HOT TEA, CUTIE (part 14)
Irene Side
Sesuai dengan kesepakatan, Wendy tiba di Club Paradise tepat pukul 20.30. Ia langsung menuju ke meja tempat favorite Irene ketika ia mengunjungi klub malam tersebut.
Ia harus menahan tawanya saat melihat Irene sudah berada di meja yang terletak di dekat kaca jendela, tidak terlalu jauh dari bar tempat memesan minuman.
“Wendy is here!” sapa Wendy dengan heboh.
Irene hanya memutar bola matanya ketika mendapati tingkah aneh dari sahabatnya itu.
“Terserah pesen apa, on me.”
“Whoa, lagi badmood beneran?” tanya Wendy yang tidak dibalas oleh Irene sama sekali.
Sang wanita berambut sebahu itu kembali tertawa kecil namun kali ini sembari membolak-balik buku menu yang ada di atas meja.
“Gue kayaknya nggak minum malem ini.”
Ucapan Wendy menarik perhatian Irene karena sangat jarang Wendy menolak traktiran seperti sekarang ini.
“Misi gue malam ini adalah membantu lo mencari degem baru.” tawa Wendy.
“Apaan sih?”
“Halah sok nggak paham. Lo baru putus kan sama degem lo yang kemaren? Siapa itu namanya? Gue lupa.”
“Nggak putus kalo emang dari awal nggak jadian.”
“Okay fair enough.” tawa Wendy. Kali ini ia mengangkat tangan kanannya untuk menarik perhatian waiter.
“Tapi ya, gue penasaran deh. Apa motivasi lo cari sugar baby kalo lo juga gak pernah ngapa-ngapain sama mereka?”
“Sedekah.”
Wendy terbatuk kencang setelah ia mendengar jawaban Irene.
“Sedekah mah ke panti asuhan! Bukan nyari sugar baby! Tapi serius sih, lo selama ini kalo dapet degem gitu ngapain aja?”
“Yang jelas nggak sampe kayak lo ya Wendy.”
Wendy lagi-lagi tertawa, “So, how far? Cuddle?”
Irene mengangkat bahunya.
“Tuh, lo kalo emang cuma buang-buang uang mending sumbangin ke panti asuhan atau yayasan deh.”
“Gausah bawel deh. Kalo itu gue udah but this is different. At least I can buy someone’s time to accompany me in exchange for some money. Lagian lo tau kan gue selalu cari yang anak kuliahan ya biar bantu kebutuhan mereka juga.”
“Terserah apa kata lo deh, yang jelas malem ini gue nemenin lo buat cari degem baru.”
Irene memutar kedua bola matanya. Ia kembali mengamati isi klub malam tersebut, mencari ‘mangsa’ baru.
Sudah hampir satu jam ia tiba disana dan Irene masih belum menemukan sosok yang tepat baginya. Sebenarnya selama ini pun ia hanya mengandalkan instingnya untuk memilih sosok gadis-gadis muda yang bisa ia ajak untuk ‘berkencan’. Namun sejak sugar baby-nya yang terakhir, harus Irene akui ia menjadi lebih selektif.
Kendati ia tahu para sugar baby tersebut hanya memanfaatkan dirinya dan menginginkan uangnya, namun setidaknya Irene selalu mencari sosok yang bisa ia ajak berbicara dan sedikit berbagi tentang kehidupannya.
Ia tidak ingin mengulang kejadian yang sama dimana sugar baby-nya yang terakhir adalah sosok yang benar-benar ia benci dalam kehidupan sehari-hari. Tipe-tipe manusia yang tidak menghargai manusia lainnya. Tipe manusia yang hanya cantik parasnya namun tidak memiliki hati yang cantik pula.
“Rene, arah jam sembilan lo. Cakep tuh.” ujar Wendy membuyarkan pikiran Irene.
Yang lebih tua memilih untuk sedikit menoleh ke arah yang dimaksud oleh Wendy. Namun dengan cepat ia menggelengkan kepalanya.
“Looks like a headache to me.”
Wendy kembali tertawa, “Agree. Clingy type. Definitely not yours.”
Irene menghela napasnya kemudian ia merogoh hand bag yang ia bawa, hendak mencari ponselnya.
“Damn!”
Wendy yang awalnya sedang memperhatikan isi klub malam tersebut, kini menatap ke arah Irene penuh tanya.
“Kenapa?”
“Handphone gue ketinggalan di mobil. Lo tunggu sini deh. Gue ke parkiran dulu.”
Karina Side
Entah apa yang ada di benaknya pagi tadi namun kini Karina dan Minjeong sudah berada di kawasan yang terkenal akan deretan klub malam VVIP di kota mereka.
Minjeong yang sudah terbiasa datang kesana terlihat jauh lebih rileks, bahkan ia terlihat terlalu bersemangat. Sangat kontras dengan Karina yang terlihat penuh keraguan.
“Jeong, kayaknya gue balik deh.” bisik Karina.
“Lah? Udah sampe sini kita?”
Karina tersenyum simpul ke arah Minjeong. Dalam hatinya ia merutuki keputusannya siang tadi yang dengan sangat impulsif mengirimkan chat kepada Minjeong untuk mengantarnya ke tempat dimana ia bisa menemukan banyak sugar mommy.
“Balik aja deh gue. Sorry banget ya Jeong? Gue tiba-tiba takut.”
Minjeong mengangguk paham. “Kalo gini gimana, kita masuk dulu aja ke dalem terus liat-liat keadaan aja? Sayang aja gitu, Rin. Kita udah sampe sini. At least, gue tunjukin dulu tempatnya ke lo. Sumpah gue gak akan ninggalin lo sendirian.”
Karina terdiam untuk sejenak. Ia mempertimbangkan ucapan sahabatnya itu dan tanpa ia sadari, Karina menggigit bibir bagian bawahnya tanda bahwa ia saat ini sedang bimbang.
“Oke deh… Tapi beneran ya kita cuma liat-liat aja?”
Minjeong mengacungkan ibu jarinya pertanda ia menyetujui ucapan Karina dan berjanji bahwa malam itu mereka hanya sekadar melihat-lihat keadaan.
Sang gadis berambut pendek kemudian melepaskan seat-belt yang ia gunakan. Kemudian merapikan rambutnya sejenak sembari melihat pantulan dirinya dari kaca spion sebelum ia turun dari mobil milik kakaknya yang malam itu ia pinjam.
“Let’s go Rin!” ajak Minjeong yang sudah turun dari mobil lebih dahulu.
Karina memejamkan matanya dan menarik napasnya panjang.
”Tenang Karina. Malam ini lo cuma hangout aja sama Minjeong, nggak lebih.” batin Karina.
Karina meneguk ludahnya saat ia sadar bahwa di parkiran tersebut terpampang mobil-mobil mewah kelas atas. Melihat sikap temannya, Minjeong tertawa kecil.
“Gue nggak harus ngejelasin ke lo lagi kan tempat ini bau duitnya kayak gimana?” tawa Minjeong.
“Gue kira ini showroom mobil.”
“Well, saran pertama dari gue. Lo kalo kesini mending naik taksi aja. Kendaraan butut kita alias motor, nggak bakal diterima. Itu alasan gue kenapa malem ini gue pinjem mobil kakak gue.” jelas Minjeong.
Karina mengangguk paham.
Kedua gadis itu kemudian berjalan ke arah pintu masuk yang telah dijaga dengan ketat oleh beberapa petugas keamanan berbadan kekar.
Tentu saja, setibanya mereka disana, Karina dan Minjeong langsung dihadang oleh petugas keamanan tersebut.
“Reservasi atas nama?”
Minjeong mengerutkan keningnya. Selama ini ia tidak perlu reservasi untuk bisa masuk ke dalam klub tersebut.
“Emang sekarang wajib reservasi? Kemaren-kemaren saya kesini nggak perlu reservasi tuh.”
“Ketentuan baru.”
“Kali ini aja deh pak, biarin saya dan temen saya masuk. Kami berdua udah jauh-jauh sampe sini loh pak.”
“Tidak bisa. Kecuali kalian berdua pelanggan VVIP klub ini. Cuma pelanggan VVIP yang bisa datang tanpa butuh reservasi.” jelas petugas keamanan tersebut.
“Ayolah pak, sekali aja ya pak. Please?” tawar Minjeong lagi.
“Tidak bisa. Lebih baik adik-adik ini sekarang pergi dan cari klub lain.”
“Tapi pak, yang saya cari tuh ada di dalem!”
Sang petugas keamanan tetap diam tidak bergeming.
“Kalau kalian memaksa, kami akan usir secara paksa.” ancam petugas keamanan lainnya.
Melihat situasi mungkin menjadi heboh, Karina menarik ujung sweatshirt navy blue yang dikenakan oleh Minjeong.
“Udah deh Jeong, bukan rejeki gue buat masuk ke dalem.” bisik Karina.
“Ya elah Rin! Ini tuh gue yakin kita gak bisa masuk bukan karena belom reservasi, tapi karena penampilan kita malem ini yang kurang meyakinkan! Orang biasanya gue gak pake reservasi!” desis Minjeong.
Karina tertawa kecil mendengar omelan sahabatnya itu.
“Gue jadi penasaran lo biasanya dandan kayak apa kesini.”
Si gadis yang lebih pendek hanya memutar kedua bola matanya malas. Ia tahu Karina sedang menggoda dirinya.
“Pak, malem ini aja deh pak. Biarin saya dan temen saya masuk. Seriusan besok-besok kita berdua reservasi dulu.” tawar Minjeong sekali lagi.
“Tidak bisa ya tidak bisa!”
Karina mengambil satu langkah mundur secara refleks saat ia dibentak oleh salah seorang petugas keamanan dan hal ini membuat Minjeong geram karena ia tahu sahabatnya itu merupakan sosok yang sangat halus dan mudah terkejut.
Tepat disaat Minjeong hendak melayangkan protesnya, terdapat suara seorang wanita yang telah lebih dahulu memotong pembicaraan yang tengah memanas tersebut.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
Minjeong dan Karina sama-sama menoleh ke arah datangnya suara. Seorang wanita yang mereka yakini berumur lebih tua dari mereka berdua dengan balutan busana serba berwarna pink dan baret beludru berwarna pink tengah berdiri tak jauh dari mereka berdua.
Melihat wanita tersebut meminta penjelasan dan entah mengapa Minjeong merasa bahwa wanita tersebut dapat diandalkan olehnya saat itu, ia langsung mengadukan keluhannya tanpa basa-basi.
“Ini masa katanya aku dan temenku harus reservasi dulu buat masuk? Biasanya aku nggak pernah reservasi!” protes Minjeong.
“Seberapa sering kamu kesini?” tanya wanita itu lagi.
Minjeong mengerutkan keningnya, “Berapa ya? Cuma sering kok! Aku selalu kesini sama kak Seul-...”
Minjeong langsung menghentikan ucapannya saat ia hampir saja kelepasan menyebut nama orang yang sama sekali tidak relevan untuk ia sebutkan saat ini.
Namun demikian hal itu justru menarik perhatian Irene.
“Seul?”
“Uhm, itu ya gitu pokoknya.” ujar Minjeong berusaha mengalihkan pembicaraan. Ia tidak ingin Karina mendengarkan nama sugar mommy-nya karena selama ini pun Minjeong selalu menyimpan rapat-rapat nama dari deretan sugar mommy yang telah ia koleksi.
“Well, I don’t know if this Seul is the same Seul that we know but….” Irene menghentikan ucapannya sejenak, sengaja menggantung kalimatnya sembari menatap kedua gadis yang ada di hadapannya ini dari ujung kaki hingga ujung kepala dan berusaha menahan tawanya.
Si gadis berambut pendek dengan matanya yang berapi-api dan si gadis yang lebih tinggi dengan balutan busana serba hitam dengan tatapan malu-malunya.
“Biarin mereka masuk, mereka sama saya.” ujar Irene pada petugas keamanan dengan nada yang datar dan tatapan yang tak kalah menakutkan.
Mendengar kalimat tersebut, Minjeong tersenyum penuh kemenangan dan sedikit memberikan gestur provokatif kepada petugas keamanan yang tadi sempat membentak mereka.
Irene berjalan lebih dahulu di depan Minjeong dan Karina. Ia tidak banyak pikir tentang apa alasan dua gadis tersebut datang ke klub tersebut karena menurutnya hal itu bukanlah urusannya.
Toh, ia pun dulu pernah datang ke tempat-tempat seperti ini saat umurnya masih terbilang sangat muda seperti dua gadis ini.
Wendy yang sedang mengamati isi klub tersebut menaikkan alisnya saat melihat Irene kembali dengan dua gadis yang mengekor di belakangnya. Seingatnya tadi Irene hanya ingin mengambil ponselnya yang tertinggal, mengapa sekarang ia justru kembali dengan dua gadis?
Ia memberikan tatapan penuh arti pada Irene yang tentu saja dibalas dengan malas oleh Irene. Namun ia mengerti mengapa Wendy memberikan tatapan seperti itu padanya.
Dua gadis tadi masih mengekor dengan setia di belakangnya.
“Oh, kalian gak perlu ngikutin aku by the way.” ujar Irene.
“Ooh, iya. Ini aku sama temenku cuma belum tau mau duduk dimana.” jawab Minjeong dengan santai.
“Tapi kalau kalian mau join aku dan temanku disana, aku juga nggak ngelarang.”
Selepas Irene bersuara, ia langsung merasa kebingungan dengan dirinya sendiri.
Malam ini ia hanya ingin melepas penatnya bukan mencari sugar baby baru seperti apa yang Wendy bilang. Ia benar-benar hanya ingin menikmati waktunya seorang diri, ditemani oleh Wendy. Namun mengapa ia justru memberikan ajakan pada dua gadis ini untuk bergabung dengannya?
Irene mengangkat bahunya sebagai bentuk jawaban pada dirinya sendiri atas pertanyaan tadi. Ia pun memilih kembali ke mejanya untuk meladeni tatapan penuh arti yang diberikan oleh sahabatnya itu.
Lain hal dengan Irene, Minjeong merasa mendapatkan jackpot saat mendengar ajakan tersebut dan ia langsung menyikut Karina pelan.
“That’s a really one in your lifetime invitation.” bisik Minjeong.
“Kan tadi gue bilang apa!” desis Karina yang mengingatkan pada janji mereka malam ini bahwa Karina sudah mengundurkan diri dari maksud awalnya datang ke klub tersebut.
“Yaudah sih, just let it flow.” balas Minjeong yang kini sudah menarik Karina agar berjalan mengikutinya ke arah meja yang telah ditempati wanita yang tadi sudah membantu mereka.
Sementara itu, Irene yang sudah lebih dulu tiba di mejanya memilih untuk berpindah tempat duduk dan menempati sisi yang kosong tepat di sebelah Wendy.
“Uhm, permisi. Aku sama temenku boleh gabung disini?” tanya Minjeong dengan senyuman paling menawan yang bisa ia berikan.
Sementara itu Karina cukup shock dengan perubahan suara dan gestur yang Minjeong tunjukkan. Biasanya temannya tidak pernah bertingkah imut seperti ini.
“Sure, bisa duduk disitu.” ujar Irene yang menunjuk dua tempat yang kosong tepat di hadapannya.
Wendy menahan senyumnya saat ia melihat bagaimana sahabatnya berlagak seakan-akan tidak peduli padahal ia tahu betul bahwa saat ini Irene sedang memperhatikan dua gadis di hadapan mereka dengan saksama.
Minjeong memilih untuk duduk tepat di hadapan Wendy sehingga Karina mau tidak mau harus duduk di hadapan Irene. Jujur saja bagi Karina, tatapan orang asing di depannya itu benar-benar membuat hatinya berdebar.
Ia merasa kecil, takut, dan…..malu?
“Kalian masih kuliah?” tanya Wendy.
“Iya hehe.”
“Sekampus?” tanya Wendy lagi.
Lagi-lagi Minjeong yang menjawab pertanyaan dengan anggukan bersemangat.
Irene tersenyum ke arah Karina, kemudian ia menoleh pada Minjeong. “Temen kamu pemalu ya?”
Merasa dirinya sedang disindir, Karina langsung membuat tanda silang tepat di depan dadanya sebagai bentuk jawaban.
“N-nggak! A-aku cuma gak tau mau ngomong apa aja kak.”
Mata Karina membulat saat ia menyadari bahwa ia sudah dengan seenaknya memanggil dua wanita di hadapannya dengan sebutan kakak.
Irene tertawa kecil melihat sosok gadis di depannya yang tiba-tiba terlihat panik, “It’s okay. Kak juga nggak apa-apa.”
“Well, asal jangan grandma. Nanti dia pasti marah.” goda Wendy yang langsung mendapat satu pukulan kencang di tulang rusuknya.
“Ugh….. see?” ujar Wendy sembari mengusap bagian yang baru ditinju oleh Irene.
“Kalian mau minum apa? Gak usah mikir harganya, it's on me” potong Irene singkat agar Wendy tidak terlalu banyak berbicara.
“Oh my god!! Thank you kak!”
Minjeong bertepuk tangan singkat sebelum ia kemudian membolak-balikkan buku menu. Sementara itu Karina yang takut mendapatkan tatapan tajam dari sosok yang ada di hadapannya, memilih untuk mengintip buku menu dari bahu Minjeong.
Ia harus berpura-pura sibuk.
“Uhm, aku udah tau mau pesen apa! Ini boleh?” tanya Minjeong yang menunjuk Daiquiri.
“Ooh I see someone is an expert.” goda Wendy yang melihat Minjeong mampu menemukan minuman pilihannya dalam waktu singkat.
“A bit?” balas Minjeong yang mengangkat ibu jari dan telunjuknya.
“Sure, kalau kamu mau minum apa?” tanya Irene pada Karina.
“Uhm…aku….teh aja ada nggak?”
Ucapan Karina sontak mendatangkan tawa dari mulut Wendy. Sementara itu Minjeong mengusap wajahnya malu.
Namun berbeda dengan Wendy dan Minjeong, Irene justru menganggap pilihan Karina sangat unik dan menggemaskan.
”Such a pure baby” batin Irene.
“Sure, kita tanya mereka nyediain teh atau nggak ya.” ujar Irene yang tersenyum kecil ke arah Karina.
Gestur sederhana tersebut rupanya mampu membuat wajah Karina memanas. Ia dapat merasakan pipinya memerah dan ia yakin bahwa saat ini telinganya pun sudah memerah.
”I am doomed tonight” batin Karina.