Love and Leashes (part 150)

Setibanya Seungwan di departemen Sport & Entertainment yang kini menaunginya, ia diberikan tatapan penuh arti dari rekan-rekan kerjanya. Sooyoung dan Yerim menatapnya dengan penuh kekecewaan sementara Jisung hanya memberikannya senyuman tipis. Kendati demikian, Seungwan tidak ambil pusing atas sikap mereka.

Seungwan memilih untuk langsung berjalan lurus ke arah meja kerjanya dan menaruh tasnya terlebih dahulu sebelum ia menuju ruangan milik Taeyeon yang berada di lantai 12.

Jika ia boleh jujur, Seungwan sama sekali tidak bisa menebak kemana arah meeting dadakannya itu. Mungkin ia sudah memiliki tebakan, namun Seungwan berharap tebakannya tidaklah tepat.

Ia tidak ingin Taeyeon untuk ikut campur atas hubungannya dengan Joohyun.

Satu tarikan napas panjang Seungwan ambil saat pintu lift terbuka di lantai 12. Hari itu untungnya lantai 12 sedang tidak terlalu ramai, ia enggan bertegur sapa dengan tim manajemen ataupun personil eksekutif lainnya.

Tok! Tok!

Tidak terdapat jawaban dari dalam ruangan, namun Seungwan menganggap hal tersebut sebagai izin untuk memasuki ruangan atasannya tersebut.

Sekali lagi ia tarik napas dalam-dalam, sebelum tangannya mendorong pintu ruang kerja tersebut.

Seungwan cukup terkejut ketika ia mendapati ruangan tersebut telah dihuni oleh beberapa orang.

Namun hanya ada satu sosok yang menjadi pusat perhatiannya pada pagi hari itu.

Joohyun.

Seniornya itu duduk dengan kepala yang sedikit menunduk. Kedua tangannya terletak di atas pahanya dan Seungwan tahu saat ini Joohyun sedang merasa gugup.

Perhatiannya kemudian beralih ke penampilan Joohyun hari itu. Turtleneck berwarna hitam dan Wide-Leg jeans berwarna biru terang. Rambut sang senior diikat rapi, tidak terlalu tinggi.

Hati Seungwan sedikit bergejolak ketika keduanya bertemu pandang. Namun ia berusaha sebisa mungkin untuk tetap menjaga ekspresinya walau jauh dalam hatinya ia sudah merindukan sosok Joohyun yang sudah satu hari lebih tidak ia jumpai.

Fokus Seungwan terpecah kala ia mendengar Tiffany berdeham pelan. Kini Seungwan kembali menyadari bahwa di dalam ruangan itu terdapat Chief Editor, Chief Human Resource, dan Sang Direktur Utama perusahaan media tempatnya bekerja.

Seungwan mengeraskan rahangnya ketika menemui sang Direktur menatapnya dengan tajam.

“Okay sekarang Seungwan sudah disini, kita bisa memulai percakapan dengan serius.” ujar Tiffany membuka percakapan.

Seungwan mengangguk pelan. Ia berjalan menuju satu-satunya kursi yang tersisa baginya.

Ia dipaksa untuk berbagi satu sofa panjang bersama dengan Joohyun, berhadapan langsung dengan Taeyeon dan Tiffany yang mengisi sofa yang berada tepat di seberang Joohyun. Di posisi kanan dari posisi mereka duduk, sudah diisi oleh Son Naeun sang Direktur Utama dan posisi ini membuatnya merasa saat ini ia dan Joohyun sedang dihakimi.

Seungwan sempat berusaha untuk melirik Joohyun sejenak, untuk membantunya memahami situasi saat ini. Ia pun sempat berusaha untuk membaca ekspresi Taeyeon yang duduk tepat di hadapannya. Namun kedua usahanya ini tidak membuahkan hasil apapun.

“Malam tadi pihak manajemen mendapatkan email anonim, dimana dalam email tersebut terdapat file attachment berupa rekaman suara. Pagi ini kita berkumpul disini sebagai tindakan awal sebelum pihak perusahaan akan mengambil tindakan atas peristiwa indisipliner tersebut.” ujar Tiffany lagi.

Seungwan mengerutkan keningnya.

Sedangkan Joohyun mengeratkan genggaman tangannya, meremas celana yang ia gunakan dengan cukup kuat. Dalam hatinya ia berdoa agar ia tidak mengalami kejadian yang sama seperti beberapa tahun lalu.

Sementara itu Seungwan melihat bagaimana wajah Taeyeon merah padam. Seungwan dapat melihat bagaimana sang mentor mengeraskan rahangnya.

“Bisa kah kita nggak usah muter rekaman suaranya? Just…talk normally?” tanya Taeyeon kepada Naeun.

Naeun menggelengkan kepalanya. “Nope, biar berandalan satu ini tau sejauh apa kerusakan yang udah dia buat. Nggak cuma satu kali dia udah dibelain sama kamu, Mbak.”

Joohyun mengernyitkan alisnya, ia cukup bingung dengan percakapan ini. Mengapa Taeyeon dan Naeun, yang notabenenya merupakan pemimpin perusahaan terdengar sangat akrab? Lalu juga terdapat fakta bahwa Naeun baru saja memanggil Seungwan dengan sebutan ‘berandalan’.

“Naeun….please? Ini terakhir kali aku akan bela Seungwan.” tawar Taeyeon satu kali lagi.

Lagi-lagi sang dirut menggelengkan kepalanya. “It’s final. Mbak Tiffany, bisa tolong diputar rekamannya.”

Tiffany menghela napasnya sejenak namun kemudian ia menekan tombol play di gawai yang ia bawa.

”Telat tiga menit dua puluh sembilan detik.”

Terdengar suara seorang wanita menggema di dalam suatu ruangan.

Rahang Seungwan mengeras ketika ia menyadari kira-kira apa isi rekaman tersebut. Sementara itu Joohyun memejamkan matanya dengan erat, rasanya ia ingin menangis. Mengapa akhir-akhir ini ia didatangi oleh kesialan bertubi-tubi?

Taeyeon memijat pelipisnya. Ia sama sekali tidak bisa menatap Seungwan ataupun Joohyun. Terdapat kekecewaan yang mendalam yang ia rasakan pada kedua juniornya itu. Taeyeon pun tahu kali ini ia sama sekali tidak berdaya untuk membantu dua juniornya.

Seluruh penghuni ruangan tersebut terus mendengarkan isi rekaman tersebut. Naeun duduk dengan tenang, dengan kedua kakinya yang bersilangan. Sementara Tiffany memandangi Seungwan dan Joohyun silih berganti.

“I don't fucking care. Aku tahu hari ini kamu sengaja buat aku marah.”

Tak lama kemudian terdengar rintihan kesakitan.

Seungwan menahan napasnya. Baru kali ini ia mendapatkan perspektif sebagai orang ketiga dan hal ini semakin membuat Seungwan takut akan dirinya sendiri. Ia memejamkan matanya saat mengetahui kalimat yang akan ia dengar selanjutnya.

“Hold your moan. Hold your climax until I say so. Remember Bunny, I call the shots.”

“Stop!” sergah Seungwan.

Seungwan menatap Naeun dengan tatapan penuh amarah. Ia merasakan napasnya mulai berderu kencang.

Seungwan tidak ingin mendengarkan lanjutan dari rekaman tersebut karena ia tahu persis bagaimana percakapan yang akan mereka dengar selanjutnya. Ia tidak ingin mendengar nama Joohyun keluar dari mulutnya, ia ingin setidaknya menyelamatkan Joohyun dari rasa malu yang sebentar lagi akan mereka rasakan.

Mendengar bentakan Seungwan, Tiffany hampir menghentikan rekaman tersebut namun Naeun meminta agar rekaman tersebut terus diputar.

“GUE BILANG STOP!!” teriak Seungwan.

Lagi-lagi Tiffany berpikiran untuk menghentikan rekaman tersebut namun kali ini gawai yang ada di tangan Tiffany diambil oleh Naeun.

Sang Direktur Utama menghentikan rekaman tersebut untuk sejenak.

“Melihat reaksi kalian, sepertinya kita sudah dapat jawaban.” ujar Naeun tenang.

“Sesuai peraturan perusahaan, hal ini akan ditindaklanjuti lebih jauh lagi lewat Dewan Disipliner. Besok kalian–....”

“STOP IT NAEUN! APA LAGI YANG LO MAU DARI GUE?!”

Joohyun menolehkan kepalanya saat mendengar Seungwan berbicara seperti demikian kepada sang Direktur Utama.

“Seungwan, kontrol diri kamu sekarang juga. Jangan memperkeruh suasana.” perintah Taeyeon.

“No, stop it! Gue udah ngikutin semua permainan keluarga aneh ini and I am so fucking tired! Lo mau apa lagi dari gue?!” tantang Seungwan.

Naeun hanya tersenyum kecil. “As always, merasa sebagai yang paling banyak berkorban. Aku cuma mau kamu bertanggung jawab, Seungwan. You have to bear the responsibility.”

Seungwan menggenggam tangannya erat, berusaha meredam emosinya.

“I never ask for this, Naeun. Never.” desis Seungwan.

Seungwan menoleh ke arah Joohyun sekilas dan tiba-tiba ia teringat akan ucapan Taeyeon bagaimana sang mentor meminta dirinya untuk menjaga hubungan profesional antara ia dan Joohyun serta bagaimana Taeyeon meminta agar Seungwan tidak melakukan hal-hal yang membuat Joohyun ‘pergi’ ke tempat baru lagi.

Kini Seungwan mengerti akan hal ini. Setidaknya ia mendapatkan bayangan tentang apa yang mungkin telah terjadi pada Joohyun.

Ia pun teringat bagaimana Joohyun menangis tersedu-sedu di taman apartemen milik Joohyun. Bagaimana Joohyun menyebut dirinya sendiri dengan sebutan ‘aneh’. Bagaimana Joohyun berkata pada Seungwan bahwa ia telah nyaman bekerja dengan tim S&E. Bagaimana Joohyun memohon pada Seungwan agar ia tidak harus mencari pekerjaan baru lagi.

Seungwan memejamkan matanya.

“Gue akan tanggung semua damage yang udah gue lakuin but please, Joohyun nggak ada urusannya sama ini semua. Leave her alone.” ujar Seungwan pada Naeun.

Sang Direktur Utama memandang Seungwan dengan penuh tanya.

“Son Seungwan, jelas-jelas dalam rekaman tersebut kita semua tau ada dua nama yang terdengar disana–...”

“Please, kak. Gue mohon. Leave Joohyun alone.” ucap Seungwan pasrah.

Joohyun terkejut ketika mendengar Seungwan memanggil Naeun dengan sebutan “Kakak”. Namun Joohyun bukan satu-satunya orang yang terkejut karena Naeun, Taeyeon, dan Tiffany pun terkejut ketika mendengar sebutan itu keluar dari mulut Seungwan.

Selama ini Seungwan selalu menghindar dari Naeun bahkan bisa dibilang Seungwan cukup membenci Naeun. Tiffany dan Taeyeon tahu akan hal ini.

Son Seungwan dan Son Naeun merupakan dua kakak-beradik yang memiliki hubungan yang tidak terlalu harmonis. Sebenarnya selama ini Naeun sama sekali tidak menaruh perasaan buruk terhadap Seungwan, berbeda dengan sang adik yang sangat membenci kakaknya.

Menurut Seungwan, ia telah kehilangan mimpi-mimpinya dan itu disebabkan oleh Naeun dan Ayah mereka. Bagaimana Seungwan dipaksa untuk meninggalkan cita-citanya di dunia aviasi dan harus mengenyam pendidikan di bidang jurnalis dan bisnis untuk melanjutkan perusahaan keluarga mereka.

Bagaimana Seungwan berkali-kali harus mendengar hardikan sang ayah yang tidak menerima preferensi-nya dan Bagaimana Naeun hanya tinggal diam tiap kali ia mendapatkan perlakuan buruk tersebut.

Biasanya Seungwan akan membangkang dan melawan kakaknya itu, namun kali ini apabila ia harus tunduk demi menyelamatkan Joohyun, maka Seungwan akan melakukan semuanya. Setidaknya ini adalah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk menebus dosanya pada Joohyun.

Naeun menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia memperhatikan Joohyun dan Seungwan dengan saksama.

“Is she the one who’s staying at your apartment lately?” tanya Naeun dan dijawab dengan anggukan oleh Seungwan.

“Dia siapa kamu, Seungwan?”

“Lo gak butuh tau detilnya.”

“Aku butuh tau. It will help me to decide whether I will drag her or not.”

Seungwan memejamkan matanya dan menarik napas dalam.

“I care about her a lot. Maybe I love her? I don’t know for sure but I know I care about her a lot. Gue udah nyakitin dia dan gue nggak mau bikin dia sakit lebih banyak lagi, Kak. Please, jangan buat Joohyun kehilangan hal yang berharga buat dia kayak gimana lo dan ayah bikin gue kehilangan hal berharga milik gue. I will bear the responsibility all by myself, just leave Joohyun alone, please Kak?”

“At all costs?”

“At all costs.”

Naeun mengangguk. “Sure. We will talk later then.”

Joohyun hanya bisa terdiam saat mendengar semua penuturan Seungwan. Beberapa pertanyaan yang selama beberapa hari ini berkecamuk di kepalanya terjawab sudah.

Sang kepala departemen terkejut ketika ia merasakan tangannya digenggam oleh Seungwan. “I am sorry, Joohyun. I truly am.”

Seungwan tersenyum getir untuk sesaat sebelum ia berdiri dan meninggalkan ruangan tersebut. Joohyun hanya mampu menatap punggung Seungwan yang kini sudah menghilang di balik pintu.

”Kenapa lo selalu ninggalin gue gitu aja kalau lo emang peduli sama gue?”