omong kalau pemakaman gitu bisa nggak sih ada bunga kayak kamu yang ikut ditaruh disekitar makamnya gitu? Wangi kamu beneran enak soalnya.” celoteh Winara.

“Win?”

Thalia memandang Winara dengan satu alisnya yang terangkat.

“Kamu ngobrol sama bunga??” tanya Thalia.

Winara hanya mengangkat bahunya, tidak menggubris kalimat kakaknya.

“Kita pulang yuk, udah selesai semua. Kamu bawa itu aja, sisanya kakak yang bawa sama nanti dibawain mas-masnya ini.”

Winara mengangguk. Ia menyempatkan dirinya satu kali untuk menoleh ke dalam toko bunga, mencari sosok gadis asing tadi.

Dari luar, Winara dapat melihat ekspresi senang yang terpancarkan di wajah gadis tersebut. Senyuman mengembang tiada henti dari wajah cantik gadis itu. Winara dapat menebak bahwa gadis tadi sudah berbincang panjang lebar dengan sang pemilik toko.

Sang novelis tersenyum kecil.

Baginya melihat seseorang yang sangat passionate akan sesuatu merupakan suatu hiburan tersendiri yang membuat hatinya ikut bahagia.

Seperti dirinya dengan pena dan kertas, mungkin gadis tadi memiliki ikatan dengan bunga-bunga yang ada di dunia ini.

Merasa dirinya dipandangi oleh seseorang, gadis asing tadi berhenti berbicara untuk sejenak dan menolehkan kepalanya ke arah Winara. Ia cukup terkejut saat melihat Winara menatap ke arahnya dan menganggukkan kepalanya singkat.

Sejujurnya, Winara pun tak kalah canggung saat mendapati dirinya tertangkap basah menatap sosok orang asing yang telah menceramahinya kurang dari sepuluh menit yang lalu. Secara refleks Winara hanya menganggukkan kepalanya kemudian berjalan menyusul Thalia yang sudah lebih dahulu berjalan kembali ke arah mereka memarkirkan mobilnya.

“Asa ya? A….sa….” bisik Winara pelan.